ARANG KOMPOS
BIOAKTIF (ARKOBA)
DARI LIMBAH KULIT
KAYU DAN SLUDGE*)
Oleh : Gusmailina & Sri Komarayati **)
*) : Disampaikan sebagai makalah Poster pada
Seminar Teknologi Pulp dan Kertas 2011 di BBPK, Bandung 13 Juli 2011.
**) Peneliti Utama pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH), Bogor
Jalan Gunung Batu no
5. Bogor Telp/Fax : (0251) 8633378/8633413
ABSTRAK
Industri
pulp dan kertas selain menghasilkan pulp dan kertas, juga menghasilkan limbah yang jika tidak dikelola
akan menjadi masalah lingkungan yang cukup serius, karena akan menumpuk dan
mencemari lingkungan. Limbah tersebut diantaranya adalah kulit kayu dan sludge. Kulit kayu merupakan limbah hasil
pengelupasan kayu sebelum proses.
Sebahagian kulit kayu telah dimanfaatkan sebagai bahan baku boiler,
namun terbatas untuk kulit yang masih utuh dengan standar tertentu sehingga
dapat dijadikan sebagai bahan baku energi.
Akan tetapi masih banyak tumpukan limbah kulit yang belum dimanfaatkan
secara optimal. Demikian juga dengan
sludge merupakan bahan organik berbentuk
padat, dihasilkan dari proses pengolahan industri pulp dan kertas. Satu
industri pulp dan kertas tiap hari dapat
dihasilkan sludge sebesar 30 – 40 ton, sementara pemanfaatan sludge per hari
hanya 12%, sehingga masih banyak sludge yang belum dimanfaatkan.
Salah
satu alternatif pemanfaatan limbah kulit kayu dan sludge yang mudah dan dapat
dikembangkan secara sederhana yaitu melalui teknologi arang kompos bioaktif.
Arang kompos bioaktif
(ARKOBA) adalah gabungan antara arang dan kompos yang dihasilkan melalui
teknologi komposting dengan bantuan mikroba lignoselulotik yang tetap bertahan
di dalam kompos, mempunyai kemampuan
agen hayati sebagai biofungisida untuk
melindungi tanaman dari serangan penyakit akar, sehingga disebut
bioaktif. Arkoba dari limbah kulit dan
sludge yang dihasilkan memenuhi standar dan selanjutnya dapat dimanfaatkan
kembali ke lahan-lahan hutan tanaman sebagai suplai bahan organik, sehingga
tidak ada siklus yang terputus antara input hingga output.
Kata
kunci : limbah kulit kayu, limbah
sludge, pemanfaatan, arkoba
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekitar 80 % (15,18 ton/ha)
dari kulit Acacia mangium akan
terangkut ke industri pulp. Sekitar 20 %
limbah kulit ini dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar boiler, sisanya 60 % akan
menjadi limbah dan polutan yang potensial mencemari lingkungan, terutama
perairan sekitarnya (Gusmailina, dkk.
2002). Mengembalikan limbah tersebut ke areal dimana tanaman tersebut dipanen,
merupakan cara yang sesuai dengan konsep ekologi serta konsep pembangunan hutan
lestari yang berkesinambungan. Sehingga
bahan organik yang terangkut atau hilang sewaktu pemanenan, sebagian dapat
terpenuhi kembali melaui teknologi daur yang berwawasan lingkungan juga. Pemberian bahan organik pada lahan dan
tanaman penting dilakukan agar produktivitas lahan dan tanaman tetap terjaga,
sehingga industripun dapat terus berproduksi sesuai dengan target.
Limbah kulit kayu (Gambar 1) dapat
digunakan sebagai substitusi alami dari media topsoil dan gambut untuk
persemaian apabila ketersediaan media terbatas dan mahal. Tetapi kelemahan dari kulit kayu ini mempunyai C/N sangat tinggi yang
menyebabkan defisiensi unsur hara pada bibit tanaman hutan (Brundrett et al., 1996). Kulit kayu dapat terdekomposisi dengan cepat,
yang menyebabkan kandungan nitrogen tersedia dapat tercuci oleh air dan keluar
serta hilang, sehingga tidak dapat diserap oleh akar tanaman (Handrech and
Black, 1984). Namun beberapa jenis kulit
kayu dapat menyebabkan racun bagi pertumbuhan akar, sehingga perlu diatasi
melalui proses komposting serta juga dapat dicampur dengan beberapa bahan organik
lainnya. sehingga kekurangan unsur hara essensial dapat diatasi. Dalam pengomposan diperlukan mikroorganisme
sebagai aktivator untuk mempercepat degradasi kulit kayu, sehingga kulit kayu
yang telah terdekomposisi dapat digunakan sebagai media tanam, dan akhirnya
kulit kayu yang potensi sebagai limbah dapat dimanfaatkan.
Selain kulit kayu, limbah
industri pulp kertas juga menghasilkan limbah sludge (Gambar 2) sebagai hasil
samping. Menurut Carter, 1983 dan Alton,
1991 dalam Rina et al. 2002, sludge
industri pulp dan kertas banyak mengandung bahan organik. Namun di Indonesia sludge masih merupakan
limbah yang bermasalah karena belum dimanfaatkan secara keseluruhan, sehingga
membutuhkan lahan luas untuk menampung dan membuangnya.
Gambar 1.
Limbah kulit kayu pada industri pulp kertas
Gambar 2.
Limbah sludge yang memerlukan lahan luas untuk pembuangan
Teknologi arang kompos bioaktif merupakan inovasi
yang dipandang sebagai alternatif penanganan yang paling baik, karena di
samping tidak mencemari lingkungan, juga menghasilkan produk yang bermanfaat
dengan investasi yang relatif murah. Kendalanya adalah karena karakteristik
dari sludge yang menyerap
air, sehingga jika sludge ditumpuk pada saat proses pengomposan, rongga
udara yang tercipta akan sedikit, sehingga mengganggu proses pengomposan. Oleh sebab itu perlu dikurangi kadar airnya
terlebih dahulu sebelum di proses.
Tulisan ini menyajikan hasil penelitian skala
laboratorium pembuatan arang kompos bioaktif berbahan baku kulit kayu dan sludge. Kulit kayu sebahagian dibuat arang sebagai
bahan campuran, dan sebahagian lagi sebagai bahan baku komposting yang dicampur
dengan sludge. Sludge di press terlebih
dahulu agar kadar airnya berkurang.
B. Arang kompos bioaktif (ARKOBA)
Arang kompos bioaktif adalah
gabungan antara arang dan kompos yang dihasilkan melalui teknologi komposting
dengan bantuan mikroba lignoselulotik yang tetap bertahan di dalam kompos,
mempunyai kemampuan agen hayati sebagai
biofungisida untuk melindungi tanaman
dari serangan penyakit akar, sehingga disebut bioaktif. Keunggulan lain
dari Arkoba adalah karena keberadaan arang yang menyatu dalam kompos, yang bila
diberikan pada tanah ikut andil dan berperan sebagai agent pembangun kesuburan tanah,
sebab arang mampu meningkatkan pH tanah
sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah. Oleh sebab itu Arkoba cocok dan tepat
dikembangkan secara luas di Indonesia mengingat 2/3 dari lahan pertanian maupun
kehutanan berada dalam kondisi masam (pH rendah), kritis dan marjinal akibat
menurunnya kandungan bahan organik tanah yang tak bisa digantikan perannya oleh
pupuk kimia.
Tujuan penambahan arang pada
proses komposting adalah selain meningkatkan kualitas dari kompos tersebut,
juga diharapkan dengan adanya arang pada pengomposan akan menambah jumlah dan
aktivitas mikroorganisme yang berperan, sehingga proses dekomposisi dapat
berlangsung lebih cepat. Arang bersifat
sebagai soil conditioner di dalam
tanah. Dari beberapa sumber mengemukakan
bahwa dengan hanya penambahan arang pada media tumbuh tanaman, dapat
meningkatkan perkembangan mikroorganisme positif di dalam tanah, sehingga
pertumbuhan tanaman jadi terpacu. Diantaranya
adalah: endo dan ektomikoriza pada tanaman kehutanan, rhizobium pada tanaman pertanian.
Hal ini terjadi akibat kondisi optimal yang tercipta bagi perkembangan
mikro-organisme di dalam tanah.
Berdasarkan sifat serta fungsi
arang, serta didasari oleh penelitian-penelitian yang menyimpulkan bahwa arang
baik dicampurkan pada saat proses komposting, maka dari beberapa pengamatan,
menunjukkan bahwa setelah arkoba diaplikasikan, mikroorganisme yang digunakan
sebagai aktivator yang masih tersimpan pada arang kompos, berfungsi sebagi
fungisida hayati (biofungisida) untuk mencegah penyakit busuk akar pada
tanaman, sehingga disebut Bio Aktif.
Dari beberapa uji coba
pemberian arkoba pada tanah selain dapat menambah ketersediaan unsur hara
tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis tanah, juga dapat
meningkatkan pH tanah dan nilai KTK tanah, sehingga cocok digunakan untuk
rehabilitasi/reklamasi lahan-lahan
kritis, masam yang makin meluas di Indonesia.
Dari beberapa aplikasi arkoba yang telah diuji cobakan, baik di
laboratorium, maupun di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman yang
diberi arkoba meningkat hingga 2 kali lipat dibanding dengan yang tidak diberi
arkoba.
II. METODOLOGI
A. Pembuatan Arkoba skala
laboratorium
1. Persiapan Bahan berupa limbah kulit kayu sebanyak 100 kg, arang kulit kayu 10 kg,
limbah sludge 40 kg, serbuk gergaji campuran 20 kg, kotoran hewan 30 kg dan aktivator 5 persen
dari total volume bahan.
2. Semua
bahan dicampur dan diaduk hingga homogen
3. Masukkan ke dalam wadah pengomposan yang
terbuat dari kantong plastik terpal besar (Gambar 3).
Gambar 3.
Pile komposting (wadah tempat pengomposan)
- Setiap hari diamati suhu, pH dan penyusutan pile komposting
- Setiap minggu dibongkar kemudian diaduk rata sampai homogen, selanjutnya dimasukkan kembali ke dalam wadah komposting. Ini bertujuan untuk membantu memperluas kontak mikroba aktivator dengan bahan baku, sehingga diharapkan dapat mempercepat proses komposting.
- Indikasi proses selesai yaitu suhu makin lama menurun dan konstan, yang diikuti dengan penurunan atau penyusutan tumpukan pile komposting hingga 20 %.
- Apabila suhu telah mencapai suhu lingkungan, maka pile komposting dapat dibongkar lalu diangin-anginkan, kemudian dianalisis di laboratorium.
B. Analisis
Analisis
yang dilakukan adalah analisis unsur hara makro meliputi unsur N, P, K, Ca, Mg. Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan
Standar yang ada.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Suhu Pengomposan
Suhu pengomposan mulai
meningkat pada minggu pertama sampai minggu ke tiga, minggu keempat suhu konstan, dan mulai
menurun pada minggu ke lima dan ke enam. Suhu atau temperatur adalah salah satu
indikator kunci di dalam pembuatan kompos.
Panas yang ditimbulkan adalah
akibat proses yang dilakukan oleh mikroba untuk mengurai bahan-bahan yang
dikomposkan. Suhu ini
dapat digunakan untuk mengukur seberapa baik sistim pengomposan ini
bekerja, disamping itu juga dapat diketahui sejauh mana dekomposisi telah
berjalan. Pada minggu pertama, ke dua, dan ke tiga temperatur pengomposan
mencapai 63oC-66oC, sedangkan pada minggu ke empat konstan,
dan pada minggu kelima mulai menurun, hingga mencapai suhu stabil berkisar
antara 30-33oC.
B. Penyusutan
Penyusutan proses pengomposan yang diamati di laboratorium dimulai pada
minggu ke empat sampai selesai (minggu ke 6-7).
Hingga proses selesai volume penyusutan mencapai 24%.
Gambar 4. Kondisi temperatur dan
penyusutan pile komposting
C. Waktu Pengomposan.
Salah satu faktor yang
menjadi tolok ukur pembanding dari proses pengomposan adalah waktu
pengomposan. Karena waktu sangat
berkaitan dengan efisiensi dan biaya dalam suatu proses produksi, apalagi dalam
kapasitas dan skala besar. Pengomposan
yang dilakukan di laboratorium biasanya lebih cepat dari proses yang dilakukan
di lapangan dengan skala yang lebih besar.
Hal ini erat kaitannya dengan volume yang lebih kecil akan lebih mudah
mengontrol dibanding volume yang lebih besar.
Proses yang dilakukan di laboratorium berlangsung dalam waktu 7 minggu.
Mikroorganisme aktivator yang berfungsi
sebagai dekomposer mengandung bahan aktif Tricoderma
dan Cytophaga+ Asp sp. Mikroba ini aktif pada suhu thermofilik
sehingga produk yang dihasilkan lebih hygienis.
Dengan tumpukan bahan baku serta dengan kondisi tertutup sangat
memungkinkan suhu panas akan tercipta sehingga mikroba akan aktif. Apabila mikroba tersebut sudah mulai bekerja,
maka tidak ada kemungkinan bagi mikroba lain untuk ikut campur dan mengganggu
pada proses tersebut, sehingga proses akan berlangsung sesuai dengan prediksi.
D Kualitas Arang Kompos Bioaktif (Arkoba) kulit
kayu dan sludge
Hasil uji coba pembuatan arkoba
yang dilakukan di laboratorium menunjukkan hasil yang baik, karena dihasilkan
dari proses yang berjalan sempurna. Hal
ini dibuktikan berdasarkan suhu proses yang mencapai 65oC. Semakin tinggi suhu semakin baik, sebab
mikroba yang terdapat pada aktivator akan optimal bekerja pada suhu thermofilik
(suhu >55oC). Pada Tabel 1
dapat dilihat kualitas Arkoba yang dihasilkan dengan menggunakan bahan baku kulit
kayu, sludge, dan campuran kulit kayu dan sludge, serta kulit kayu + sludge +
kohe (kotoran hewan/kambing).
Tabel 1. Kualitas dan kandungan unsur hara Arkoba
kulit kayu dan sludge
No.
|
Parameter
|
Nilai / komposisi
|
SNI
|
|||||||
Arkoba kulit kayu
|
Arkoba sludge + kulit kayu
|
Arkoba kulit kayu + sludge + kohe
|
Arkoba pembanding
|
STANDAR
|
Min
|
Max
|
||||
SK
|
GA
|
Standar PT. PUSRI ***)
|
Standar pasar khusus
***)
|
|||||||
1
|
pH (1 : 1)
|
7,68
|
7,40
|
7,25
|
7- 7,15
|
7,10
|
7
|
7
|
6.8
|
7.49
|
2
|
Kadar air (Moisture content),%
|
25
|
27
|
30
|
26,00
|
24,5
|
≥20
|
≥20
|
-
|
50
|
3
|
C organik (Organic C),%
|
16
|
18
|
18
|
18,03
|
19
|
≥ 15
|
≥ 15
|
9.8
|
32
|
4
|
N total (Total
N),%
|
1,03
|
0,98
|
1,81
|
0,71
|
1,78
|
≥ 2,12
|
≥ 2,30
|
0.4
|
-
|
5
|
Nisbah C/N (C/N ratio)
|
23
|
24
|
20
|
25,60
|
13,76
|
< 20
|
≥ 15
|
10
|
20
|
6
|
P2O5 total,%
|
1,61
|
1,66
|
1,98
|
0,58
|
1,01
|
≥ 1,30
|
≥ 1,60
|
0.1
|
-
|
7
|
CaO total,%
|
1,08
|
1,47
|
1,35
|
0,28
|
2,41
|
≥ 2,00
|
≥ 1,00
|
-
|
-
|
8
|
MgO total,%
|
1,86
|
1,73
|
1,01
|
0,19
|
1,03
|
≥ 3,19
|
≥ 3,25
|
-
|
-
|
9
|
K2O total,%
|
1,09
|
1,82
|
1,82
|
1,42
|
2,84
|
≥ 2,00
|
≥ 2,40
|
0,20
|
-
|
10
|
KTK
(Cation exchange capacity), meq/100
g
|
33,58
|
30,15
|
39,25
|
5,33
|
37,21
|
-
|
-
|
-
|
|
11
|
Unsur logam
Zn (mg/kg)
Cu mg/kg
Co mg/kg
Mo mg/kg
Se mg/kg
Pb mg/kg
Cr mg/kg
Cd mg/kg
Ni mg/kg
Hg mg/kg
As mg/kg
|
9,31
3,23
*
*
*
0,21
-
0,10
|
10,12
11,31
*
*
*
1,01
-
0,11
-
*
*
|
10,21
9,04
-
-
-
1,05
-
0,12
|
0,01
0,03
|
23,76
19,92
*
*
*
3,01
-
0,21
-
*
*
|
< 400
< 150
≥ 0,10
< 150
< 45
< 3
< 50
< 1
< 10
|
Keterangan:
- Batas maksimum konsentrasi unsur dalam sludge yang diizinkan untuk diaplikasikan ke dalam tanah menurut US EPA (1993) dalam Alloway (1995) dalam Anonimus (2003)
- SK : Analisis kompos Sludge yang dilakukan oleh Komarayati (2007 )
- GA : Analisis arkoba sludge oleh Gusmailina (2008)
- * : tidak terdeteksi
- **) : Gusmailina & Komarayati (2008)
- ***) : Sumber Radiansyah (2004)
- kohe : kotoran hewan
Pada tabel 1 dapat
diketahui bahwa limbah industri pulp dan
kertas berupa kulit kayu maupun sludge dapat diolah menjadi produk yang sangat
bermanfaat. Hasil arkoba yang diperoleh
mempunyai kualitas relatif cukup baik dibandingkan dengan standar yang
ada. Kandungan unsur hara yang tersedia
telah memenuhi standar SNI 19-7030-2004, kecuali pada perlakuan kulit kayu dan perlakuan
sludge + kulit kayu, nisbah C/N yang diperoleh 23 dan 24, lebih tinggi dari
nisbah C/N yang dianjurkan oleh SNI yaitu 20.
hal ini mungkin disebabkan karena bahan baku yang digunakan kult
kayu. Akan tetapi kondisi C/N ini akan
terus menurun jika waktu pengomposan diperpanjang 1 minggu. Sedangkan perlakuan kulit kayu + sludge +
kohe diperoleh nisbah C/N yang sesuai dengan SNI yaitu 20. Demikian juga dengan unsur hara makro yang
diperoleh seperti N, P dan K telah memenuhi standar SNI, bahkan beberapa unsur
hara yang diperoleh lebih tinggi nilainya dari standar SNI. Hanya untuk standar PT. Pusri dan standar
pasar khusus beberapa kandungan unsur hara yang diperoleh sedikit lebih
rendah. Akan tetapi kualitas Arkoba yang
diperoleh ini selanjutnya dapat ditingkatkan kualitasnya, jika itu
diperlukan. Namun yang pasti
permasalahan limbah industri pulp kertas ini tidak akan menjadi masalah lagi
jika teknologi Arkoba ini diterapkan.
IV. KESIMPULAN
Teknologi Arang kompos bioaktif yang diterapkan pada percobaan
pemanfaatan limbah industri pulp dan kertas berupa kulit kayu dan sludge skala
laboratorium, menghasilkan kompos Arkoba yang memenuhi standar kualitas SNI 19-7030-2004. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan
arkoba berkisar antara 7 sampai 8 minggu.
Dengan demikian limbah industri pulp kertas tidak akan menjadi masalah
lagi jika teknologi Arkoba ini diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Pedoman
pengharkatan hara kompos. laboratorium natural products SEAMEO – BIOTROP. Bogor.
Anonim. 2003. Kompos Sludge & Fly Ash. Proses
pembuatan dan aplikasi di HTI. Divisi R
& D. PT. Arara Abadi (publikasi
untuk kalangan sendiri).
Brundrett M, N. Bougher, B.
Dell, T. Grove, and Malajczuk. 1996. Working with mycorrhizas in forestry and
agriculture. ACIAR Monograph
32. 374 + x p.
Gusmailina, S. Komarayati,
G. Pari, dan D. Hendra. 2002. Kajian teknologi pengolahan arang dan limbah
pengolahan pulp dan kertas di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Teknologi Hasil Hutan. Bogor
Gusmailina & S. Komarayati.
2008. Teknologi Inovasi Penanganan Limbah Industri Pulp Dan Kertas Menjadi
Arang Kompos Bio Aktif. Makalah utama pada Seminar Teknologi Pemanfaatan Limbah
Industri Pulp dan Kertas Untuk Mengurangi Beban Lingkungan, Bogor 24 November 2008. Kerjasama antara
Puslitbang Hasil Hutan, Bogor
dengan PT. TEL Palembang.
Handrech KA. and N.D. Black. 1984. Growing media for ornamental plants and
turf. New South Wales University
Press, Sydney.
Moore,
R.L., B.B. Basset & M.J. Swit. 1979. Developments in the remazol brilliant
blue dyeassay for dtudying the ecology of cellulose decomposition. Soil Biology and Biochemistry, 11:311-312.
Nishida, T., Y. Kashino, A. Mimura & Y. Takahara. 1988. Lignin biodegradation by wood-rooting fungi.
I. Screening oflignin degrading fungi.
Mokuzai Gakkaishi, 34:530-536. Japan.
Radiansyah, A.D. 2004.
Pemanfaatan sampah organik menjadi kompos. Makalah
pada Stadium Generale Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Komarayati, S. 2007. Kualitas pupuk organik dari limbah padat
industri kertas. Info Hasil Hutan Vol. 13 No. 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
mau yang asik ? adu ayam
BalasHapus