Kamis, 30 Juli 2009 @ 11:56 WIB - Diari
IMPLIKASI "ONE MAN ONE TREE"
oleh: GUSMAILINA
Bersamaan dengan momentum dilaksanakannya Pemilihan Umum tahun 2009 dengan azas One Man One Vote, maka Presiden berharap bangsa Indonesia harus dapat menanam One Man One Tree, sehingga jika penduduk Indonesia berjumlah 230 juta jiwa, maka tahun 2009 ini kita harus dapat menanam sebanyak 230 juta pohon. Penanaman pohon mempunyai manfaat yang besar dan luas, terutama untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup agar semakin baik, dan untuk mengendalikan terjadinya berbagai bencana alam banjir, tanah longsor di musim hujan, dan kekeringan serta kekurangan air bersih di musim kemarau, yang sekaligus juga untuk mengendalikan terjadinya kekurangan pangan.
Kegiatan penanaman serentak sudah dimulai sejak tahun 2007 dengan target :
a.Tahun 2007 sebanyak 79 juta bibit pohon, realisasi 86,9 juta pohon.
b.Tahun 2008 sebanyak 100 juta bibit pohon, 109 juta pohon.
c.Tahun 2009 sebanyak 230 juta pohon (one man one tree)
Sampai saat ini, realisasi penanaman 100 juta pohon melalui "kegiatan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional (HMPI-BMN) telah terealisasi sebesar 109 juta batang (Iebih dari 100%). Gerakan Perempuan Tanam dan Program Ketahanan Pangan (GPT-PKP) juga terealisasi lebih dari 100% yaitu sebesar 5.083.467 batang dari rencana 5.010.000 batang.
Menteri Kehutanan, DR(HC) H.M.S. Kaban bersama Gubernur NTT Pada tanggal 12 Februari 2009 melakukan penanaman dan pencanangan pengembangan tanaman Cendana di desa Ponain, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur bersama Kelompok Tani Cendana binaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang yang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana. Program rehabilitasi tanaman pohon Cendana di NTT ini awalnya merupakan prakarsa Menteri Kehutanan pada tahun 2006.
Gerakan Penanaman Pohon Satu Orang Satu Pohon (One Man One Tree) tahun 2009 dicanangkan mulai tanggal 1 Februari sampai akhir tahun 2009.Adapun teknis pelaksanaan penanaman pohon di lingkungan Instansi atau lokasi resapan air/lahan kosong/lokasi lainnya pada wilayah kerja berkoordinasi dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) setempat dan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota terkait. Gerakan penanaman dan Pelihara Pohon, harus terus digelorakan dan dilakukan secara kontinyu pada setiap tahun masa tanam. Dalam waktu 5 sampai 10 tahun mendatang, bangsa Indonesia akan menikmati indahnya bumi Indonesia hijau berseri. Kita harus mulai dari diri sendiri, kita mulai dari lingkungan kita sendiri, kita mulai dari sekarang, ONE MAN ONE TREE!
EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2)
Pemanasan global dan perubahan iklim telah terjadi dan menimbulkan dampak multidimensi di tingkat global. Fenomena ini terjadi akibat pembangunan dan aktivitas ekonomi negara-negara maju selama dua abad terakhir dengan membakar bahan bakar fosil. Di saat yang bersamaan, terjadi perubahan tata guna lahan dan perusakan hutan yang meningkatkan volume gas-gas rumah kaca di atmosfer. Produksi gas rumah kaca Indonesia mengalami kenaikan pesat dalam satu dekade terakhir. Sumber-sumber emisi terbesar berasal dari sektor energi (pembangkitan listrik, konversi energi, industri, dan transportasi) dan perubahan tata guna lahan (land-use change).
Akibat aktivitas manusia meningkatkan jumlah CO2 atmosfer. Manusia melepaskan CO2 ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya. Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer, pada saat yang sama, jumlah pepohonan yang mampu menyerap karbondioksida semakin berkurang akibat deforestasi, kebakaran hutan maupun konversi lahan. Pada tahun 1750, konsentrasi CO2 sebesar 281 ppm, pada Januari 2007 konsentrasi CO2 telah mencapai 383 ppm (peningkatan 36 persen). Jika prediksi saat ini benar, pada tahun 2100 CO2 akan mencapai konsentrasi 540 hingga 970 ppm. Studi yang dilakukan IESR dan WWF Indonesia tahun 2007 lalu memperkirakan, di tahun 2025, emisi CO2 akan meningkat tiga kali lipat
Sektor transportasi menyumbang 25 persen penyebab pemanasan global. Dari 25 persen itu, tiga per empatnya berasal dari transportasi darat yang memakai bahan bakar fosil. Karena setiap liter pembakaran BBM fosil akan melepaskan emisi CO2 sebesar 3 kg (www.fueleconomy.gov/rekomendasi solid team/EPA). Jika kadar CO2 terus bertambah di atmosfer berimplikasi pada penurunan kandungan gizi sejumlah bahan pokok makanan.
Indonesia seharusnya tidak perlu mengulangi kesalahan negara-negara maju yang berbasis tinggi karbon. Indonesia bisa memilih model pembangunan berbasis rendah karbon, tanpa menurunkan kualitas dan hasil pembangunan itu sendiri, sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. “Jika hal ini dilakukan, maka Indonesia sebagai negara berkembang telah mengimplementasikan hasil COP 13, yaitu Bali Action Plan, yaitu menurunkan emisi secara sukarela.”
Emisi CO2 lainnya yang berasal dari manusia yaitu proses pernafasan. Perkiraan Wikipedia pd th 2007 populasi manusia di bumi adalah 6,6 miliar. Paru-paru manusia mengambil 250 ml oksigen/menit, dari respirasi manusia melepaskan CO2 berkisar antara 288 liter sampai 450 liter (sekitar 565.36-900 g/per hari). Dengan demikian, jumlah CO2 dilepaskan oleh manusia per hari adalah 0,565 - 0,9 kg / hari. Dengan demikian Emisi CO2 dari respirasi manusia berkisar antara 1,362 x 10 9 ton/tahun - 2,168 x 10 9 ton/tahun (0.565 – 0,9 kg/hari x 365 x 6 600 000 000).
PERANAN VEGETASI HUTAN SEBAGAI PENYERAP KARBON
Carbon sink adalah istilah yang digunakan di bidang perubahan iklim. Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan (reservoir) karbon. Beberapa hal yang paling penting peranan vegetasi hutan diantaranya:
1.Hutan memasok Oksigen, melalui proses fotosintesis, 1 ha lahan hijau dapat mengubah 3,7 ton CO2 menjadi 2 ton O2.
2.Air tanah yang sekarang ini kita nikmati sesungguhnya merupakan hasil resapan air hujan sekira 6.000 tahun lalu ketika areal serapan air masih sangat luas. Selain itu, akar pohon akan menahan tanah yang terkikis agar tidak masuk ke aliran sungai/saluran air yang akan menimbulkan endapan. Kemampuan inilah yang dapat mencegah terjadinya kekurangan air di musim kemarau dan banjir di musim hujan.
3.Tegakan hutan yang berdaun jarum mampu membuat 60% air hujan terserap tanah, bahkan tegakan hutan yang berdaun lebar mampu membuat 80% air hujan terserap tanah. Dengan kemampuan ini akan meningkatkan cadangan air tanah. Sebagai contoh kawasan Punclut yang merupakan kawasan resapan air bagi warga Bandung dan sekitarnya hanya mampu meresapkan air 5 liter/dt. Jumlah ini terus mengecil seiring dengan meluasnya permukaan tanah yang tertutup.
Jika seorang manusia beraktivitas maka ia akan melepas CO2 :
1.respirasi 0.565 – 0,9 kg/hari (rata-rata 0,7 kg/hari)
2.Kalau menggunakan kenderaan BBM 3-10 liter/hari, maka CO2 yang lepas ke atmosfir 3-10 x 3 kg CO2 = 9-30kg CO2/hari
3.emisi CO2 akan bertambah lagi apabila manusia itu merokok (data belum teridentifikasi).
Melihat kecenderungan ini sudah seharusnya setiap manusia mendukung program one man one tree, paling tidak untuk menjaga keseimbangan konsentrasi CO2.
Untuk mendukung suksesnya program ini, perlu penyediaan bibit yang berkualitas, terpilih sebagai salah satu jenis yang mampu menyerap karbon lebih besar, tahan terhadap hama penyakit serta tahan terhadap fluktuasi iklim yang berubah-ubah.
Salah satu cara yang dapat diterapkan adalah penyediaan bibit di persemaian dengan menggunakan media semai yang teruji. Karena bibit yang dihasilkan dari persemaian yang bagus akan menjamin pertumbuhan bibit di lapangan lebih stabil dan adapted.
Arang kompos bioaktif, pupuk organik mikoriza dan blok media semai merupakan alternatif cara untuk memperoleh bibit berkualitas. Beberapa uji coba menunjukkan bahwa pemberian arang kompos bioaktif pada tanah selain dapat menambah ketersediaan unsur hara tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis tanah, serta dapat meningkatkan pH dan nilai kapasitas tukar kation (KTK) tanah, sehingga cocok digunakan untuk rehabilitasi/reklamasi lahan-lahan kritis dan masam di Indonesia. Uji coba aplikasi arang kompos bioaktif pada tanaman meningkat hingga 2-3 kali lipat dibanding dengan kontrol. Pada tanaman tembakau di Kab. Garut pemberian arang kompos bioaktif ternyata meningkatkan kuantitas dan kualitas daun tembakau secara signifikan (volume daun meningkat sampai 2,5 kali, serta meningkatkan aroma daun).
Demikian juga pada tanaman murbei untuk budidaya ulat sutera, dengan memberi arang kompos bioaktif 0,5 kg/rumpun pada tanaman murbei yang berumur sekitar 10 bulan, meningkatkan jumlah daun murbei sebesar lima kali lipat, selain itu juga meningkatkan kualitas benang sutera yang dihasilkan.
Kamis, 19 November 2009
TEKNOLOGI INOVASI PENANGANAN LIMBAH INDUSTRI PULP DAN KERTAS MENJADI ARANG KOMPOS BIO AKTIF
TEKNOLOGI INOVASI PENANGANAN LIMBAH INDUSTRI PULP DAN KERTAS MENJADI ARANG KOMPOS BIO AKTIF *)
Oleh:
GUSMAILINA & SRI KOMARAYATI **)
Abstrak
Salah satu industri yang harus peduli terhadap lingkungan adalah industri pulp dan kertas. Di dalam mewujudkan kepedulian terhadap lingkungan, beberapa industri pulp dan kertas, terutama industri kertas di Indonesia telah menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan (SML) ISO-14001. Salah satu keuntungan dari penerapan sistem ini adalah dapat meningkatkan ekspor produk ke negara-negara Eropa dan Amerika. Namun dengan semakin meningkatnya produksi, volume limbah yang dihasilkan juga semakin tinggi. Dari proses produksi industri pulp dan kertas akan dihasilkan limbah yang salah satunya adalah limbah sludge.
Teknologi pengomposan merupakan inovasi yang dipandang sebagai alternatif penanganan limbah sludge yang paling baik, karena di samping tidak mencemari lingkungan, juga menghasilkan produk yang bermanfaat dengan investasi yang relatif murah. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian skala laboratorium pembuatan arang kompos bioaktif berbahan baku sludge. Kegiatan ini diawali dengan kunjungan ke PT. IKPP. dan PT. Arara Abadi pada tahun 2004/2005 khusus di kawasan pengolahan kompos dengan tujuan sebagai studi banding dan dialog serta berbagi pengalaman khusus tentang pengolahan kompos sludge.
Hasil uji coba pembuatan kompos dari limbah sludge pabrik pulp dan kertas yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa kualitas kompos yang dihasilkan lebih baik dengan waktu pembuatan kompos yang lebih singkat. Teknologi pengomposan yang diterapkan oleh P3HH adalah secara anaerobik, menggunakan aktivator serta bernilai plus apabila dilakukan penambahan bahan baku kotoran ternak. Selain itu kandungan unsur logam yang berbahaya juga menurun tajam, jauh di bawah ambang batas yang diperbolehkan baik skala internasional maupun skala nasional. Dengan demikian limbah sludge pabrik pulp dan kertas layak dipakai dan dikembang luaskan untuk konsumsi kalangan industri sendiri, baik dijual ke pasar umum, bebas maupun ekspor.
Kata kunci : sludge, komposting, dekomposer,arang kompos, uji coba, teknologi, kualitas
==================================================================
*) Disampaikan sebagai makalah utama pada Seminar Teknologi Pemanfaatan Limbah Industri Pulp dan Kertas Untuk Mengurangi Beban Lingkungan, Bogor 24 November 2008.
**) Staf Peneliti pada Pusat Litbang Hasil Hutan Jalan gunung Batu No 5. Telp (0251) 8633378; fax (0251) 8633413; e-mail : lina@forda-mof.org, glinara@yahoo.co.id
I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Salah satu industri yang harus peduli terhadap lingkungan adalah industri pulp dan kertas. Di dalam mewujudkan kepedulian terhadap lingkungan, beberapa industri pulp dan kertas, terutama industri kertas di Indonesia telah menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan (SML) ISO-14001. Salah satu keuntungan dari penerapan SML ISO-14001 ini adalah dapat meningkatkan ekspor produk ke negara-negara Eropa dan Amerika. Namun makin meningkatnya produksi akan berdampak terhadap tingginya volume limbah yang dihasilkan. Dari proses produksi industri pulp dan kertas akan dihasilkan limbah yang salah satunya adalah limbah sludge. Satu industri pulp dan kertas tiap hari menghasilkan sludge berkisar antara 30 – 40 ton, sementara pemanfaatan sludge per hari hanya 12 ton (Aritonang, 2005). Sehingga masih banyak sludge yang tersisa yang belum dimanfaatkan. Penanggulangan sludge di beberapa industri pulp dan kertas di Indonesia, sebagian besar hanya dibenamkan ke dalam tanah atau dibakar. Penanggulangan dengan cara ini mempunyai beberapa resiko antara lain jika dibenamkan ke dalam tanah membutuhkan areal yang luas, sedangkan jika dibakar memerlukan biaya yang cukup besar dan dapat mencemari udara.
Teknologi pengomposan merupakan inovasi yang dipandang sebagai alternatif penanganan yang paling baik, karena di samping tidak mencemari lingkungan, juga menghasilkan produk yang bermanfaat dengan investasi yang relatif murah. Kendalanya adalah karena karakteristik dari sludge yang menyerap air, sehingga jika sludge ditumpuk pada saat proses pengomposan, rongga udara yang tercipta akan sedikit, sehingga mengganggu proses pengomposan. Oleh sebab itu perlu diupayakan cara untuk menanggulanginya.
Tulisan ini menyajikan hasil penelitian skala laboratorium pembuatan arang kompos bioaktif berbahan baku sludge. Kegiatan ini diawali dengan kunjungan ke PT. IKPP. dan PT. Arara Abadi pada tahun 2004/2005 khusus di kawasan pengolahan kompos dengan tujuan sebagai studi banding dan berbagi pengalaman khusus tentang pengolahan kompos sludge.
b. Arang kompos bioaktif (ARKOBA)
Arang kompos bioaktif adalah gabungan antara arang dan kompos yang dihasilkan melalui teknologi komposting dengan bantuan mikroba lignoselulotik yang tetap bertahan di dalam kompos, mempunyai kemampuan agen hayati sebagai biofungisida untuk melindungi tanaman dari serangan penyakit akar, sehingga disebut bioaktif. Keunggulan lain dari ARKOBA adalah karena keberadaan arang yang menyatu dalam kompos, yang bila diberikan pada tanah ikut andil dan berperan sebagai agent pembangun kesuburan tanah, sebab arang mampu meningkatkan pH tanah sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah. Oleh sebab itu ARKOBA cocok dan tepat dikembangkan secara luas di Indonesia mengingat 2/3 dari lahan pertanian maupun kehutanan berada dalam kondisi masam (pH rendah), kritis dan marjinal akibat menurunnya kandungan bahan organik tanah yang tak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia. Sejak tahun 2001 Pusat Litbang Hasil Hutan telah melakukan serangkaian riset baik skala laboratorium maupun skala lapangan yang telah diaplikasikan di beberapa TPA di Jawa dan Sumatera.
Tujuan penambahan arang pada proses pengomposan adalah selain meningkatkan kualitas dari kompos tersebut, juga diharapkan dengan adanya arang pada pengomposan akan menambah jumlah dan aktivitas mikroorganisme yang berperan, sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat. Arang bersifat sebagai soil conditioner di dalam tanah. Dari beberapa sumber mengemukakan bahwa dengan hanya penambahan arang pada media tumbuh tanaman, dapat meningkatkan perkembangan mikroorganisme positif di dalam tanah, sehingga pertumbuhan tanaman jadi terpacu. Diantaranya adalah: endo dan ektomikoriza pada tanaman kehutanan, rhizobium pada tanaman pertanian. Hal ini terjadi akibat kondisi optimal yang tercipta bagi perkembangan mikro-organisme di dalam tanah.
Berdasarkan sifat serta fungsi arang, maka sejak tahun 1999, Puslitbang Hasil Hutan mulai mengembangkan pemanfaatan arang pada teknologi komposting. Hal ini juga didasari oleh penelitian-penelitian yang menyimpulkan bahwa arang baik dicampurkan pada saat proses komposting, atau jika terdapat kendala, maka arang diberikan pada saat proses komposting selesai, maka pada awalnya dinamai Arang Kompos. Selanjutnya hasil dari beberapa pengamatan, menunjukkan bahwa setelah arang kompos diaplikasikan, mikroorganisme yang digunakan sebagai aktivator yang masih tersimpan pada arang kompos, berfungsi sebagi fungisida hayati (biofungisida) untuk mencegah penyakit busuk akar pada tanaman, sehingga selanjutnya diberinama Arang Kompos Bio Aktif (ARKOBA).
Manfaat arang kompos bioaktif (ARKOBA)
o Arang kompos dapat ditingkatkan menjadi pupuk organik melalui pengkayaan unsur hara dengan bahan-bahan organik alam.
o Memacu perkembangan mikroorganisme tanah, meningkatkan nilai kadar tukar kation (KTK) tanah, pH tanah pada tingkat yang lebih sesuai bagi pertumbuhan tanaman, sehingga cocok untuk reklamasi lahan yang mempunyai tingkat kesuburan dan keasaman tanah yang rendah.
o Arang kompos mempunyai sifat yang lebih baik dari kompos karena keberadaan arang yang menyatu dalam kompos. Morfologi arang yang mempunyai pori sangat efektif untuk mengikat dan menyimpan hara. Hara tersebut dilepaskan secara perlahan sesuai dengan konsumsi dan kebutuhan tanaman (efek slow release). Karena hara tersebut tidak mudah tercuci, lahan akan selalu berada dalam kondisi siap pakai.
o Penggunaan arang kompos merupakan upaya untuk menjaga stabilitas bahan organik tanah agar kelestarian produktivitas tanaman terjaga. Baik diterapkan untuk mencapai keberhasilan pembangunan hutan tanaman serta mendukung kesinambungan dan kelestarian hutan, sekaligus program GERHAN.
Dari beberapa uji coba pemberian arang kompos pada tanah selain dapat menambah ketersediaan unsur hara tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis tanah, juga dapat meningkatkan pH tanah dan nilai KTK tanah, sehingga cocok digunakan untuk rehabilitasi/reklamasi lahan-lahan kritis, masam yang makin meluas di Indonesia. Dari beberapa aplikasi arang kompos yang telah diuji cobakan, baik di laboratorium, maupun di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman yang diberi arang kompos meningkat hingga 2 kali lipat dibanding dengan yang tidak diberi arang kompos.
Aplikasi arang kompos bioaktif yang telah dilakukan selain di Kabupaten Garut adalah di Ciloto (KPH Cianjur), pada tanaman pak choi, brokoli, dan wortel. Hasil yang diperoleh dalam satuan luas 400 m persegi, produksi meningkat 1, 5 kwintal, jika dibandingkan dengan pupuk yang yang biasa digunakan oleh petani seperti bokasi, selain itu juga mengurangi penggunaan pupuk kimia sebesar 40 %.
Gambar 1. Aplikasi Arang Kompos Bioaktif pada tanaman pertanian
(brokoli,pak choi, wortel, dll) di ciloto, kab Bogor.
c. Pengolahan kompos sludge di PT. Arara Abadi
Studi banding yang telah dilakukan di PT Arara Abadi pada tahun 2004/2005 mengenai pemanfaatan limbah dari PT. IKPP (Indah Kiat Pulp Paper). Limbah terdiri dari kulit kayu, sludge, serbuk kayu sisa proses pembuatan chip, abu buangan boiler dan gambut sisa boiler (Gambar 1), hampir semua bahan diolah menjadi kompos dengan proses konvensional secara terbuka tanpa menggunakan aktivator, sehingga membutuhkan waktu relatif lama, yaitu sampai 6 bulan. Kompos yang dihasilkan telah diaplikasikan pada lahan hutan tanaman (HT) penanaman sekitar komplek PT. IKPP, tetapi belum dalam skala besar. Karena sewaktu studi dilakukan untuk aplikasi skala luas pada areal HT perlu izin dari Kantor Meneg LH, sebab pihak LH mengkhawatirkan adanya kandungan logam berat pada kompos yang akan mencemari tanah dan air tanah, sehingga timbul masalah bagi perusahaan pada saat itu adalah karena produksi kompos jadi menumpuk yaitu mencapai 3600 ton. Muncul kekhawatiran lain yaitu kompos tidak disimpan sebagaimana mestinya sesuai persyaratan penyimpanan. Karena pada saat tersebut perusahaan belum sepenuhnya yakin akan kualitas kompos yang dihasilkan, sehingga kegiatan ini sepenuhnya belum mendapat dukungan dari perusahaan, dan kompos masih tersimpan diareal terbuka (Gambar 2). Pada hal kompos apabila sudah jadi, harus diperlakukan dengan hati-hati, terutama yang harus dijaga adalah: kelembabannya jangan sampai < 20 persen dari bobotnya, jangan sampai kena sinar matahari dan air / hujan secara langsung (ditutup). Apabila akan dikemas, pilih bahan kemasan yang kedap udara dan tidak mudah rusak. Bahan kemasan tidak tembus cahaya matahari akan lebih baik. Hal ini disebabkan karena kompos merupakan bahan yang apabila berubah, tidak dapat kembali ke keadaan semula (Irreversible). Apabila kompos mengering, unsur hara yang terkandung didalamnya akan ikut hilang bersama dengan air dan apabila kompos ditambahkan air kembali maka unsur hara yang hilang tadi tidak dapat kembali lagi. Demikian juga dengan pengaruh air hujan. Apabila kompos kehujanan, unsur hara akan larut dan terbawa air hujan. Oleh sebab itu faktor penyimpanan merupakan faktor yang sangat penting diperhatikan agar tidak terjadi masa kadaluarsa (kompos tidak memiliki nilai dan kualitas). Kebanyakan produsen kompos kurang menyadari bahwa faktor penyimpanan adalah salah satu faktor penentu kualitas kompos.
Gambar 2. Limbah industri pulp kertas berupa sludge, serbuk dan kulit kayu dan abu dicampur menjadi satu untuk selanjutnya diolah menjadi kompos di PT. Arara Abadi (foto: gusmailina, 2005)
Gambar 3. Kompos siap pakai tersimpan di areal terbuka di kawasan pengolahan kompos PT. Arara Abadi (foto: gusmailina, 2005)
Berdasarkan diskusi dengan pihak industri (Div.HRD), disarankan beberapa hal antara lain:
1. Untuk mempercepat proses komposting sebaiknya digunakan aktivator; Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan mikroba penghancur (dekomposer) yang berkemampuan tinggi. Penggunaan mikroba dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan menjadi beberapa minggu saja. Di pasaran saat ini banyak tersedia produk-produk biodekomposer untuk mempercepat proses pengomposan. Yang perlu diperhatikan adalah penyesuaian sifat aktivator untuk mempercepat proses pengomposan dengan bahan baku yang akan dikomposkan;
2. Sebaiknya proses komposting dilakukan di bawah naungan, agar nutrisi/hara yang terkandung tidak tercuci sewaktu hujan;
3. Sebaiknya kompos yang dihasilkan disimpan di dalam gudang yang memenuhi persyaratan penyimpanan;
4. Sludge yang masih mengandung kadar air tinggi, sebaiknya di press terlebih dahulu sebelum komposting;
5. Sebagian kulit kayu atau serbuk kayu dibuat arang kemudian dicampurkan pada saat komposting sehingga dapat mengurangi bau sludge, atau arang dicampurkan pada sludge basah yang baru keluar dari proses.
Gambar 4. Proses komposting di PT. Arara Abadi berlangsung secara alami dan terbuka (foto: gusmailina, 2005)
II. UJI COBA PEMBUATAN KOMPOS LIMBAH SLUDGE SKALA LABORATORIUM
A Persiapan
Sebagai tindak lanjut dari beberapa butir saran yang dianjurkan ke pihak industri, maka di laboratorium juga dilakukan percobaan pembuatan arang kompos kapasitas kecil (100 kg) dengan menggunakan bahan limbah yang diperoleh dari PT.Arara Abadi berupa campuran limbah (sludge, serbuk dan kulit kayu dan abu) yang siap untuk dikomposkan. Perlakuan yang diaplikasikan adalah sesuai dengan saran-saran yang dianjurkan ke perusahaan antara lain: proses komposting menggunakan aktivator, komposting berlangsung di bawah naungan, mengurangi kadar air sludge dengan press sederhana, kemudian mencampur dengan arang kulit kayu. Selain itu juga dicoba dengan penambahan campuran kotoran ternak ayam dan kambing.
Pembuatan kompos hanya 2 kantung plastik kapasitas 100 kg, hal ini karena terbatasnya contoh limbah sludge yang akan diolah. Masing-masing kantung diisi dengan komposisi yang sama yaitu 60 kg campuran sludge,10 kg butiran arang kulit kayu, dan 10 kg serbuk gergaji, 20 kg campuran kotoran ternak. Tujuan akhir dari uji coba ini adalah untuk membandingkan kompos yang dihasilkan dari laboratorium dengan kompos yang dihasilkan oleh PT. Arara Abadi. Termasuk juga untuk membuktikan bahwa kompos yang dihasilkan tidak mengandung bahan yang berbahaya, sehingga layak untuk dipakai.
B Proses komposting
Setelah bahan dipersiapkan selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah komposting berupa kantung plastik kapasitas 100 kg. Pengukuran suhu dilakukan setiap hari sebagai indikator bahwa proses pengomposan berjalan baik. Volume penyusutan juga diamati, karena apabila proses berjalan sempurna volume bahan akan menyusut sampai proses selesai.
Gambar 5. Plastik ukuran jumbo kapasitas 100 kg, tempat berlangsungnya proses pengomposan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Suhu Pengomposan
Suhu pengomposan yang dilakukan di laboratorium mulai meningkat pada minggu pertama sampai minggu ke dua dan selanjutnya terus menurun sampai minggu ke-4. Panas ditimbulkan sebagai suatu hasil sampingan proses yang dilakukan oleh mikroba untuk mengurai bahan-bahan yang dikomposkan. Suhu ini dapat digunakan untuk mengukur seberapa baik sistim pengomposan ini bekerja, disamping itu juga dapat diketahui sejauh mana dekomposisi telah berjalan. Pada minggu pertama dan ke dua temperatur pengomposan mencapai 63oC-66oC, sedangkan pada minggu ke empat sampai stabil berkisar antara 30-33oC. Sebaliknya suhu proses komposting di PT. AA yang pernah diukur berkisar antara 30-32oC pada permukaan, dan pada bahagian dalam berkisar antara 35-40oC (tergantung kondisi lingkungan). Hal ini menunjukkan bahwa proses komposting berlangsung pada kondisi mesofilik, secara alami dan hanya mengandalkan kondisi alam untuk mendukung berlangsungnya proses pengomposan. Proses ini juga hanya mengandalkan mikroorganisme yang ada disekitar lokasi pengomposan, sehingga proses yang berlangsung tidak sempurna karena biasanya mikroba yang terdapat di sekitar lokasi kebanyakan mikroba pembusuk, bukan mikroba dekomposer. Sehingga kualitas kompos yang dihasilkan juga lebih rendah dibanding dengan kompos yang dihasilkan dari proses pengomposan yang dikontrol.
B. Penyusutan
Penyusutan proses pengomposan yang diamati di laboratorium dimulai pada minggu ke tiga sampai selesai (minggu ke 4). Hingga proses selesai volume penyusutan mencapai 21%.
C. Waktu Pengomposan.
Salah satu faktor yang menjadi tolok ukur pembanding dari proses pengomposan adalah waktu pengomposan. Karena waktu sangat berkaitan dengan efisiensi dan biaya dalam suatu proses produksi, apalagi dalam kapasitas dan skala besar. Waktu pengomposan yang berlangsung di PT. Arara Abadi (PT. AA) berlangsung sampai 6 bulan. Hal ini karena proses pengomposan berlangsung secara alami dan terbuka, sehingga tidak dapat dikontrol. Sedangkan pengomposan di laboratorium berlangsung hanya satu bulan dengan dua kali pembalikan. Hal ini karena proses yang berlangsung terkontrol. Pertama faktor yang dikontrol adalah mikroorganisme yang berfungsi sebagai dekomposer. Di laboratorium pengomposan menggunakan aktivator dengan bahan aktif Tricoderma dan Cytophaga+ Asp sp yang aktif pada suhu thermofilik. Dengan tumpukan bahan baku serta dengan kondisi tertutup sangat memungkinkan suhu panas akan tercipta sehingga mikroba akan aktif. Apabila mikroba tersebut sudah mulai bekerja, maka tidak ada kemungkinan bagi mikroba lain untuk ikut campur dan mengganggu pada proses tersebut, sehingga proses akan berlangsung sesuai dengan prediksi. Sebaliknya proses pengomposan yang berlangsung di PT. AA, tidak menggunakan aktivator, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama, karena mikroba yang berperan belum tentu mikroba dekomposer, tetapi mikroba yang melakukan proses tersebut adalah mikroba pembusuk, dengan keragaman jenis yang sangat tinggi akhirnya proses tidak optimal, dan biasanya kompos yang dihasilkan dengan proses alami mempunyai kualitas yang lebih rendah.
D Kualitas Arang Kompos
Hasil uji coba pembuatan arang kompos yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa kompos yang dihasilkan baik, karena dihasilkan dari proses yang berjalan sempurna. Hal ini dibuktikan berdasarkan suhu proses yang mencapai 66oC. Semakin tinggi suhu semakin baik, sebab mikroba yang terdapat pada aktivator akan optimal bekerja pada suhu thermofilik (suhu >50oC). Pada Tabel 1 dapat dilihat kualitas arang kompos yang dihasilkan dengan menggunakan bahan baku sludge.
Tabel 1. Kualitas dan kandungan unsur hara Arang kompos hasil uji coba di laboratorium (GA) dibandingkan dengan beberapa kualitas kompos lainnya
No. Parameter Nilai
PT. AA
SK ARANG KOMPOS
GA
**) US EPA (1993) Standar pasar khusus
***)
Lab. PT AA Lab. IPB
1 pH (1 : 1) 7,68 7- 7,15 7,10 - 7
2 Kadar air (Moisture content),% - 26,00 24,5 - ≥20
3 C organik (Organic C),% 14 - 18,03 19 - ≥ 15
4 N total (Total N),% 0,60 - 0,71 1,78 - ≥ 2,30
5 Nisbah C/N (C/N ratio) 26 - 25,60 13,76 - ≥ 15
6 P2O5 total,% 0,11 - 0,58 1,01 - ≥ 1,60
7 CaO total,% 5,57 - 0,28 2,41 - ≥ 1,00
8 MgO total,% 0,26 - 0,19 1,03 - ≥ 3,25
9 K2O total,% 0,29 - 1,42 2,84 - ≥ 2,40
10 KTK (Cation exchange capacity), meq/100 g - - 5,33 - - -
11 Unsur logam
Zn (mg/kg)
Cu mg/kg
Co mg/kg
Mo mg/kg
Se mg/kg
Pb mg/kg
Cr mg/kg
Cd mg/kg
Ni mg/kg
Hg mg/kg
As mg/kg
34,60
76,90
20,00
7,19
<0,003
16,25
20,28
1,33
8,62
<0,01
2,00
40,50
21,10
-
-
-
4,81
18,90
0,24
19,30
-
-
0,01
0,03
23,76
19,92
*
*
*
3,01
-
0,21
-
*
*
7500
4300
-
75
100
840
3000
85
420
57
75
< 400
< 150
≥ 0,10
< 150
< 45
< 3
< 50
< 1
< 10
Keterangan:
1. Batas maksimum konsentrasi unsur dalam sludge yang diizinkan untuk diaplikasikan ke dalam tanah menurut US EPA (1993) dalam Alloway (1995) dalam Anonimus (2003)
2. SK : Analisis kompos Sludge yang dilakukan oleh Komarayati (2007 )
3. GA : Kompos sludge hasil uji coba di laboratorium
4. * : tidak terdeteksi
5. **) : Dianalisis di Lab Natural Products. Biotrop Bogor.
6. ***) : Sumber Radiansyah (2004)
Pada Tabel 1 dapat diketahui sifat dan kualitas arang kompos sludge hasil uji coba di laboratorium (GA) serta beberapa jenis kompos sludge yang sudah dilakukan, baik oleh PT. AA sendiri maupun yang dilakukan oleh Komarayati, dkk (2007)/SK. Berdasarkan hasil analisis unsur hara yang dilakukan di Biotrop, Bogor menunjukkan bahwa hampir semua komponen unsur hara memberikan hasil yang lebih baik jika dibanding dengan kompos lainnya, termasuk kompos PT. AA. Nisbah C/N kompos hasil uji coba adalah 13,76, menunjukkan bahwa kompos tersebut telah matang dan siap pakai untuk diaplikasikan, sebaliknya nisbah C/N kompos dari PT. AA masih cukup tinggi yaitu 26, sehingga masih membutuhkan waktu agar sewaktu diaplikasikan tidak meracuni tanaman. Demikian juga dengan kandungan unsur hara N, P dan K masing-masing 1,78, 1,01 dan 2,84 % menunjukkan terjadinya perbaikan kualitas bila dibandingkan dengan kompos yang dihasilkan oleh PT. AA yang masing-masing hanya 0,60, 0,11dan 0,29 %. Hal yang sama juga terjadi pada kandungan logam berbahaya, dimana kandungan logam berbahaya dari arang kompos hasil uji coba di laboratorium menurun tajam dan telah termasuk ke dalam kriteria yang diperbolehkan baik secara internasional (US EPA) maupun nasional seperti Standar Pusri, Perhutani dan standar kualitas pasar khusus (Komarayati, 2007).
Kandungan unsur hara arang kompos hasil uji coba di laboratorium secara keseluruhan menunjukkan hasil yang lebih baik jika dibanding dengan kandungan unsur hara kompos yang diolah secara alami dan terbuka seperti yang dilakukan oleh PT. AA. Hal ini disebabkan karena perbedaan teknologi proses yang diterapkan. Proses pengomposan yang berlangsung di PT. AA adalah secara aerobik dan tanpa menggunakan aktivator. Sedangkan teknologi yang diterapkan untuk uji coba di laboratorium dengan menggunakan bahan baku yang sama adalah secara anaerob dengan menggunakan aktivator yang berbahan aktif Trichoderma dan Cytophaga + Asp sp. Selain kualitas kompos yang dihasilkan lebih baik, waktu pengomposan juga lebih singkat, sehingga lebih efisien apalagi jika dilakukan dalam skala dan kapasitas yang lebih besar, tentu akan memberi keuntungan yang lebih tinggi.
Selain waktu yang singkat, faktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap baiknya kualitas arang kompos yang dihasilkan adalah penambahan kotoran ternak (campuran kotoran ayam dan kotoran kambing). Hal ini mungkin disebabkan karena pemberian pupuk kandang berpengaruh terhadap peningkatan suhu pengomposan, sehingga proses berjalan lebih cepat dan singkat. Pemberian kotoran ternak maupun pupuk kandang dalam proses pengomposan juga meningkatkan pH dengan kisaran antara 7.5 sampai 8.5, serta juga berpengaruh terhadap penurunan rasio C/N. Dengan demikian untuk pengolahan sludge menjadi arang kompos penambahan kotoran ternak (ayam dan kambing) pada proses pengomposan akan meningkatkan kualitas kompos, serta waktu pengomposan yang lebih singkat.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uji coba pembuatan arang kompos bioaktif dari limbah sludge pabrik pulp dan kertas yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa kualitas arang kompos yang dihasilkan lebih baik dengan waktu yang lebih singkat, karena teknologi pengomposan yang diterapkan secara anaerobik, menggunakan aktivator serta bernilai plus apabila dilakukan penambahan bahan baku kotoran ternak. Selain itu kandungan unsur logam yang berbahaya juga menurun tajam, jauh di bawah ambang batas yang diperbolehkan baik skala internasional maupun skala nasional. Dengan demikian limbah sludge pabrik pulp dan kertas layak dipakai dan dikembang luaskan untuk konsumsi kalangan industri sendiri, maupun dijual ke pasar umum, bebas maupun ekspor.
V. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih yang sebesar2nya disampaikan kepada PT. IKPP dan PT. Arara Abadi Perawang (div. HRD), Riau yang telah berkenan menerima penulis untuk berkunjung sekaligus diperkenankan untuk melihat secara langsung ke areal kawasan pengolahan kompos.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Pedoman pengharkatan hara kompos. laboratorium natural products SEAMEO – BIOTROP. Bogor.
Anonim. 2003. Kompos Sludge & Fly Ash. Proses pembuatan dan aplikasi di HTI. Divisi R & D. PT. Arara Abadi (publikasi untuk kalangan sendiri).
Aritonang. 2005. Komunikasi pribadi di PT. TEL. Palembang .
Away, Yufnal, 2003. Uji coba penggunaan bioaktivator “orgadec plus” pada sampah kota di TPA Bantar Gebang. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor
Gusmailina, S.Komarayati dan T. Nurhayati. 1990. Pemanfaatan residu fermentasi padat sebagai kompos pada pertumbuhan anakan Eucalyptus urophylla, Jurnal Penelitian Hasil Hutan. (4):157-163
Gusmailina, G. Pari., and S. Komarayati. 1999. Teknologi penggunaan arang dan arang aktif sebagai soil conditioning pada tanaman. Laporan Proyek.Pusat Penelitian dan Pengembangan hasil Hutan. Bogor
Gusmailina, G. Pari dan S.Komarayati. 1999. Teknologi penggunaan arang dan arang aktif sebagai soil conditioning pada tanaman kehutanan. Laporan proyek. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor (Bahan publikasi).
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2001. Teknik penggunaan arang sebagai soil conditioning pada tanaman. Laporan hasil penelitian (tidak diterbitkan)
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2001. Laporan kerjasama penelitian P3THH – JIPFRO. Bogor (tidak diterbitkan)
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2002. Laporan kerjasama penelitian P3THH – JIPFRO. Bogor
Gusmailina, G. Pari., and S. Komarayati. 2002. Implementation study of compos and charcoal compost production. Laporan Kerjasama Puslitbang Teknologi hasil Hutan dengan JIFPRO, Jepang . Tahun ke 3. Bogor (Tidak dipublikasi).
Gusmailina, Gustan Pari dan Sri Komarayati. 2002. Pedoman Pembuatan
Arang Kompos. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi hasil Hutan.
Badan Penelitiandan dan pengembangan Kehutanan. Bogor. ISBN: 979-3132-27
Gusmailina, Sri Komarayati dan G. Pari. Pengembangan Teknologi Arang Kompos
Bioaktif di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Dalam Rangka Pengurangan Dampak
Pemanasan Global. Makalah pada seminar MAPEKI. Fakultas Kehutanan, Universitas
Tanjung Pura. Kalimanatan. 2007.
Gusmailina. 2007. Mengeliminasi Kemungkinan Kegagalan GERHAN Melalui Teknologi
dan Aplikasi Arang Kompos Bioaktif. Buku panduan dalam rangka Pelatihan
Peningkatan Kualitas arang Kompos Bioaktif di Kabupaten Garut. Kerjasama Dinas
kehutanan Kab Garut dengan KopKar GEPAK Wira Satria Sejati. Desember 2007.
Gusmailina. 2007. Pembuatan arang dan arang kompos dari limbah PLTB. Makalah pada
Acara Gelar Teknologi PLTB (Penyiapan Lahan Tanpa Bakar). Kerjasama.
Puslitbang Hutan Tanaman dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Nopember
2007
Gusmailina. 2008. Arang kompos bio aktif; teknologi inovatif untuk menunjang pembangunan kehutanan yang berkesinambungan. Alih teknologi / pelatihan pembuatan arang terpadu. Terselenggara atas kerjasama : Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hasil Hutan Dan Bdk Kadipaten. Kadipaten 6 – 11 mei 2008
Komarayati, S. dan Gusmailina. 2007. Pemanfaatan limbah padat industri pulp untuk pupuk organik. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 25(2):137–146. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Komarayati, S. dan R. A. Pasaribu. 2005. Pembuatan pupuk organik dari limbah padat industri kertas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23 (1) : 35-41. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Komarayati, S 2007. Kualitas pupuk organik dari limbah padat industri kertas. Info Hasil Hutan 13(2):165–173. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Komarayati, S., E. Santoso, dan Gusmailina. 2005. Kajian teknis dan ekonomis produksi dan pemanfaatan pupuk organik mikorhiza (POM) dari sludge industri pulp untuk tanaman HTI. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Komarayati, S., Gusmailina dan E. Santoso. 2007. Teknologi produksi skala kecil pupuk organik plus arang (POA) dari sludge industri pulp dan kertas. Laporan Hasil Penelitian . Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Komarayati, S. 2007. Kualitas pupuk organik dari limbah padat industri kertas. Info Hasil Hutan Vol. 13 No. 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Radiansyah, A.D. 2004. Pemanfaatan sampah organik menjadi kompos. Makalah pada Stadium Generale Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Oleh:
GUSMAILINA & SRI KOMARAYATI **)
Abstrak
Salah satu industri yang harus peduli terhadap lingkungan adalah industri pulp dan kertas. Di dalam mewujudkan kepedulian terhadap lingkungan, beberapa industri pulp dan kertas, terutama industri kertas di Indonesia telah menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan (SML) ISO-14001. Salah satu keuntungan dari penerapan sistem ini adalah dapat meningkatkan ekspor produk ke negara-negara Eropa dan Amerika. Namun dengan semakin meningkatnya produksi, volume limbah yang dihasilkan juga semakin tinggi. Dari proses produksi industri pulp dan kertas akan dihasilkan limbah yang salah satunya adalah limbah sludge.
Teknologi pengomposan merupakan inovasi yang dipandang sebagai alternatif penanganan limbah sludge yang paling baik, karena di samping tidak mencemari lingkungan, juga menghasilkan produk yang bermanfaat dengan investasi yang relatif murah. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian skala laboratorium pembuatan arang kompos bioaktif berbahan baku sludge. Kegiatan ini diawali dengan kunjungan ke PT. IKPP. dan PT. Arara Abadi pada tahun 2004/2005 khusus di kawasan pengolahan kompos dengan tujuan sebagai studi banding dan dialog serta berbagi pengalaman khusus tentang pengolahan kompos sludge.
Hasil uji coba pembuatan kompos dari limbah sludge pabrik pulp dan kertas yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa kualitas kompos yang dihasilkan lebih baik dengan waktu pembuatan kompos yang lebih singkat. Teknologi pengomposan yang diterapkan oleh P3HH adalah secara anaerobik, menggunakan aktivator serta bernilai plus apabila dilakukan penambahan bahan baku kotoran ternak. Selain itu kandungan unsur logam yang berbahaya juga menurun tajam, jauh di bawah ambang batas yang diperbolehkan baik skala internasional maupun skala nasional. Dengan demikian limbah sludge pabrik pulp dan kertas layak dipakai dan dikembang luaskan untuk konsumsi kalangan industri sendiri, baik dijual ke pasar umum, bebas maupun ekspor.
Kata kunci : sludge, komposting, dekomposer,arang kompos, uji coba, teknologi, kualitas
==================================================================
*) Disampaikan sebagai makalah utama pada Seminar Teknologi Pemanfaatan Limbah Industri Pulp dan Kertas Untuk Mengurangi Beban Lingkungan, Bogor 24 November 2008.
**) Staf Peneliti pada Pusat Litbang Hasil Hutan Jalan gunung Batu No 5. Telp (0251) 8633378; fax (0251) 8633413; e-mail : lina@forda-mof.org, glinara@yahoo.co.id
I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Salah satu industri yang harus peduli terhadap lingkungan adalah industri pulp dan kertas. Di dalam mewujudkan kepedulian terhadap lingkungan, beberapa industri pulp dan kertas, terutama industri kertas di Indonesia telah menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan (SML) ISO-14001. Salah satu keuntungan dari penerapan SML ISO-14001 ini adalah dapat meningkatkan ekspor produk ke negara-negara Eropa dan Amerika. Namun makin meningkatnya produksi akan berdampak terhadap tingginya volume limbah yang dihasilkan. Dari proses produksi industri pulp dan kertas akan dihasilkan limbah yang salah satunya adalah limbah sludge. Satu industri pulp dan kertas tiap hari menghasilkan sludge berkisar antara 30 – 40 ton, sementara pemanfaatan sludge per hari hanya 12 ton (Aritonang, 2005). Sehingga masih banyak sludge yang tersisa yang belum dimanfaatkan. Penanggulangan sludge di beberapa industri pulp dan kertas di Indonesia, sebagian besar hanya dibenamkan ke dalam tanah atau dibakar. Penanggulangan dengan cara ini mempunyai beberapa resiko antara lain jika dibenamkan ke dalam tanah membutuhkan areal yang luas, sedangkan jika dibakar memerlukan biaya yang cukup besar dan dapat mencemari udara.
Teknologi pengomposan merupakan inovasi yang dipandang sebagai alternatif penanganan yang paling baik, karena di samping tidak mencemari lingkungan, juga menghasilkan produk yang bermanfaat dengan investasi yang relatif murah. Kendalanya adalah karena karakteristik dari sludge yang menyerap air, sehingga jika sludge ditumpuk pada saat proses pengomposan, rongga udara yang tercipta akan sedikit, sehingga mengganggu proses pengomposan. Oleh sebab itu perlu diupayakan cara untuk menanggulanginya.
Tulisan ini menyajikan hasil penelitian skala laboratorium pembuatan arang kompos bioaktif berbahan baku sludge. Kegiatan ini diawali dengan kunjungan ke PT. IKPP. dan PT. Arara Abadi pada tahun 2004/2005 khusus di kawasan pengolahan kompos dengan tujuan sebagai studi banding dan berbagi pengalaman khusus tentang pengolahan kompos sludge.
b. Arang kompos bioaktif (ARKOBA)
Arang kompos bioaktif adalah gabungan antara arang dan kompos yang dihasilkan melalui teknologi komposting dengan bantuan mikroba lignoselulotik yang tetap bertahan di dalam kompos, mempunyai kemampuan agen hayati sebagai biofungisida untuk melindungi tanaman dari serangan penyakit akar, sehingga disebut bioaktif. Keunggulan lain dari ARKOBA adalah karena keberadaan arang yang menyatu dalam kompos, yang bila diberikan pada tanah ikut andil dan berperan sebagai agent pembangun kesuburan tanah, sebab arang mampu meningkatkan pH tanah sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah. Oleh sebab itu ARKOBA cocok dan tepat dikembangkan secara luas di Indonesia mengingat 2/3 dari lahan pertanian maupun kehutanan berada dalam kondisi masam (pH rendah), kritis dan marjinal akibat menurunnya kandungan bahan organik tanah yang tak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia. Sejak tahun 2001 Pusat Litbang Hasil Hutan telah melakukan serangkaian riset baik skala laboratorium maupun skala lapangan yang telah diaplikasikan di beberapa TPA di Jawa dan Sumatera.
Tujuan penambahan arang pada proses pengomposan adalah selain meningkatkan kualitas dari kompos tersebut, juga diharapkan dengan adanya arang pada pengomposan akan menambah jumlah dan aktivitas mikroorganisme yang berperan, sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat. Arang bersifat sebagai soil conditioner di dalam tanah. Dari beberapa sumber mengemukakan bahwa dengan hanya penambahan arang pada media tumbuh tanaman, dapat meningkatkan perkembangan mikroorganisme positif di dalam tanah, sehingga pertumbuhan tanaman jadi terpacu. Diantaranya adalah: endo dan ektomikoriza pada tanaman kehutanan, rhizobium pada tanaman pertanian. Hal ini terjadi akibat kondisi optimal yang tercipta bagi perkembangan mikro-organisme di dalam tanah.
Berdasarkan sifat serta fungsi arang, maka sejak tahun 1999, Puslitbang Hasil Hutan mulai mengembangkan pemanfaatan arang pada teknologi komposting. Hal ini juga didasari oleh penelitian-penelitian yang menyimpulkan bahwa arang baik dicampurkan pada saat proses komposting, atau jika terdapat kendala, maka arang diberikan pada saat proses komposting selesai, maka pada awalnya dinamai Arang Kompos. Selanjutnya hasil dari beberapa pengamatan, menunjukkan bahwa setelah arang kompos diaplikasikan, mikroorganisme yang digunakan sebagai aktivator yang masih tersimpan pada arang kompos, berfungsi sebagi fungisida hayati (biofungisida) untuk mencegah penyakit busuk akar pada tanaman, sehingga selanjutnya diberinama Arang Kompos Bio Aktif (ARKOBA).
Manfaat arang kompos bioaktif (ARKOBA)
o Arang kompos dapat ditingkatkan menjadi pupuk organik melalui pengkayaan unsur hara dengan bahan-bahan organik alam.
o Memacu perkembangan mikroorganisme tanah, meningkatkan nilai kadar tukar kation (KTK) tanah, pH tanah pada tingkat yang lebih sesuai bagi pertumbuhan tanaman, sehingga cocok untuk reklamasi lahan yang mempunyai tingkat kesuburan dan keasaman tanah yang rendah.
o Arang kompos mempunyai sifat yang lebih baik dari kompos karena keberadaan arang yang menyatu dalam kompos. Morfologi arang yang mempunyai pori sangat efektif untuk mengikat dan menyimpan hara. Hara tersebut dilepaskan secara perlahan sesuai dengan konsumsi dan kebutuhan tanaman (efek slow release). Karena hara tersebut tidak mudah tercuci, lahan akan selalu berada dalam kondisi siap pakai.
o Penggunaan arang kompos merupakan upaya untuk menjaga stabilitas bahan organik tanah agar kelestarian produktivitas tanaman terjaga. Baik diterapkan untuk mencapai keberhasilan pembangunan hutan tanaman serta mendukung kesinambungan dan kelestarian hutan, sekaligus program GERHAN.
Dari beberapa uji coba pemberian arang kompos pada tanah selain dapat menambah ketersediaan unsur hara tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis tanah, juga dapat meningkatkan pH tanah dan nilai KTK tanah, sehingga cocok digunakan untuk rehabilitasi/reklamasi lahan-lahan kritis, masam yang makin meluas di Indonesia. Dari beberapa aplikasi arang kompos yang telah diuji cobakan, baik di laboratorium, maupun di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman yang diberi arang kompos meningkat hingga 2 kali lipat dibanding dengan yang tidak diberi arang kompos.
Aplikasi arang kompos bioaktif yang telah dilakukan selain di Kabupaten Garut adalah di Ciloto (KPH Cianjur), pada tanaman pak choi, brokoli, dan wortel. Hasil yang diperoleh dalam satuan luas 400 m persegi, produksi meningkat 1, 5 kwintal, jika dibandingkan dengan pupuk yang yang biasa digunakan oleh petani seperti bokasi, selain itu juga mengurangi penggunaan pupuk kimia sebesar 40 %.
Gambar 1. Aplikasi Arang Kompos Bioaktif pada tanaman pertanian
(brokoli,pak choi, wortel, dll) di ciloto, kab Bogor.
c. Pengolahan kompos sludge di PT. Arara Abadi
Studi banding yang telah dilakukan di PT Arara Abadi pada tahun 2004/2005 mengenai pemanfaatan limbah dari PT. IKPP (Indah Kiat Pulp Paper). Limbah terdiri dari kulit kayu, sludge, serbuk kayu sisa proses pembuatan chip, abu buangan boiler dan gambut sisa boiler (Gambar 1), hampir semua bahan diolah menjadi kompos dengan proses konvensional secara terbuka tanpa menggunakan aktivator, sehingga membutuhkan waktu relatif lama, yaitu sampai 6 bulan. Kompos yang dihasilkan telah diaplikasikan pada lahan hutan tanaman (HT) penanaman sekitar komplek PT. IKPP, tetapi belum dalam skala besar. Karena sewaktu studi dilakukan untuk aplikasi skala luas pada areal HT perlu izin dari Kantor Meneg LH, sebab pihak LH mengkhawatirkan adanya kandungan logam berat pada kompos yang akan mencemari tanah dan air tanah, sehingga timbul masalah bagi perusahaan pada saat itu adalah karena produksi kompos jadi menumpuk yaitu mencapai 3600 ton. Muncul kekhawatiran lain yaitu kompos tidak disimpan sebagaimana mestinya sesuai persyaratan penyimpanan. Karena pada saat tersebut perusahaan belum sepenuhnya yakin akan kualitas kompos yang dihasilkan, sehingga kegiatan ini sepenuhnya belum mendapat dukungan dari perusahaan, dan kompos masih tersimpan diareal terbuka (Gambar 2). Pada hal kompos apabila sudah jadi, harus diperlakukan dengan hati-hati, terutama yang harus dijaga adalah: kelembabannya jangan sampai < 20 persen dari bobotnya, jangan sampai kena sinar matahari dan air / hujan secara langsung (ditutup). Apabila akan dikemas, pilih bahan kemasan yang kedap udara dan tidak mudah rusak. Bahan kemasan tidak tembus cahaya matahari akan lebih baik. Hal ini disebabkan karena kompos merupakan bahan yang apabila berubah, tidak dapat kembali ke keadaan semula (Irreversible). Apabila kompos mengering, unsur hara yang terkandung didalamnya akan ikut hilang bersama dengan air dan apabila kompos ditambahkan air kembali maka unsur hara yang hilang tadi tidak dapat kembali lagi. Demikian juga dengan pengaruh air hujan. Apabila kompos kehujanan, unsur hara akan larut dan terbawa air hujan. Oleh sebab itu faktor penyimpanan merupakan faktor yang sangat penting diperhatikan agar tidak terjadi masa kadaluarsa (kompos tidak memiliki nilai dan kualitas). Kebanyakan produsen kompos kurang menyadari bahwa faktor penyimpanan adalah salah satu faktor penentu kualitas kompos.
Gambar 2. Limbah industri pulp kertas berupa sludge, serbuk dan kulit kayu dan abu dicampur menjadi satu untuk selanjutnya diolah menjadi kompos di PT. Arara Abadi (foto: gusmailina, 2005)
Gambar 3. Kompos siap pakai tersimpan di areal terbuka di kawasan pengolahan kompos PT. Arara Abadi (foto: gusmailina, 2005)
Berdasarkan diskusi dengan pihak industri (Div.HRD), disarankan beberapa hal antara lain:
1. Untuk mempercepat proses komposting sebaiknya digunakan aktivator; Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan mikroba penghancur (dekomposer) yang berkemampuan tinggi. Penggunaan mikroba dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan menjadi beberapa minggu saja. Di pasaran saat ini banyak tersedia produk-produk biodekomposer untuk mempercepat proses pengomposan. Yang perlu diperhatikan adalah penyesuaian sifat aktivator untuk mempercepat proses pengomposan dengan bahan baku yang akan dikomposkan;
2. Sebaiknya proses komposting dilakukan di bawah naungan, agar nutrisi/hara yang terkandung tidak tercuci sewaktu hujan;
3. Sebaiknya kompos yang dihasilkan disimpan di dalam gudang yang memenuhi persyaratan penyimpanan;
4. Sludge yang masih mengandung kadar air tinggi, sebaiknya di press terlebih dahulu sebelum komposting;
5. Sebagian kulit kayu atau serbuk kayu dibuat arang kemudian dicampurkan pada saat komposting sehingga dapat mengurangi bau sludge, atau arang dicampurkan pada sludge basah yang baru keluar dari proses.
Gambar 4. Proses komposting di PT. Arara Abadi berlangsung secara alami dan terbuka (foto: gusmailina, 2005)
II. UJI COBA PEMBUATAN KOMPOS LIMBAH SLUDGE SKALA LABORATORIUM
A Persiapan
Sebagai tindak lanjut dari beberapa butir saran yang dianjurkan ke pihak industri, maka di laboratorium juga dilakukan percobaan pembuatan arang kompos kapasitas kecil (100 kg) dengan menggunakan bahan limbah yang diperoleh dari PT.Arara Abadi berupa campuran limbah (sludge, serbuk dan kulit kayu dan abu) yang siap untuk dikomposkan. Perlakuan yang diaplikasikan adalah sesuai dengan saran-saran yang dianjurkan ke perusahaan antara lain: proses komposting menggunakan aktivator, komposting berlangsung di bawah naungan, mengurangi kadar air sludge dengan press sederhana, kemudian mencampur dengan arang kulit kayu. Selain itu juga dicoba dengan penambahan campuran kotoran ternak ayam dan kambing.
Pembuatan kompos hanya 2 kantung plastik kapasitas 100 kg, hal ini karena terbatasnya contoh limbah sludge yang akan diolah. Masing-masing kantung diisi dengan komposisi yang sama yaitu 60 kg campuran sludge,10 kg butiran arang kulit kayu, dan 10 kg serbuk gergaji, 20 kg campuran kotoran ternak. Tujuan akhir dari uji coba ini adalah untuk membandingkan kompos yang dihasilkan dari laboratorium dengan kompos yang dihasilkan oleh PT. Arara Abadi. Termasuk juga untuk membuktikan bahwa kompos yang dihasilkan tidak mengandung bahan yang berbahaya, sehingga layak untuk dipakai.
B Proses komposting
Setelah bahan dipersiapkan selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah komposting berupa kantung plastik kapasitas 100 kg. Pengukuran suhu dilakukan setiap hari sebagai indikator bahwa proses pengomposan berjalan baik. Volume penyusutan juga diamati, karena apabila proses berjalan sempurna volume bahan akan menyusut sampai proses selesai.
Gambar 5. Plastik ukuran jumbo kapasitas 100 kg, tempat berlangsungnya proses pengomposan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Suhu Pengomposan
Suhu pengomposan yang dilakukan di laboratorium mulai meningkat pada minggu pertama sampai minggu ke dua dan selanjutnya terus menurun sampai minggu ke-4. Panas ditimbulkan sebagai suatu hasil sampingan proses yang dilakukan oleh mikroba untuk mengurai bahan-bahan yang dikomposkan. Suhu ini dapat digunakan untuk mengukur seberapa baik sistim pengomposan ini bekerja, disamping itu juga dapat diketahui sejauh mana dekomposisi telah berjalan. Pada minggu pertama dan ke dua temperatur pengomposan mencapai 63oC-66oC, sedangkan pada minggu ke empat sampai stabil berkisar antara 30-33oC. Sebaliknya suhu proses komposting di PT. AA yang pernah diukur berkisar antara 30-32oC pada permukaan, dan pada bahagian dalam berkisar antara 35-40oC (tergantung kondisi lingkungan). Hal ini menunjukkan bahwa proses komposting berlangsung pada kondisi mesofilik, secara alami dan hanya mengandalkan kondisi alam untuk mendukung berlangsungnya proses pengomposan. Proses ini juga hanya mengandalkan mikroorganisme yang ada disekitar lokasi pengomposan, sehingga proses yang berlangsung tidak sempurna karena biasanya mikroba yang terdapat di sekitar lokasi kebanyakan mikroba pembusuk, bukan mikroba dekomposer. Sehingga kualitas kompos yang dihasilkan juga lebih rendah dibanding dengan kompos yang dihasilkan dari proses pengomposan yang dikontrol.
B. Penyusutan
Penyusutan proses pengomposan yang diamati di laboratorium dimulai pada minggu ke tiga sampai selesai (minggu ke 4). Hingga proses selesai volume penyusutan mencapai 21%.
C. Waktu Pengomposan.
Salah satu faktor yang menjadi tolok ukur pembanding dari proses pengomposan adalah waktu pengomposan. Karena waktu sangat berkaitan dengan efisiensi dan biaya dalam suatu proses produksi, apalagi dalam kapasitas dan skala besar. Waktu pengomposan yang berlangsung di PT. Arara Abadi (PT. AA) berlangsung sampai 6 bulan. Hal ini karena proses pengomposan berlangsung secara alami dan terbuka, sehingga tidak dapat dikontrol. Sedangkan pengomposan di laboratorium berlangsung hanya satu bulan dengan dua kali pembalikan. Hal ini karena proses yang berlangsung terkontrol. Pertama faktor yang dikontrol adalah mikroorganisme yang berfungsi sebagai dekomposer. Di laboratorium pengomposan menggunakan aktivator dengan bahan aktif Tricoderma dan Cytophaga+ Asp sp yang aktif pada suhu thermofilik. Dengan tumpukan bahan baku serta dengan kondisi tertutup sangat memungkinkan suhu panas akan tercipta sehingga mikroba akan aktif. Apabila mikroba tersebut sudah mulai bekerja, maka tidak ada kemungkinan bagi mikroba lain untuk ikut campur dan mengganggu pada proses tersebut, sehingga proses akan berlangsung sesuai dengan prediksi. Sebaliknya proses pengomposan yang berlangsung di PT. AA, tidak menggunakan aktivator, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama, karena mikroba yang berperan belum tentu mikroba dekomposer, tetapi mikroba yang melakukan proses tersebut adalah mikroba pembusuk, dengan keragaman jenis yang sangat tinggi akhirnya proses tidak optimal, dan biasanya kompos yang dihasilkan dengan proses alami mempunyai kualitas yang lebih rendah.
D Kualitas Arang Kompos
Hasil uji coba pembuatan arang kompos yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa kompos yang dihasilkan baik, karena dihasilkan dari proses yang berjalan sempurna. Hal ini dibuktikan berdasarkan suhu proses yang mencapai 66oC. Semakin tinggi suhu semakin baik, sebab mikroba yang terdapat pada aktivator akan optimal bekerja pada suhu thermofilik (suhu >50oC). Pada Tabel 1 dapat dilihat kualitas arang kompos yang dihasilkan dengan menggunakan bahan baku sludge.
Tabel 1. Kualitas dan kandungan unsur hara Arang kompos hasil uji coba di laboratorium (GA) dibandingkan dengan beberapa kualitas kompos lainnya
No. Parameter Nilai
PT. AA
SK ARANG KOMPOS
GA
**) US EPA (1993) Standar pasar khusus
***)
Lab. PT AA Lab. IPB
1 pH (1 : 1) 7,68 7- 7,15 7,10 - 7
2 Kadar air (Moisture content),% - 26,00 24,5 - ≥20
3 C organik (Organic C),% 14 - 18,03 19 - ≥ 15
4 N total (Total N),% 0,60 - 0,71 1,78 - ≥ 2,30
5 Nisbah C/N (C/N ratio) 26 - 25,60 13,76 - ≥ 15
6 P2O5 total,% 0,11 - 0,58 1,01 - ≥ 1,60
7 CaO total,% 5,57 - 0,28 2,41 - ≥ 1,00
8 MgO total,% 0,26 - 0,19 1,03 - ≥ 3,25
9 K2O total,% 0,29 - 1,42 2,84 - ≥ 2,40
10 KTK (Cation exchange capacity), meq/100 g - - 5,33 - - -
11 Unsur logam
Zn (mg/kg)
Cu mg/kg
Co mg/kg
Mo mg/kg
Se mg/kg
Pb mg/kg
Cr mg/kg
Cd mg/kg
Ni mg/kg
Hg mg/kg
As mg/kg
34,60
76,90
20,00
7,19
<0,003
16,25
20,28
1,33
8,62
<0,01
2,00
40,50
21,10
-
-
-
4,81
18,90
0,24
19,30
-
-
0,01
0,03
23,76
19,92
*
*
*
3,01
-
0,21
-
*
*
7500
4300
-
75
100
840
3000
85
420
57
75
< 400
< 150
≥ 0,10
< 150
< 45
< 3
< 50
< 1
< 10
Keterangan:
1. Batas maksimum konsentrasi unsur dalam sludge yang diizinkan untuk diaplikasikan ke dalam tanah menurut US EPA (1993) dalam Alloway (1995) dalam Anonimus (2003)
2. SK : Analisis kompos Sludge yang dilakukan oleh Komarayati (2007 )
3. GA : Kompos sludge hasil uji coba di laboratorium
4. * : tidak terdeteksi
5. **) : Dianalisis di Lab Natural Products. Biotrop Bogor.
6. ***) : Sumber Radiansyah (2004)
Pada Tabel 1 dapat diketahui sifat dan kualitas arang kompos sludge hasil uji coba di laboratorium (GA) serta beberapa jenis kompos sludge yang sudah dilakukan, baik oleh PT. AA sendiri maupun yang dilakukan oleh Komarayati, dkk (2007)/SK. Berdasarkan hasil analisis unsur hara yang dilakukan di Biotrop, Bogor menunjukkan bahwa hampir semua komponen unsur hara memberikan hasil yang lebih baik jika dibanding dengan kompos lainnya, termasuk kompos PT. AA. Nisbah C/N kompos hasil uji coba adalah 13,76, menunjukkan bahwa kompos tersebut telah matang dan siap pakai untuk diaplikasikan, sebaliknya nisbah C/N kompos dari PT. AA masih cukup tinggi yaitu 26, sehingga masih membutuhkan waktu agar sewaktu diaplikasikan tidak meracuni tanaman. Demikian juga dengan kandungan unsur hara N, P dan K masing-masing 1,78, 1,01 dan 2,84 % menunjukkan terjadinya perbaikan kualitas bila dibandingkan dengan kompos yang dihasilkan oleh PT. AA yang masing-masing hanya 0,60, 0,11dan 0,29 %. Hal yang sama juga terjadi pada kandungan logam berbahaya, dimana kandungan logam berbahaya dari arang kompos hasil uji coba di laboratorium menurun tajam dan telah termasuk ke dalam kriteria yang diperbolehkan baik secara internasional (US EPA) maupun nasional seperti Standar Pusri, Perhutani dan standar kualitas pasar khusus (Komarayati, 2007).
Kandungan unsur hara arang kompos hasil uji coba di laboratorium secara keseluruhan menunjukkan hasil yang lebih baik jika dibanding dengan kandungan unsur hara kompos yang diolah secara alami dan terbuka seperti yang dilakukan oleh PT. AA. Hal ini disebabkan karena perbedaan teknologi proses yang diterapkan. Proses pengomposan yang berlangsung di PT. AA adalah secara aerobik dan tanpa menggunakan aktivator. Sedangkan teknologi yang diterapkan untuk uji coba di laboratorium dengan menggunakan bahan baku yang sama adalah secara anaerob dengan menggunakan aktivator yang berbahan aktif Trichoderma dan Cytophaga + Asp sp. Selain kualitas kompos yang dihasilkan lebih baik, waktu pengomposan juga lebih singkat, sehingga lebih efisien apalagi jika dilakukan dalam skala dan kapasitas yang lebih besar, tentu akan memberi keuntungan yang lebih tinggi.
Selain waktu yang singkat, faktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap baiknya kualitas arang kompos yang dihasilkan adalah penambahan kotoran ternak (campuran kotoran ayam dan kotoran kambing). Hal ini mungkin disebabkan karena pemberian pupuk kandang berpengaruh terhadap peningkatan suhu pengomposan, sehingga proses berjalan lebih cepat dan singkat. Pemberian kotoran ternak maupun pupuk kandang dalam proses pengomposan juga meningkatkan pH dengan kisaran antara 7.5 sampai 8.5, serta juga berpengaruh terhadap penurunan rasio C/N. Dengan demikian untuk pengolahan sludge menjadi arang kompos penambahan kotoran ternak (ayam dan kambing) pada proses pengomposan akan meningkatkan kualitas kompos, serta waktu pengomposan yang lebih singkat.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uji coba pembuatan arang kompos bioaktif dari limbah sludge pabrik pulp dan kertas yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa kualitas arang kompos yang dihasilkan lebih baik dengan waktu yang lebih singkat, karena teknologi pengomposan yang diterapkan secara anaerobik, menggunakan aktivator serta bernilai plus apabila dilakukan penambahan bahan baku kotoran ternak. Selain itu kandungan unsur logam yang berbahaya juga menurun tajam, jauh di bawah ambang batas yang diperbolehkan baik skala internasional maupun skala nasional. Dengan demikian limbah sludge pabrik pulp dan kertas layak dipakai dan dikembang luaskan untuk konsumsi kalangan industri sendiri, maupun dijual ke pasar umum, bebas maupun ekspor.
V. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih yang sebesar2nya disampaikan kepada PT. IKPP dan PT. Arara Abadi Perawang (div. HRD), Riau yang telah berkenan menerima penulis untuk berkunjung sekaligus diperkenankan untuk melihat secara langsung ke areal kawasan pengolahan kompos.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Pedoman pengharkatan hara kompos. laboratorium natural products SEAMEO – BIOTROP. Bogor.
Anonim. 2003. Kompos Sludge & Fly Ash. Proses pembuatan dan aplikasi di HTI. Divisi R & D. PT. Arara Abadi (publikasi untuk kalangan sendiri).
Aritonang. 2005. Komunikasi pribadi di PT. TEL. Palembang .
Away, Yufnal, 2003. Uji coba penggunaan bioaktivator “orgadec plus” pada sampah kota di TPA Bantar Gebang. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor
Gusmailina, S.Komarayati dan T. Nurhayati. 1990. Pemanfaatan residu fermentasi padat sebagai kompos pada pertumbuhan anakan Eucalyptus urophylla, Jurnal Penelitian Hasil Hutan. (4):157-163
Gusmailina, G. Pari., and S. Komarayati. 1999. Teknologi penggunaan arang dan arang aktif sebagai soil conditioning pada tanaman. Laporan Proyek.Pusat Penelitian dan Pengembangan hasil Hutan. Bogor
Gusmailina, G. Pari dan S.Komarayati. 1999. Teknologi penggunaan arang dan arang aktif sebagai soil conditioning pada tanaman kehutanan. Laporan proyek. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor (Bahan publikasi).
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2001. Teknik penggunaan arang sebagai soil conditioning pada tanaman. Laporan hasil penelitian (tidak diterbitkan)
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2001. Laporan kerjasama penelitian P3THH – JIPFRO. Bogor (tidak diterbitkan)
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2002. Laporan kerjasama penelitian P3THH – JIPFRO. Bogor
Gusmailina, G. Pari., and S. Komarayati. 2002. Implementation study of compos and charcoal compost production. Laporan Kerjasama Puslitbang Teknologi hasil Hutan dengan JIFPRO, Jepang . Tahun ke 3. Bogor (Tidak dipublikasi).
Gusmailina, Gustan Pari dan Sri Komarayati. 2002. Pedoman Pembuatan
Arang Kompos. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi hasil Hutan.
Badan Penelitiandan dan pengembangan Kehutanan. Bogor. ISBN: 979-3132-27
Gusmailina, Sri Komarayati dan G. Pari. Pengembangan Teknologi Arang Kompos
Bioaktif di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Dalam Rangka Pengurangan Dampak
Pemanasan Global. Makalah pada seminar MAPEKI. Fakultas Kehutanan, Universitas
Tanjung Pura. Kalimanatan. 2007.
Gusmailina. 2007. Mengeliminasi Kemungkinan Kegagalan GERHAN Melalui Teknologi
dan Aplikasi Arang Kompos Bioaktif. Buku panduan dalam rangka Pelatihan
Peningkatan Kualitas arang Kompos Bioaktif di Kabupaten Garut. Kerjasama Dinas
kehutanan Kab Garut dengan KopKar GEPAK Wira Satria Sejati. Desember 2007.
Gusmailina. 2007. Pembuatan arang dan arang kompos dari limbah PLTB. Makalah pada
Acara Gelar Teknologi PLTB (Penyiapan Lahan Tanpa Bakar). Kerjasama.
Puslitbang Hutan Tanaman dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Nopember
2007
Gusmailina. 2008. Arang kompos bio aktif; teknologi inovatif untuk menunjang pembangunan kehutanan yang berkesinambungan. Alih teknologi / pelatihan pembuatan arang terpadu. Terselenggara atas kerjasama : Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hasil Hutan Dan Bdk Kadipaten. Kadipaten 6 – 11 mei 2008
Komarayati, S. dan Gusmailina. 2007. Pemanfaatan limbah padat industri pulp untuk pupuk organik. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 25(2):137–146. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Komarayati, S. dan R. A. Pasaribu. 2005. Pembuatan pupuk organik dari limbah padat industri kertas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23 (1) : 35-41. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Komarayati, S 2007. Kualitas pupuk organik dari limbah padat industri kertas. Info Hasil Hutan 13(2):165–173. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Komarayati, S., E. Santoso, dan Gusmailina. 2005. Kajian teknis dan ekonomis produksi dan pemanfaatan pupuk organik mikorhiza (POM) dari sludge industri pulp untuk tanaman HTI. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Komarayati, S., Gusmailina dan E. Santoso. 2007. Teknologi produksi skala kecil pupuk organik plus arang (POA) dari sludge industri pulp dan kertas. Laporan Hasil Penelitian . Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Komarayati, S. 2007. Kualitas pupuk organik dari limbah padat industri kertas. Info Hasil Hutan Vol. 13 No. 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Radiansyah, A.D. 2004. Pemanfaatan sampah organik menjadi kompos. Makalah pada Stadium Generale Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
PROSPEK DAN KUALITAS PUPUK ORGANIK DARI LIMBAH PADAT INDUSTRI PULP DAN KERTAS
PROSPEK DAN KUALITAS PUPUK ORGANIK DARI
LIMBAH PADAT INDUSTRI PULP DAN KERTAS
Oleh/By :
Sri Komarayati, Gusmailina dan Saepuloh
ABSTRACT
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan awal percobaan dalam upaya pemanfaatan limbah Industri Pulp dan Kertas untuk pupuk organik dengan teknologi komposting. Proses komposting berlangsung selama 30 hari dengan campuran10 % aktivator. Hasil yang diperoleh diharapkan mengandung unsur hara, terutama unsur hara makro yang setara dengan pupuk organik menurut standar dalam negeri.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan unsur hara makro pupuk organik yang diperoleh yaitu, kadar air 26,00%; pH 7,15 ; nisbah C/N 25,60 ; C organik 18,03% ; N 0,71% ; P2O5 total 0,58% ; CaO total 0,28% ; MgO total 0,19% ; K2O total 1,42% dan KTK 5,33 meq/100 g. Kandungan logam berat Pb 0,03 ppm ; Cd 0,01 ppm dan Zn 0,15 ppm. Merujuk pada beberapa standar pupuk organik yang beredar di dalam negeri, maka pupuk organik yang dihasilkan belum layak disebut pupuk organik, karena rendahnya kandungan unsur hara makro. Oleh sebab itu pada tahap selanjutnya perlu dilakukan pengkayaan sehingga kandungan unsur hara dapat meningkat serta memenuhi standar pupuk organik yang beredar di dalam negeri.
I. PENDAHULUAN
Sludge merupakan bahan organik berbentuk padat, dihasilkan dari proses pengolahan industri pulp dan kertas. Menurut Carter, 1983 dan Alton, 1991 dalam Rina et al. 2002, sludge industri pulp dan kertas banyak mengandung bahan organik. Namun di Indonesia sludge masih merupakan limbah yang bermasalah karena belum dimanfaatkan secara keseluruhan, sehingga membutuhkan lahan luas untuk menampung dan membuangnya.
Satu industri pulp dan kertas tiap hari dapat dihasilkan sludge sebesar 30 – 40 ton, sementara pemanfaatan sludge per hari hanya 12 ton (Aritonang, 2005). Berarti masih banyak sludge yang belum dimanfaatkan. Salah satu cara pemanfaatan sludge yang mudah dan dapat dikembangkan secara sederhana yaitu melalui proses pengomposan dengan hasil akhir berupa kompos / pupuk organik.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sifat, kualitas dan prospek pupuk organik dari sludge (limbah padat) dari Industri Pulp dan Kertas (IPK)
Sasaran penelitian adalah untuk memperoleh cara yang tepat memanfaatkan sludge menjadi salah satu bahan utama dalam pembuatan pupuk organik.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan
Bahan yang digunakan untuk pembuatan pupuk organik adalah limbah padat dari industri pulp dan kertas. Sebagai pemacu proses pengomposan digunakan aktivator hayati yang terdiri dari bakteri Cytophaga sp. dan fungi Trichoderma pseudokoningii.
B. Peralatan
Peralatan yang digunakan : pH meter, hygrometer, thermometer, sekop, cangkul, bak terbuat dari semen dengan volume 1 meter kubik, bangunan beratap sebagai naungan, karung plastik, timbangan dan lain-lain.
C. Prosedur Kerja
Limbah padat ditimbang sesuai kebutuhan, diberi 10% aktivator (b/v), dicampur rata sampai homogen. Kemudian ditambah air secukupnya, diaduk dan setelah rata dimasukkan ke dalam bak, ditumpuk tidak terlalu padat, bagian atas tumpukan ditutup plastik warna hitam. Tujuannya untuk menjaga kelembaban. Proses berlangsung selama 1 bulan, setiap 1 minggu sekali dilakukan pembongkaran, pengadukan dan penumpukan kembali. Setiap hari dilakukan pengukuran suhu, pH dan kelembaban sampai proses berakhir. Sebelum dan sesudah dibuat pupuk organik, dilakukan analisis kadar air, unsur hara makro, nisbah C/N serta kandungan logam berat. Analisis dilakukan di Laboratorium Tanah, BIOTROP, Bogor.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Potensi bahan baku
Sebelum sludge/limbah padat IPK dibuat pupuk organik, terlebih dahulu dilakukan analisis kualitas, kandungan unsur hara serta kemungkinan adanya logam berat yang terkandung.
Tabel 1. Kualitas dan kandungan unsur hara sludge/limbah padat IPK
Table 1. Quality and nutrients in sludge
No. Parameter Nilai (Value)
1 pH (1:1) 7,1
2 Kadar air (Moisture content),% 1050¬C 32,42
3 C organic (C organic),% 14,36
4 N total (Total N),% 0,74
5 Nisbah C/N (C/N ratio),% 19,4
6 P2O5 total,% 0,64
7 CaO total,% 0,32
8 MgO total,% 0,16
9 K2O total,% 1,42
10 Pb, ppm 0,06
11 Zn, ppm 0,12
12 Cd, ppm 0,01
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa limbah padat yang akan dibuat pupuk organik mengandung kadar air 32,42% ; nisbah C/N 19,40 ; P2O5 total 0,64% ; CaO total 0,32% ; MgO total 0,16% dan K2O total 1,42%. Menurut Pedoman Pengharkatan Hara Kompos (Anonim, 2000), kondisi tersebut termasuk kategori rendah. pH 7,10 termasuk kategori sedang. Demikian juga dengan kandungan logam berat seperti, Pb 0,06 ppm ; Zn 0,12 ppm dan Cd 0,01 ppm, juga termasuk kategori rendah menurut Standar Baku Mutu.
Berdasarkan analisis awal, ternyata sludge/limbah padat IPK dapat digunakan sebagai bahan untuk pembuatan kompos, bahkan lebih jauh dapat ditingkatkan menjadi pupuk organik yang mempunyai prospek untuk dikembangkan mengingat potensi ketersediaan bahan.
Tabel 2. Kualitas dan kandungan unsur hara pupuk organik
Table 2. Quality and nutrient of organic fertilizer
No. Parameter Nilai (Value)
1 pH (1 : 1) 7,15
2 Kadar air (Moisture content),% 26,00
3 C organik (Organic C),% 18,03
4 N total (Total N),% 0,71
5 Nisbah C/N (C/N ratio) 25,60
6 P2O5 total,% 0,58
7 CaO total,% 0,28
8 MgO total,% 0,19
9 K2O total,% 1,42
10 KTK (Cation exchange capacity), meq/100 g 5,33
Dari Tabel 2 dapat diketahui sifat dan kualitas pupuk organik. Bila ditinjau dari sifat kimia, pupuk organik dari limbah padat industri pulp dan kertas mempunyai pH netral yaitu 7,15. pH pupuk organik sangat menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap oleh tanaman. Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH netral, karena pada pH netral sebagian besar unsur hara mudah larut dalam air.
Nisbah C/N 25,60 termasuk tinggi apabila dibandingkan dengan standar BIOTROP, WHO dan PERHUTANI, akan tetapi tingginya nisbah C/N dapat diatasi dengan cara menambahkan urea apabila pupuk organik tersebut diaplikasikan pada tanaman (Saifudin,1989).
Nilai kapasitas tukar kation (KTK) 5,33 meq/100 g termasuk kategori rendah. KTK merupakan sifat kimia yang erat hubungannya dengan kesuburan. Pupuk organik yang mengandung KTK rendah kurang mampu menyerap dan menyediakan unsur hara, juga tidak dapat meningkatkan daya simpan dan ketersediaan unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman (Saifudin, 1989).
Kualitas pupuk organik ditentukan oleh unsur hara yang terkandung di dalamnya, terutama unsur hara makro. Pupuk organik yang berkualitas baik harus memenuhi persyaratan sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman. Hasil analisis pada Tabel 2 menunjukkan kandungan unsur hara P205 total 0,58% ; CaO total 0,28% ; MgO total 0,19% dan K2O total 1,42% masih rendah, kecuali K2O total termasuk tinggi bila dibandingkan dengan Pedoman Pengharkatan Hara Kompos yang dikeluarkan BIOTROP (Anonim, 2000). Unsur hara makro N, P dan K masih jauh di bawah standar, bila di bandingkan dengan standar yang dikeluarkan P.T PUSRI yaitu harus lebih besar dari 2,12 ; 1,30 dan 2,00 untuk kandungan hara NPK (Tabel 5).
Selain unsur hara, kadar air dari pupuk organik hasil penelitian masih tinggi yaitu 26%, sedangkan menurut Radiansyah, 2004 seharusnya kadar air kurang dari 20 %. Prihatini (2001) menyatakan bahwa pupuk organik harus mengandung minimum 7% N, sedangkan yang mempunyai kandungan N kurang dari 7% digolongkan sebagai “soil conditioner”. Salah satu cara untuk meningkatkan unsur hara pupuk organik dari limbah padat industri pulp dan kertas, harus dilakukan penambahan bahan organik lainnya seperti : pupuk kandang, tepung ikan atau bahan lain yang mengandung protein tinggi.
Kandungan logam berat seperti Pb 0,06 ppm, Zn 0,12 ppm dan Cd 0,01 ppm termasuk kategori rendah, bila dibandingkan dengan standar baku mutu maupun standar BIOTROP (Anonim, 2000). Begitu pula bila dibandingkan dengan hasil penelitian tahun lalu (Komarayati dan Pasaribu, 2005). Hal ini terjadi karena limbah padat yang digunakan sebagai bahan pupuk organik berasal dari industri kertas dengan bahan baku pulp.
Tabel 3. Pedoman Pengharkatan Hara Kompos
Table 3. Guidelines for assessing the compost nutrients
Parameter Satuan
(Unit)
Harkat (Assesment)
Rendah (Low) Sedang (Medium) Tinggi (High)
Kadar air (Moisture content) % 24.9 35.9 52.6
Berat jenis (Specific gravity) kg/liter 0.4 0.6 0.9
pH % 6.6 7.3 8.2
Bahan organik (Organic matter) % 22.4 39.7 66.7
C organik (C organic) % 14.5 19.6 27.1
Garam terlarut (Soluble salt) % 0.8 1.8 2.9
N total (Total N) % 0.6 1.1 2.1
P2O5 % 0.3 0.9 1.8
K2O % 0.2 0.6 1.4
MgO % 0.3 0.7 1.6
CaO % 2.7 4.9 6.2
Boron ppm 13.8 35.3 124
Mn ppm 220 452 654
Zn ppm 513 1570 2015
KTK(Cation exchange content) meq/100g 20.1 30 45
Nisbah C/N(C/N ratio) - < 10 10 - 20 > 20
Humik(Humic) % 1.5 3.7 6.8
Sumber (Source) : Anonim (2000).
Tabel 4. Standar kompos menurut PERHUTANI, JEPANG dan WHO
Table 4. Standard of compost by PERHUTANI,JAPAN and WHO
No. Parameter Standard PERHUTANI *) Standard
JEPANG **) Standard) WHO ***
1 C organik, % 19,60 - -
2 N total, % 1,10 - 0,40 – 35
3 Nisbah C/N(Ratio C/N) 10 – 20 < 35 10 – 20
4 Kadar air (Moisture content), % 35,60 - -
5 pH 7,30 5,50 – 7,50 6,50 – 7,50
6 KTK(Cation exchange content) meq/100 g - - > 20
Sumber (Source) : *) PERHUTANI, 1977 dalam Mindawati et al., 1998.
**) HARADA et al., 1993 dalam Noor et al., 1996.
***) WHO, 1980 dalam Rina et al., 2002.
Tabel 5. Standar Kualitas Kompos menurut Bank Dunia (Persyaratan optional sesuai permintaan pasar)
Table 5. Standard of compost quality by world bank
Parameter
Satuan
(Unit) Kualitas (Quality)
Standar kualitas
(Quality standard)
PT. PUSRI Standar kualitas pasar khusus
(Quality standard of special market)
1. Kualitas fisik(Physic quality)
a. Kadar air(Moisture content) % ≤ 20
b. Kandungan humus % berat kering
c. pH 7
d. Bau Berbau tanah
2. Kualitas kimia (kadar zat hara)
a. N % berat kering ≥ 2, 12 ≥ 2,30
b. P % berat kering ≥ 1, 30 ≥ 1,60
c. K % berat kering ≥ 2,00 ≥ 2,40
d. Mg % berat kering ≥ 3,19 ≥ 3,25
e. S % berat kering ≥ 0,01 ≥ 0,02
f. Mo % berat kering ≥ 0,05 ≥ 0,10
g. B % berat kering ≥ 0,09 ≥ 0,10
h. Ca % berat kering ≥ 0,97 ≥ 1,00
i. C/N dimensionless ≥ 15
3. Kualitas kimia (kadar logam berat)
a. As Mg/kg berat kering < 10
b. Cd Mg/kg berat kering < 3
c. Cr Mg/kg berat kering < 45
d. Cu Mg/kg berat kering < 150
e. Hg Mg/kg berat kering < 1
f. Ni Mg/kg berat kering < 50
g. Pb Mg/kg berat kering < 150
h. Zn Mg/kg berat kering < 400
4. Kualitas biologis <
a. Coliform MPN/g kompos < 1,00
b. Salmonella sp. MPN/g kompos < 3
Sumber (Source) : Radiansyah, A.D. (2004)
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Limbah padat industri pulp dan kertas dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik, dengan waktu pengomposan lebih dari 1 bulan.
2. Untuk mempercepat proses, sebaiknya digunakan aktivator khusus (spesifik).
3. Untuk mengatasi rendahnya unsur hara makro, harus dilakukan pencampuran pupuk organik dengan bahan organik lainnya.
4. Hasil analisis menunjukkan bahwa pupuk yang dihasilkan belum dapat digolongkan sebagai pupuk organik.
V. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Pedoman Pengharkatan Hara Kompos. Laboratorium Natural Products SEAMEO – BIOTROP. Bogor.
Aritonang. 2005. Komunikasi pribadi di PT. TEL. Palembang .
Komarayati, S. dan Ridwan A. Pasaribu. 2005. Pembuatan pupuk organik dari limbah padat industri kertas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23 (1) : 35-41 Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Mindawati, N. ; N.H.L. Tata ; Y. Sumarna dan A.S. Kosasih. 1998. Pengaruh beberapa macam limbah organik terhadap mutu dan proses pengomposan dengan bantuan Efektif Mikroorganisme 4 (EM 4). Buletin Penelitian Hutan, No. 616 : 29 - 40.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.
Noor, E., E.G. Said dan A. Nuraini. 1996. Studi Akselerasi Pengomposan Sampah Kota Menggunakan Trichoderma viridae dengan Metode Pengomposan China. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 7(1) : 10 – 18. Bogor.
Prihatini, T. 2001. Menuju “Quality Control” pupuk organik. Makalah pada seminar berkala PERMI, 20 Juli 2001 di BALITTRO, Bogor.
Radiansyah, A.D. 2004. Pemanfaatan Sampah Organik menjadi Kompos. Makalah pada Stadium Generale Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Rina S. Soetopo ; S. Purwati ; H. Hardiani dan A. Surachman. 2002. Pengaruh kompos dari limbah lumpur IPAL industri kertas terhadap tanaman dan tanah. Prosiding Seminar Teknologi Selulosa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Selulosa. Bandung.
Safiudin, S. 1989. Fisika Kimia Tanah. Pustaka Buana. Jakarta.
LIMBAH PADAT INDUSTRI PULP DAN KERTAS
Oleh/By :
Sri Komarayati, Gusmailina dan Saepuloh
ABSTRACT
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan awal percobaan dalam upaya pemanfaatan limbah Industri Pulp dan Kertas untuk pupuk organik dengan teknologi komposting. Proses komposting berlangsung selama 30 hari dengan campuran10 % aktivator. Hasil yang diperoleh diharapkan mengandung unsur hara, terutama unsur hara makro yang setara dengan pupuk organik menurut standar dalam negeri.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan unsur hara makro pupuk organik yang diperoleh yaitu, kadar air 26,00%; pH 7,15 ; nisbah C/N 25,60 ; C organik 18,03% ; N 0,71% ; P2O5 total 0,58% ; CaO total 0,28% ; MgO total 0,19% ; K2O total 1,42% dan KTK 5,33 meq/100 g. Kandungan logam berat Pb 0,03 ppm ; Cd 0,01 ppm dan Zn 0,15 ppm. Merujuk pada beberapa standar pupuk organik yang beredar di dalam negeri, maka pupuk organik yang dihasilkan belum layak disebut pupuk organik, karena rendahnya kandungan unsur hara makro. Oleh sebab itu pada tahap selanjutnya perlu dilakukan pengkayaan sehingga kandungan unsur hara dapat meningkat serta memenuhi standar pupuk organik yang beredar di dalam negeri.
I. PENDAHULUAN
Sludge merupakan bahan organik berbentuk padat, dihasilkan dari proses pengolahan industri pulp dan kertas. Menurut Carter, 1983 dan Alton, 1991 dalam Rina et al. 2002, sludge industri pulp dan kertas banyak mengandung bahan organik. Namun di Indonesia sludge masih merupakan limbah yang bermasalah karena belum dimanfaatkan secara keseluruhan, sehingga membutuhkan lahan luas untuk menampung dan membuangnya.
Satu industri pulp dan kertas tiap hari dapat dihasilkan sludge sebesar 30 – 40 ton, sementara pemanfaatan sludge per hari hanya 12 ton (Aritonang, 2005). Berarti masih banyak sludge yang belum dimanfaatkan. Salah satu cara pemanfaatan sludge yang mudah dan dapat dikembangkan secara sederhana yaitu melalui proses pengomposan dengan hasil akhir berupa kompos / pupuk organik.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sifat, kualitas dan prospek pupuk organik dari sludge (limbah padat) dari Industri Pulp dan Kertas (IPK)
Sasaran penelitian adalah untuk memperoleh cara yang tepat memanfaatkan sludge menjadi salah satu bahan utama dalam pembuatan pupuk organik.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan
Bahan yang digunakan untuk pembuatan pupuk organik adalah limbah padat dari industri pulp dan kertas. Sebagai pemacu proses pengomposan digunakan aktivator hayati yang terdiri dari bakteri Cytophaga sp. dan fungi Trichoderma pseudokoningii.
B. Peralatan
Peralatan yang digunakan : pH meter, hygrometer, thermometer, sekop, cangkul, bak terbuat dari semen dengan volume 1 meter kubik, bangunan beratap sebagai naungan, karung plastik, timbangan dan lain-lain.
C. Prosedur Kerja
Limbah padat ditimbang sesuai kebutuhan, diberi 10% aktivator (b/v), dicampur rata sampai homogen. Kemudian ditambah air secukupnya, diaduk dan setelah rata dimasukkan ke dalam bak, ditumpuk tidak terlalu padat, bagian atas tumpukan ditutup plastik warna hitam. Tujuannya untuk menjaga kelembaban. Proses berlangsung selama 1 bulan, setiap 1 minggu sekali dilakukan pembongkaran, pengadukan dan penumpukan kembali. Setiap hari dilakukan pengukuran suhu, pH dan kelembaban sampai proses berakhir. Sebelum dan sesudah dibuat pupuk organik, dilakukan analisis kadar air, unsur hara makro, nisbah C/N serta kandungan logam berat. Analisis dilakukan di Laboratorium Tanah, BIOTROP, Bogor.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Potensi bahan baku
Sebelum sludge/limbah padat IPK dibuat pupuk organik, terlebih dahulu dilakukan analisis kualitas, kandungan unsur hara serta kemungkinan adanya logam berat yang terkandung.
Tabel 1. Kualitas dan kandungan unsur hara sludge/limbah padat IPK
Table 1. Quality and nutrients in sludge
No. Parameter Nilai (Value)
1 pH (1:1) 7,1
2 Kadar air (Moisture content),% 1050¬C 32,42
3 C organic (C organic),% 14,36
4 N total (Total N),% 0,74
5 Nisbah C/N (C/N ratio),% 19,4
6 P2O5 total,% 0,64
7 CaO total,% 0,32
8 MgO total,% 0,16
9 K2O total,% 1,42
10 Pb, ppm 0,06
11 Zn, ppm 0,12
12 Cd, ppm 0,01
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa limbah padat yang akan dibuat pupuk organik mengandung kadar air 32,42% ; nisbah C/N 19,40 ; P2O5 total 0,64% ; CaO total 0,32% ; MgO total 0,16% dan K2O total 1,42%. Menurut Pedoman Pengharkatan Hara Kompos (Anonim, 2000), kondisi tersebut termasuk kategori rendah. pH 7,10 termasuk kategori sedang. Demikian juga dengan kandungan logam berat seperti, Pb 0,06 ppm ; Zn 0,12 ppm dan Cd 0,01 ppm, juga termasuk kategori rendah menurut Standar Baku Mutu.
Berdasarkan analisis awal, ternyata sludge/limbah padat IPK dapat digunakan sebagai bahan untuk pembuatan kompos, bahkan lebih jauh dapat ditingkatkan menjadi pupuk organik yang mempunyai prospek untuk dikembangkan mengingat potensi ketersediaan bahan.
Tabel 2. Kualitas dan kandungan unsur hara pupuk organik
Table 2. Quality and nutrient of organic fertilizer
No. Parameter Nilai (Value)
1 pH (1 : 1) 7,15
2 Kadar air (Moisture content),% 26,00
3 C organik (Organic C),% 18,03
4 N total (Total N),% 0,71
5 Nisbah C/N (C/N ratio) 25,60
6 P2O5 total,% 0,58
7 CaO total,% 0,28
8 MgO total,% 0,19
9 K2O total,% 1,42
10 KTK (Cation exchange capacity), meq/100 g 5,33
Dari Tabel 2 dapat diketahui sifat dan kualitas pupuk organik. Bila ditinjau dari sifat kimia, pupuk organik dari limbah padat industri pulp dan kertas mempunyai pH netral yaitu 7,15. pH pupuk organik sangat menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap oleh tanaman. Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH netral, karena pada pH netral sebagian besar unsur hara mudah larut dalam air.
Nisbah C/N 25,60 termasuk tinggi apabila dibandingkan dengan standar BIOTROP, WHO dan PERHUTANI, akan tetapi tingginya nisbah C/N dapat diatasi dengan cara menambahkan urea apabila pupuk organik tersebut diaplikasikan pada tanaman (Saifudin,1989).
Nilai kapasitas tukar kation (KTK) 5,33 meq/100 g termasuk kategori rendah. KTK merupakan sifat kimia yang erat hubungannya dengan kesuburan. Pupuk organik yang mengandung KTK rendah kurang mampu menyerap dan menyediakan unsur hara, juga tidak dapat meningkatkan daya simpan dan ketersediaan unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman (Saifudin, 1989).
Kualitas pupuk organik ditentukan oleh unsur hara yang terkandung di dalamnya, terutama unsur hara makro. Pupuk organik yang berkualitas baik harus memenuhi persyaratan sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman. Hasil analisis pada Tabel 2 menunjukkan kandungan unsur hara P205 total 0,58% ; CaO total 0,28% ; MgO total 0,19% dan K2O total 1,42% masih rendah, kecuali K2O total termasuk tinggi bila dibandingkan dengan Pedoman Pengharkatan Hara Kompos yang dikeluarkan BIOTROP (Anonim, 2000). Unsur hara makro N, P dan K masih jauh di bawah standar, bila di bandingkan dengan standar yang dikeluarkan P.T PUSRI yaitu harus lebih besar dari 2,12 ; 1,30 dan 2,00 untuk kandungan hara NPK (Tabel 5).
Selain unsur hara, kadar air dari pupuk organik hasil penelitian masih tinggi yaitu 26%, sedangkan menurut Radiansyah, 2004 seharusnya kadar air kurang dari 20 %. Prihatini (2001) menyatakan bahwa pupuk organik harus mengandung minimum 7% N, sedangkan yang mempunyai kandungan N kurang dari 7% digolongkan sebagai “soil conditioner”. Salah satu cara untuk meningkatkan unsur hara pupuk organik dari limbah padat industri pulp dan kertas, harus dilakukan penambahan bahan organik lainnya seperti : pupuk kandang, tepung ikan atau bahan lain yang mengandung protein tinggi.
Kandungan logam berat seperti Pb 0,06 ppm, Zn 0,12 ppm dan Cd 0,01 ppm termasuk kategori rendah, bila dibandingkan dengan standar baku mutu maupun standar BIOTROP (Anonim, 2000). Begitu pula bila dibandingkan dengan hasil penelitian tahun lalu (Komarayati dan Pasaribu, 2005). Hal ini terjadi karena limbah padat yang digunakan sebagai bahan pupuk organik berasal dari industri kertas dengan bahan baku pulp.
Tabel 3. Pedoman Pengharkatan Hara Kompos
Table 3. Guidelines for assessing the compost nutrients
Parameter Satuan
(Unit)
Harkat (Assesment)
Rendah (Low) Sedang (Medium) Tinggi (High)
Kadar air (Moisture content) % 24.9 35.9 52.6
Berat jenis (Specific gravity) kg/liter 0.4 0.6 0.9
pH % 6.6 7.3 8.2
Bahan organik (Organic matter) % 22.4 39.7 66.7
C organik (C organic) % 14.5 19.6 27.1
Garam terlarut (Soluble salt) % 0.8 1.8 2.9
N total (Total N) % 0.6 1.1 2.1
P2O5 % 0.3 0.9 1.8
K2O % 0.2 0.6 1.4
MgO % 0.3 0.7 1.6
CaO % 2.7 4.9 6.2
Boron ppm 13.8 35.3 124
Mn ppm 220 452 654
Zn ppm 513 1570 2015
KTK(Cation exchange content) meq/100g 20.1 30 45
Nisbah C/N(C/N ratio) - < 10 10 - 20 > 20
Humik(Humic) % 1.5 3.7 6.8
Sumber (Source) : Anonim (2000).
Tabel 4. Standar kompos menurut PERHUTANI, JEPANG dan WHO
Table 4. Standard of compost by PERHUTANI,JAPAN and WHO
No. Parameter Standard PERHUTANI *) Standard
JEPANG **) Standard) WHO ***
1 C organik, % 19,60 - -
2 N total, % 1,10 - 0,40 – 35
3 Nisbah C/N(Ratio C/N) 10 – 20 < 35 10 – 20
4 Kadar air (Moisture content), % 35,60 - -
5 pH 7,30 5,50 – 7,50 6,50 – 7,50
6 KTK(Cation exchange content) meq/100 g - - > 20
Sumber (Source) : *) PERHUTANI, 1977 dalam Mindawati et al., 1998.
**) HARADA et al., 1993 dalam Noor et al., 1996.
***) WHO, 1980 dalam Rina et al., 2002.
Tabel 5. Standar Kualitas Kompos menurut Bank Dunia (Persyaratan optional sesuai permintaan pasar)
Table 5. Standard of compost quality by world bank
Parameter
Satuan
(Unit) Kualitas (Quality)
Standar kualitas
(Quality standard)
PT. PUSRI Standar kualitas pasar khusus
(Quality standard of special market)
1. Kualitas fisik(Physic quality)
a. Kadar air(Moisture content) % ≤ 20
b. Kandungan humus % berat kering
c. pH 7
d. Bau Berbau tanah
2. Kualitas kimia (kadar zat hara)
a. N % berat kering ≥ 2, 12 ≥ 2,30
b. P % berat kering ≥ 1, 30 ≥ 1,60
c. K % berat kering ≥ 2,00 ≥ 2,40
d. Mg % berat kering ≥ 3,19 ≥ 3,25
e. S % berat kering ≥ 0,01 ≥ 0,02
f. Mo % berat kering ≥ 0,05 ≥ 0,10
g. B % berat kering ≥ 0,09 ≥ 0,10
h. Ca % berat kering ≥ 0,97 ≥ 1,00
i. C/N dimensionless ≥ 15
3. Kualitas kimia (kadar logam berat)
a. As Mg/kg berat kering < 10
b. Cd Mg/kg berat kering < 3
c. Cr Mg/kg berat kering < 45
d. Cu Mg/kg berat kering < 150
e. Hg Mg/kg berat kering < 1
f. Ni Mg/kg berat kering < 50
g. Pb Mg/kg berat kering < 150
h. Zn Mg/kg berat kering < 400
4. Kualitas biologis <
a. Coliform MPN/g kompos < 1,00
b. Salmonella sp. MPN/g kompos < 3
Sumber (Source) : Radiansyah, A.D. (2004)
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Limbah padat industri pulp dan kertas dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik, dengan waktu pengomposan lebih dari 1 bulan.
2. Untuk mempercepat proses, sebaiknya digunakan aktivator khusus (spesifik).
3. Untuk mengatasi rendahnya unsur hara makro, harus dilakukan pencampuran pupuk organik dengan bahan organik lainnya.
4. Hasil analisis menunjukkan bahwa pupuk yang dihasilkan belum dapat digolongkan sebagai pupuk organik.
V. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Pedoman Pengharkatan Hara Kompos. Laboratorium Natural Products SEAMEO – BIOTROP. Bogor.
Aritonang. 2005. Komunikasi pribadi di PT. TEL. Palembang .
Komarayati, S. dan Ridwan A. Pasaribu. 2005. Pembuatan pupuk organik dari limbah padat industri kertas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23 (1) : 35-41 Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Mindawati, N. ; N.H.L. Tata ; Y. Sumarna dan A.S. Kosasih. 1998. Pengaruh beberapa macam limbah organik terhadap mutu dan proses pengomposan dengan bantuan Efektif Mikroorganisme 4 (EM 4). Buletin Penelitian Hutan, No. 616 : 29 - 40.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.
Noor, E., E.G. Said dan A. Nuraini. 1996. Studi Akselerasi Pengomposan Sampah Kota Menggunakan Trichoderma viridae dengan Metode Pengomposan China. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 7(1) : 10 – 18. Bogor.
Prihatini, T. 2001. Menuju “Quality Control” pupuk organik. Makalah pada seminar berkala PERMI, 20 Juli 2001 di BALITTRO, Bogor.
Radiansyah, A.D. 2004. Pemanfaatan Sampah Organik menjadi Kompos. Makalah pada Stadium Generale Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Rina S. Soetopo ; S. Purwati ; H. Hardiani dan A. Surachman. 2002. Pengaruh kompos dari limbah lumpur IPAL industri kertas terhadap tanaman dan tanah. Prosiding Seminar Teknologi Selulosa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Selulosa. Bandung.
Safiudin, S. 1989. Fisika Kimia Tanah. Pustaka Buana. Jakarta.
SINOPSIS HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ARANG KOMPOS
SINOPSIS HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ARANG KOMPOS
Peneliti Utama/Penanggung Jawab :
Dra. Gusmailina, M.Si (Peneliti Utama pada Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor)
Arang kompos adalah gabungan antara arang dan kompos, sejenis pupuk organik yang dihasilkan melalui proses pengomposan dengan menggunakan bahan baku limbah. Keunggulan arang kompos adalah karena keberadaan arang yang menyatu dengan kompos, sehingga kualitas lebih baik dibandingkan dengan kompos yang dihasilkan secara konvensional yang dibuat tanpa menggunakan arang. Semua bahan baku yang digunakan untuk produksi arang kompos berasal dari limbah, sehingga jika kegiatan ini berjalan lancar secara kontinyu, maka banyak sekali manfaat dan keuntungan yang akan diperoleh antara lain : mengurangi pencemaran lingkungan, mendukung program zero waste, GERHAN dan Go Organik 2010.
Arang kompos dihasilkan melalui teknologi inovatif dan kemasyarakatan yang dikembangkan oleh P3THH Bogor, sejak tahun 2000. Pembuatan arang kompos cukup mudah dan murah untuk diterapkan, baik skala kecil mupun lapangan atau di areal tegakan hutan. Dalam waktu 2 minggu sampai 1 bulan (tergantung jenis bahan baku), arang kompos dapat dihasilkan, serta dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa melalui pendidikan khusus. Penerapan teknologi ini selain dapat meningkatnya produksi dan produktivitas tanah, juga menambah pendapatan dan kesejahteraan keluarga/ masyarakat, terutama masyarakat desa dan sekitar hutan.
Aplikasi arang kompos pada media persemaian dan pembibitan merupakan solusi yang tepat untuk dilakukan serta merupakan media yang cocok untuk menunjang kegiatan GERHAN, sebab selain dapat memacu pertumbuhan bibit, bibit yang dihasilkan lebih baik mutu dan kualitasnya. Hal ini sudah merupakan hasil penelitian dan uji coba baik di laboratorium, maupun di lapangan. Hal ini juga yang mendorong pemerintah Kabupaten Garut menggunakan arang kompos sebagai sarana penunjang pada program GERHAN 2003-2004. Sifat arang yang alkalis sangat cocok untuk lahan masam yang merupakan lahan target program GERHAN, selain itu arang kompos selain menambah ketersediaan unsur hara, juga dapat meningkatkan nilai KTK tanah, memperbaiki sifat fisik dan biologis tanah, serta sangat berperan dalam merangsang aktivitas mikro-organisme yang hidup berperan di dalam tanah.
Tujuan penambahan arang adalah untuk :
1. meningkatkan kualitas kompos;
2. menambah jumlah dan aktivitas mikroorganisme yang berperan dalam proses komposting, sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat;
3. pada aplikasi akan memacu perkembangan mikroorganisme tanah;
4. meningkatkan nilai kadar tukar kation (KTK) tanah;
5. mengkondisikan pH tanah pada tingkat yang lebih sesuai bagi pertumbuhan tanaman, sehingga cocok untuk reklamasi lahan yang mempunyai tingkat kesuburan dan keasaman tanah yang rendah;
6. arang mempunyai pori sangat efektif untuk mengikat dan menyimpan hara, dan pada kondisi tertentu akan dilepaskan secara perlahan sesuai dengan konsumsi dan kebutuhan tanaman (efek slow release), sehingga tidak mudah tercuci, dan lahan akan selalu berada dalam kondisi siap pakai.
Kualitas arang kompos yang dihasilkan bervariasi, tergantung dari bahan baku yang digunakan. Beberapa jenis arang kompos yang telah dihasilkan di Puslitbang Teknologi Hasil Hutan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 : Analisis kandungan unsur hara makro dari beberapa jenis arang kompos
Jenis unsur hara AKSr camp AKSr mangium AKSR tusam AKSG Ar.komps
l.d.pisang Ar.komps
Lb.jgng
C organik
N total
P total
K
Ca
Mg 30 – 35
1,6 – 1,8
0,6 – 1,2
1,3 – 1,6
0,8 – 1
0,3 – 0,5 30 - 35
1,5 - 1,6
0,5 - 1,2
1 - 1,5
0,5 - 1,2
0,4 - 1 30 – 40
1,5 - 1,8
1 – 1,3
1,4 – 1,7
0,5 - 1,5
0,6 – 1,1 30 – 39
1,4 – 1,7
1 – 1,5
0,5 – 1
1 – 1,8
0,4 – 1,3 30 – 35
1,6 – 2
1 – 1,5
1 – 1,5
0,4 – 1,0
0,5 – 1,1 30 – 37
1,6 – 2
1 – 1,7
0,7 – 1,8
0,5 – 1,8
0,4 – 1,1
Keterangan : AKSR camp = Arang kompos serasah daun campuram
AKSr mangium = Arang Kompos serasah daun Acacia mangium
AKSR tusam = Arang kompos serasah daun tusam ( Pinus merkusii)
AKSG = Arang kompos serbuk gergaji
Ar.komps ld.pisang : Arang kompos dari limbah daun pisang
Ar.komps Lb.jgng : Arang kompos dari limbah kulit jagung
Aplikasi arang kompos baik di lapangan maupun skala laboratorium memberikan hasil yang baik sekali untuk dikembangkan Penambahan 20 % AKSr (Arang kompos serasah campuran) pada tanaman mengkudu dan saga hutan dapat meningkatkan pertumbuhan 2,7 x lebih baik. Penambahan 20 - 30 % AKSG (Arang kompos serbuk gergaji) pada tanaman Gmelina arborea dapat meningkatkan pertumbuhan 2,2 x lebih baik selama 3,5 bulan. Penambahan 30 % AKSG (Arang kompos serbuk gergaji) pada tanaman penghasil gaharu (Aquilaria sp) di kebun bibit Dinas Kehutanan Prop. Jambi, Jambi, .dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman 2,5 x lebih baik selama 3 bulan, serta dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman bulian ( E. zwageri) 3 x lebih baik selama 3 bulan
Aplikasi arang kompos serbuk gergaji oleh masyarakat Desa Brembang, Kec. Sekernan, Kabupaten Muaro Jambi cukup memuaskan, penambahan 50 % Arang kompos serbuk gergaji pada tanaman cabai merah dapat meningkatkan pH tanah dari 5 menjadi 7, diameter batang 2 kali lebih besar, serta produksi pertama mencapai 4 x.
Dengan menanam 10 - 15 cabai merah pada polybag, dan beberapa pot salderi dan sayuran lainnya dengan campuran media arang kompos serbuk gergaji, beberapa ibu-ibu rumah tangga di desa Brembang mengaku bisa menekan pengeluaran per bulan sampai Rp. 75.000,- (Gusmailina, dkk., 2001). Aplikasi arang kompos pada tanaman brokoli dan pak-choi yang ditanam di bawah tegakan Pinus di lahan sosial forestry Ciloto, BKPH Cianjur, meningkatkan produksi 3 kwintal per ha dibanding dengan aplikasi yang menggunakan bokasi.
Sejak tahun 2002, Puslitbang Teknologi Hasil Hutan, telah mensosialisaikan peragaan dan percontohan pembuatan arang kompos di beberapa daerah seperti : Kabupaten Muaro Jambi, Jambi; KRPH Jembolo Utara; Semarang; Kabupaten Ciamis; Tasik Malaya; Kabupaten Garut; Kabupaten Pandeglang.
Pada tahun 2004 dengan sumber dana SKO-R telah melakukan percontohan skala pilot di TPA (Tempat Penampungan Sampah Akhir) dengan memanfaatkan sampah organik kota di Pandeglang dan Palembang. Arang kompos yang dihasilkan telah diaplikasikan pada lahan GERHAN di Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang. Salah satu motivasi dari kegiatan ini adalah karena TPA merupakan emitter salah satu GRK (Gas Rumah Kaca) potensial pemanasan global yaitu methana (CH4). Kekuatan dalam efek pemanasan global gas ini 23 kali lebih tinggi dari CO2. Untuk mengejar target pengurangan emisi GRK, produksi gas methana perlu dikendalikan. Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 450 TPA sebagai sumber emisi gas methana. Sebagai contoh, sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah organik 56 persen akan menghasilkan gas methana 21.000 ton setiap tahunnya atau setara dengan CO2 486.500 ton. Oleh sebab itu kegiatan ini juga memberi percontohan perbaikan sistem pengelolaan sampah di Indonesia. Sampah organik diolah terlebih dahulu agar gas tidak diproduksi dalam jumlah besar. Pengomposan adalah proses yang dipilih oleh Global Environment Facility yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia untuk mereduksi produksi GRK.
Prospek masa depan aplikasi teknologi arang kompos di Indonesia merupakan salah satu peluang bisnis di Indonesia, baik usaha skala kecil, menengah maupun skala usaha besar. Banyak peluang yang mungkin diisi oleh produk ini seperti di sektor kehutanan, kegiatan Gerhan yang akan berlangsung sampai tahun 2009, Go Organik 2010 oleh Deptan, serta meningkatnya trend gaya hidup masyarakat yang lebih memilih produk-produk organik yang aman dan sehat, menuntut penyediaan bahan/pupuk organik berkualitas.
Prospek masa depan aplikasi teknologi arang kompos di Indonesia merupakan salah satu peluang bisnis di Indonesia, baik usaha skala kecil, menengah maupun skala usaha besar. Banyak peluang yang mungkin diisi oleh produk ini seperti di sektor kehutanan, kegiatan Gerhan yang akan berlangsung sampai tahun 2009, Go Organik 2010 oleh Deptan, serta meningkatnya trend gaya hidup masyarakat yang lebih memilih produk-produk organik yang aman dan sehat, menuntut penyediaan bahan/pupuk organik berkualitas.
Peneliti Utama/Penanggung Jawab :
Dra. Gusmailina, M.Si (Peneliti Utama pada Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor)
Arang kompos adalah gabungan antara arang dan kompos, sejenis pupuk organik yang dihasilkan melalui proses pengomposan dengan menggunakan bahan baku limbah. Keunggulan arang kompos adalah karena keberadaan arang yang menyatu dengan kompos, sehingga kualitas lebih baik dibandingkan dengan kompos yang dihasilkan secara konvensional yang dibuat tanpa menggunakan arang. Semua bahan baku yang digunakan untuk produksi arang kompos berasal dari limbah, sehingga jika kegiatan ini berjalan lancar secara kontinyu, maka banyak sekali manfaat dan keuntungan yang akan diperoleh antara lain : mengurangi pencemaran lingkungan, mendukung program zero waste, GERHAN dan Go Organik 2010.
Arang kompos dihasilkan melalui teknologi inovatif dan kemasyarakatan yang dikembangkan oleh P3THH Bogor, sejak tahun 2000. Pembuatan arang kompos cukup mudah dan murah untuk diterapkan, baik skala kecil mupun lapangan atau di areal tegakan hutan. Dalam waktu 2 minggu sampai 1 bulan (tergantung jenis bahan baku), arang kompos dapat dihasilkan, serta dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa melalui pendidikan khusus. Penerapan teknologi ini selain dapat meningkatnya produksi dan produktivitas tanah, juga menambah pendapatan dan kesejahteraan keluarga/ masyarakat, terutama masyarakat desa dan sekitar hutan.
Aplikasi arang kompos pada media persemaian dan pembibitan merupakan solusi yang tepat untuk dilakukan serta merupakan media yang cocok untuk menunjang kegiatan GERHAN, sebab selain dapat memacu pertumbuhan bibit, bibit yang dihasilkan lebih baik mutu dan kualitasnya. Hal ini sudah merupakan hasil penelitian dan uji coba baik di laboratorium, maupun di lapangan. Hal ini juga yang mendorong pemerintah Kabupaten Garut menggunakan arang kompos sebagai sarana penunjang pada program GERHAN 2003-2004. Sifat arang yang alkalis sangat cocok untuk lahan masam yang merupakan lahan target program GERHAN, selain itu arang kompos selain menambah ketersediaan unsur hara, juga dapat meningkatkan nilai KTK tanah, memperbaiki sifat fisik dan biologis tanah, serta sangat berperan dalam merangsang aktivitas mikro-organisme yang hidup berperan di dalam tanah.
Tujuan penambahan arang adalah untuk :
1. meningkatkan kualitas kompos;
2. menambah jumlah dan aktivitas mikroorganisme yang berperan dalam proses komposting, sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat;
3. pada aplikasi akan memacu perkembangan mikroorganisme tanah;
4. meningkatkan nilai kadar tukar kation (KTK) tanah;
5. mengkondisikan pH tanah pada tingkat yang lebih sesuai bagi pertumbuhan tanaman, sehingga cocok untuk reklamasi lahan yang mempunyai tingkat kesuburan dan keasaman tanah yang rendah;
6. arang mempunyai pori sangat efektif untuk mengikat dan menyimpan hara, dan pada kondisi tertentu akan dilepaskan secara perlahan sesuai dengan konsumsi dan kebutuhan tanaman (efek slow release), sehingga tidak mudah tercuci, dan lahan akan selalu berada dalam kondisi siap pakai.
Kualitas arang kompos yang dihasilkan bervariasi, tergantung dari bahan baku yang digunakan. Beberapa jenis arang kompos yang telah dihasilkan di Puslitbang Teknologi Hasil Hutan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 : Analisis kandungan unsur hara makro dari beberapa jenis arang kompos
Jenis unsur hara AKSr camp AKSr mangium AKSR tusam AKSG Ar.komps
l.d.pisang Ar.komps
Lb.jgng
C organik
N total
P total
K
Ca
Mg 30 – 35
1,6 – 1,8
0,6 – 1,2
1,3 – 1,6
0,8 – 1
0,3 – 0,5 30 - 35
1,5 - 1,6
0,5 - 1,2
1 - 1,5
0,5 - 1,2
0,4 - 1 30 – 40
1,5 - 1,8
1 – 1,3
1,4 – 1,7
0,5 - 1,5
0,6 – 1,1 30 – 39
1,4 – 1,7
1 – 1,5
0,5 – 1
1 – 1,8
0,4 – 1,3 30 – 35
1,6 – 2
1 – 1,5
1 – 1,5
0,4 – 1,0
0,5 – 1,1 30 – 37
1,6 – 2
1 – 1,7
0,7 – 1,8
0,5 – 1,8
0,4 – 1,1
Keterangan : AKSR camp = Arang kompos serasah daun campuram
AKSr mangium = Arang Kompos serasah daun Acacia mangium
AKSR tusam = Arang kompos serasah daun tusam ( Pinus merkusii)
AKSG = Arang kompos serbuk gergaji
Ar.komps ld.pisang : Arang kompos dari limbah daun pisang
Ar.komps Lb.jgng : Arang kompos dari limbah kulit jagung
Aplikasi arang kompos baik di lapangan maupun skala laboratorium memberikan hasil yang baik sekali untuk dikembangkan Penambahan 20 % AKSr (Arang kompos serasah campuran) pada tanaman mengkudu dan saga hutan dapat meningkatkan pertumbuhan 2,7 x lebih baik. Penambahan 20 - 30 % AKSG (Arang kompos serbuk gergaji) pada tanaman Gmelina arborea dapat meningkatkan pertumbuhan 2,2 x lebih baik selama 3,5 bulan. Penambahan 30 % AKSG (Arang kompos serbuk gergaji) pada tanaman penghasil gaharu (Aquilaria sp) di kebun bibit Dinas Kehutanan Prop. Jambi, Jambi, .dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman 2,5 x lebih baik selama 3 bulan, serta dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman bulian ( E. zwageri) 3 x lebih baik selama 3 bulan
Aplikasi arang kompos serbuk gergaji oleh masyarakat Desa Brembang, Kec. Sekernan, Kabupaten Muaro Jambi cukup memuaskan, penambahan 50 % Arang kompos serbuk gergaji pada tanaman cabai merah dapat meningkatkan pH tanah dari 5 menjadi 7, diameter batang 2 kali lebih besar, serta produksi pertama mencapai 4 x.
Dengan menanam 10 - 15 cabai merah pada polybag, dan beberapa pot salderi dan sayuran lainnya dengan campuran media arang kompos serbuk gergaji, beberapa ibu-ibu rumah tangga di desa Brembang mengaku bisa menekan pengeluaran per bulan sampai Rp. 75.000,- (Gusmailina, dkk., 2001). Aplikasi arang kompos pada tanaman brokoli dan pak-choi yang ditanam di bawah tegakan Pinus di lahan sosial forestry Ciloto, BKPH Cianjur, meningkatkan produksi 3 kwintal per ha dibanding dengan aplikasi yang menggunakan bokasi.
Sejak tahun 2002, Puslitbang Teknologi Hasil Hutan, telah mensosialisaikan peragaan dan percontohan pembuatan arang kompos di beberapa daerah seperti : Kabupaten Muaro Jambi, Jambi; KRPH Jembolo Utara; Semarang; Kabupaten Ciamis; Tasik Malaya; Kabupaten Garut; Kabupaten Pandeglang.
Pada tahun 2004 dengan sumber dana SKO-R telah melakukan percontohan skala pilot di TPA (Tempat Penampungan Sampah Akhir) dengan memanfaatkan sampah organik kota di Pandeglang dan Palembang. Arang kompos yang dihasilkan telah diaplikasikan pada lahan GERHAN di Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang. Salah satu motivasi dari kegiatan ini adalah karena TPA merupakan emitter salah satu GRK (Gas Rumah Kaca) potensial pemanasan global yaitu methana (CH4). Kekuatan dalam efek pemanasan global gas ini 23 kali lebih tinggi dari CO2. Untuk mengejar target pengurangan emisi GRK, produksi gas methana perlu dikendalikan. Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 450 TPA sebagai sumber emisi gas methana. Sebagai contoh, sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah organik 56 persen akan menghasilkan gas methana 21.000 ton setiap tahunnya atau setara dengan CO2 486.500 ton. Oleh sebab itu kegiatan ini juga memberi percontohan perbaikan sistem pengelolaan sampah di Indonesia. Sampah organik diolah terlebih dahulu agar gas tidak diproduksi dalam jumlah besar. Pengomposan adalah proses yang dipilih oleh Global Environment Facility yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia untuk mereduksi produksi GRK.
Prospek masa depan aplikasi teknologi arang kompos di Indonesia merupakan salah satu peluang bisnis di Indonesia, baik usaha skala kecil, menengah maupun skala usaha besar. Banyak peluang yang mungkin diisi oleh produk ini seperti di sektor kehutanan, kegiatan Gerhan yang akan berlangsung sampai tahun 2009, Go Organik 2010 oleh Deptan, serta meningkatnya trend gaya hidup masyarakat yang lebih memilih produk-produk organik yang aman dan sehat, menuntut penyediaan bahan/pupuk organik berkualitas.
Prospek masa depan aplikasi teknologi arang kompos di Indonesia merupakan salah satu peluang bisnis di Indonesia, baik usaha skala kecil, menengah maupun skala usaha besar. Banyak peluang yang mungkin diisi oleh produk ini seperti di sektor kehutanan, kegiatan Gerhan yang akan berlangsung sampai tahun 2009, Go Organik 2010 oleh Deptan, serta meningkatnya trend gaya hidup masyarakat yang lebih memilih produk-produk organik yang aman dan sehat, menuntut penyediaan bahan/pupuk organik berkualitas.
OPTIMALISASI DAN EVALUASI PENGGUNAAN ARAMG DAN ARANG KOMPOS
OPTIMALISASI DAN EVALUASI PENGGUNAAN ARAMG DAN ARANG KOMPOS
Oleh : Gusmailina
RINGKASAN
Beberapa tahun terakhir karena sifatnya arang tidak hanya dikenal sebagai sumber energi, namun juga digunakan untuk pembangun kesuburan tanah (PKT). Karena secara morfologis arang mempunyai pori yang efektif untuk mengikat dan menyimpan hara tanah dan selanjutnya dilepaskan secara perlahan sesuai dengan konsumsi dan kebutuhan tanaman (slow release) sehingga hara tanah tidak mudah tercuci dan lahan akan selalu berada dalam kondisi siap pakai. Keuntungan pemberian arang pada tanah sebagai soil conditioning (PKT) karena arang mempunyai kemampuan dalam memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah, meningkatkan pH tanah sehingga dapat merangsang dan memudahkan pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman.
Arang selain dapat digunakan langsung sebagai agent pembangun kesuburan tanah, juga digunakan sebagai campuran dalam proses pengomposan. Pembuatan arang kompos merupakan salah satu teknik yang relatif baru dikembangkan oleh P3THH dengan memanfaatkan arang pada proses pengomposan. Tujuan penambahan arang pada proses pengomposan adalah selain meningkatkan kualitas dari kompos tersebut, juga diharapkan dengan adanya arang pada pengomposan akan menambah jumlah dan aktivitas mikroorganisme yang berperan, sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat.
Aplikasi arang yang menyatu dalam kompos (arang kompos) sangat bermanfaat untuk memacu perkembangan mikroorganisme (mikoriza) tanah, meningkatkan pH tanah pada tingkat yang lebih sesuai bagi pertumbuhan tanaman, sehingga cocok untuk reklamasi lahan yang mempunyai tingkat kesuburan tanah dan produktivitas yang rendah sehingga dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai masalah lahan di Indonesia antara lain lahan kritis dengan kadar pH tanah yang rendah, menurunnya tingkat kesuburan tanah atau produktivitas lahan.
Hasil penelitian yang sudah diperoleh adalah: Pembuatan arang kompos dari campuran serasah daun tusam selama 3 bulan menghasilkan nisbah C/N 20,10; arang kompos dari campuran serasah daun tusam, arang kulit kayu tusam dan aktivator selama 3 bulan menghasilkan nisbah C/N 19,71; sedangkan arang kompos dari campuran serasah daun tusam, dengan aktivator EM4, arang kulit kayu tusam dan pupuk kandang selama 3 bulan menghasilkan nisbah C/N 18,89, serta berapa penelitian yang sudah dilakukan dengan menggunakan dana kerja sama luar antara lain JIFPRO yang telah memberi percontohan pada masyarakat tentang pemanfaatan limbah industri kehutanan (utamanya serbuk gergaji) menjadi suatu produk yang bernilai ekonomi yaitu arang kompos. Keunggulan arang kompos tidak lepas dari peranan arang yang kualitasnya berbeda dengan arang untuk keperluan energi. Karena arang yang diperuntukkan untuk perbaikan kondisi lahan atau sebagai bahan arang kompos tidak membutuhkan nilai kalor yang tinggi, serta tidak harus bersifat keras sehingga cara pembuatannyapun lebih mudah.
Kata Kunci : limbah, arang, arang kompos, uji coba, tanaman, dampak, terpadu
PENDAHULUAN
Kajian penggunaan arang yang digunakan langsung sebagi campuran media semai telah dimulai sejak tiga tahun yang lalu. Arang yang digunakan sebagai bahan baku pencampur kompos diutamakan yang berasal dari serbuk gergaji, karena menggunakan arang serbuk gergaji (ASG) lebih efektif dan efisien, sebab dapat digunakan langsung. Jika arang yang digunakan mempunyai ukuran lebih besar dari ASG, maka arang tersebut harus ditumbuk dahulu sebelum digunakan. Penelitian yang menyangkut dengan arang kompos dimulai sejak dua tahun yang lalu pada skala laboratorium, serta dalam satuan luas kecil juga telah diujicobakan di lapangan. Dari beberapa uji coba pemberian arang kompos pada tanah selain dapat menambah ketersediaan unsur hara tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis tanah, juga dapat meningkatkan pH tanah dan nilai KTK tanah, sehingga cocok digunakan untuk rehabilitasi/reklamasi lahan-lahan kritis, masam yang makin meluas di Indonesia.
Arang yang dipakai langsung untuk pembangun kesuburan tanah, atau sebagai campuran pembuatan arang kompos, berbeda dengan arang yang ditujukan sebagai sumber energi. Karena arang yang diperuntukkan untuk perbaikan kondisi lahan atau sebagai bahan arang kompos tidak membutuhkan nilai kalor yang tinggi, serta tidak harus bersifat keras, sehingga cara pembuatannyapun perlu dibedakan serta dikembangkan dengan cara yang lebih mudah dan murah. Bahan yang dapat dibuat arang sebagai pencampur arang kompos antara lain: serbuk gergaji sekam padi, kulit kayu, limbah pertanian dan perkebunan seperti tongkol jagung, tempurung kelapa/kelapa sawit. Bahan yang dapat dibuat untuk kompos antara lain: Serbuk gergaji, serasah tumbuhan hutan/dedaunan seperti, serasah tusam, serasah mangium, atau campuran limbah organik pertanian seperti, limbah sayuran, jerami, kulit atau tongkol jagung, limbah industri penyulingan nilam dan cengkeh, sampah organik pasar, atau kotoran hewan.
Sejak tahun 2000 Puslitbang Teknologi Hasil Hutan telah melakukan serangkaian kegiatan pengembangan dan percontohan pembuatan arang kompos di beberapa lokasi di Jawa Barat, Jambi, dan Jawa Tengah. Pengembangan dan percontohan pembuatan arang kompos bersama masyarakat terus dilakukan, sekaligus membina atau membimbing masyarakat jika menghadapi masalah dan kesulitan dalam hal membuat atau mengaplikasikannya.
Pentingnya arang dan arang kompos sebagai suplai bahan organik tanah
Kenyataan menunjukkan bahwa merosotnya kualitas dan kuantitas sumber daya akibat pemanfaatan yang melampaui batas mengakibatkan kerusakan sumberdaya yang tidak dapat dihindari. Kenyataan juga menunjukkan bahwa program rehabilitasi kerusakan lahan yang masih meninggalkan lahan kritis seluas 7.269.700 ha yang harus dihijaukan, serta hutan seluas 5.830.200 ha yang masih harus dihutankan kembali. Di sektor pertanian gejala penurunan produksi padi akibat pemberian pupuk kimia/anorganik secara intensif telah terbukti. Akibat pemberian pupuk kimia secara intensif selama 25 musim tanam ternyata diikuti oleh penurunan produksi padi jenis IR 36 (Martodiresi dan Suryanto, 2001). Keadaan ini ternyata diakibatkan oleh menurunnya kandungan bahan organik tanah dari musim ke musim yang tak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia NPK misalnya. Akibatnya kemampuan tanaman membentuk anakan menurun. Inilah yang menjadi penyebab utama menurunnya produksi padi. Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan stabilitas bahan organik tanah bagi kelestarian produktivitas pertanian dan kehutanan. Sebab bahan organik tanah bukan hanya berfungsi sebagai penyuplai hara, tetapi juga berguna untuk menjaga kehidupan biologis di dalam tanah.
Kenyataan juga membuktikan bahwa efisiensi pupuk kimia lebih rendah. Tanaman di lahan kering di daerah tropis kehilangan sampai 40-50 % N yang diberikan, padi sawah kehilangan N kurang dari 60-70 %. Bila kondisi kurang mendukung, misalnya tingginya curah hujan, musim kemarau yang panjang, tingginya erosi tanah, serta rendahnya bahan organik tanah, maka efisiensinya bisa lebih rendah lagi (FAO, 1990 dalam Reijntjes dkk. 1999).
Kenyataan juga menunjukkan bahwa pupuk kimia ini bisa mengganggu kehidupan dan keseimbangan tanah, meningkatkan dekomposisi bahan organik, yang kemudian menyebabkan degradasi struktur tanah, kerentanan yang lebih tinggi terhadap kekeringan,sehingga produktivitas rendah. Aplikasi yang tidak seimbang dari pupuk mineral N yang menyebabkan pengasaman dan menurunkan pH tanah serta ketersediaan hara P bagi tanaman. Penggunaan pupuk kimia NPK yang terus menerus menyebabkan penipisan unsur-unsur mikro seperti seng, besi, tembaga, mangan, magnesium, molybdenum, boron, yang bisa mempengaruhi tanaman, hewan, dan kesehatan manusia. (Sharma, 1985; Tandon, 1990 dalam Reijntjes dkk. 1999).
Kenyataan lingkungan global menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia di negara maju dan negara berkembang memberikan andil pada resiko global yang muncul dari pelepasan Nitrogen oksida (N2O) pada atmosfir dan lapisan di atasnya. Pada lapisan stratosfir, N2O akan menipiskan lapisan ozon dan dengan menyerap gelombang sinar infra merah tertentu, meningkatkan suhu global (efek rumah kaca) dan mengganggu kestabilan iklim. Hal ini bisa mengakibatkan perubahan pola, tingkat dan resiko produksi pertanian. Meningkatnya permukaan air laut akan membawa konsekuensi besar bagi daerah delta yang rendah dan muara. Mengingat bahaya ini, larangan penggunaan pupuk kimia di seluruh dunia tak bisa dikesampingkan lagi untuk masa datang (Conway dan Pretty, 1988, 1988 dalam Reijntjes dkk. 1999)
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, perlu upaya yang lebih besar untuk mempromosikan penggunaan pupuk organik yang lebih efisien serta ramah lingkungan. Apalagi akhir-akhir ini meningkatnya kecenderungan masyarakat terhadap produk-produk yang berasal dari budidaya organik, karena produknya lebih bersih dan bebas dari bahan-bahan kimia anorganik, sehingga cukup aman dan sehat untuk dikonsumsi. Penggunaan sumber-sumber pengganti N seperti, limbah biomassa misalnya : sampah tanaman, pupuk hijau, pupuk kandang, penanaman leguminosa secara bergantian dan sebagai pohon pelindung, alga biru-hijau dan bakteri pengikat N pada sawah dan hutan seperti rhizobium dan mikoriza merupakan alternatif. Di sektor kehutanan limbah biomassa cukup potensial, misalnya limbah pemanenan, serasah tanaman (dedaunan segar atau kering), serta limbah industri pengolahan kayu diantaranya serbuk gergaji.
Arang kompos merupakan salah satu produk bahan organik yang lebih mengutamakan pada kelestarian lingkungan. Karena memanfaatkan limbah serbuk gergaji, serasah hutan, ranting, cabang/dahan yang tertinggal sewaktu pemanenan. Dengan sedikit input teknologi maka limbah-limbah tersebut dapat dibuat menjadi bahan organik yang banyak manfaatnya. Dampak yang akan diperoleh meningkatnya produksi dan produktivitas tanah, menambah pendapatan keluarga, dan akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat
Aplikasi arang dan arang kompos dalam menunjang program CDM forestry
CDM (Clean Development Mechanism) adalah salah satu mekanisme di bawah Kyoto Protocol sebagai bagian dari UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change/Konvensi Perubahan Iklim) yang maksudnya untuk membantu negara berkembang menuju pembangunan berkelanjutan dan kontribusinya terhadap pencapaian tujuan konvensi perubahan iklim, serta membantu negara maju/industri memenuhi kewajibannya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Salah satu butir dari hasil rumusan lokakarya LULUCF November tahun 2000, adalah aspek saintifik yang berkaitan dengan CDM perlu dikembangkan dan ditindak lanjuti (Anonimus, 2000).
Kaitan pembuatan dan aplikasi arang kompos dalam menunjang program CDM adalah, karena : (1) dengan memanfaatkan arang sebagai sumber karbon, artinya dapat mencegah peningkatan pelepasan jumlah karbon ke atmosfir atau karbon akan tersimpan dalam batas waktu tertentu dalam arang di dalam tanah; (2) arang sebagai sumber karbon di dalam tanah dapat merangsang perkembangan mikroorganisme tanah, sehingga dapat membangun kondisi biologis tanah, meningkatkan pH tanah, memperbaiki kondisi fisik dan kimia tanah, sehingga meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Meningkatnya pertumbuhan tanaman hutan memperbesar jumlah sink atau rosot CO2 dan selanjutnya akan dicapai net-source penyerapan > dari emisi.
EVALUASI PENGGUNAAN ARANG DAN ARANG KOMPOS
A. Teknik Penggunaan Arang Dan Arang Aktif Sebagai PKT (Pembangun Kesuburan Tanah (Soil Conditioning) Pada Tanaman
Penelitian diawali dengan menggunakan dua jenis arang dan arang aktif bambu dengan hasil terbaik terutama arang aktif bambu. Namun untuk penerapan penggunaan arang aktif sebagai soil conditioning di lapangan dalam skala luas, perlu dikaji kelayakan ekonomisnya. Namun untuk selanjutnya perlu dicari teknologi yang praktis, seperti pembuatan arang aktif teknis yang mudah dan murah untuk diterapkan sehingga masyarakat desa dan sekitar hutanpun dapat melakukannya.
Pengamatan pertumbuhan beberapa tanaman Eucalyptus urophylla setelah dipindah ke lapangan (sekitar Gedung FORDA), P3THH, Bogor, dengan menggunakan limbah serbuk gergaji, sekam padi, arang bambu, dan arang serasah campuran. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semua perlakuan media yang dicampur dengan arang lebih baik dibanding kontrol. Respon terbaik terhadap pertumbuhan anakan Acacia mangium adalah pada media yang dicampur dengan arang serasah dan arang sekam padi.
dan perkecambahan Acacia mangium. Jenis arang yang digunakan berasal dari limbah serbuk gergaji, sekam padi, arang bambu, dan arang serasah campuran. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semua perlakuan media yang dicampur dengan arang lebih baik dibanding kontrol. Respon terbaik terhadap pertumbuhan anakan Acacia mangium adalah pada media yang dicampur dengan arang serasah dan arang sekam padi.
A B C D
Gambar 1. Pengaruh penambahan arang pada media terhadap perkembangan akar
E.urophylla (A), E. citriodora (B) dan A. mangium (C) dan E.urophylla di
sekitar Gd. Forda (foto dok. Lina)
Pada tahun ke tiga th.2001 dengan waktu yang terbatas (3 bulan), hanya dapat mencoba mengaplikasikan 2 jenis arang kulit kayu sebagai media tumbuh pada jenis E. urophylla dan Acacia mangium. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan arang kulit kayu tusam dan mangium sebagai campuran media semai pada anakan E.urophylla dan A. mangium berpengaruh positif terhadap pertumbuhan akar maupun pertumbuhan tanaman secara keseluruhan. Oleh sebab itu limbah kulit kayu dapat disarankan untuk dibuat arang yang kemudian digunakan sebagi PKT (Pembangun Kesuburan tanah)
Aplikasi arang sebagai PKT (pembangun kesuburan tanah) atau soil conditioning adalah salah satu upaya untuk membangun dan memperbaiki kondisi tanah sekaligus meningkatkan kesuburan tanah. Karena secara morfologis arang mempunyai pori yang efektif untuk mengikat dan menyimpan hara tanah. Hara yang dikonsumsi tanaman sesuai dengan kebutuhan, sehingga hara tanah tidak mudah tercuci. Penelitian ini bertujuan mencari alternatif pemanfaatan arang selain sebagai sumber energi yaitu sebagai PKT/soil conditioning dengan memanfaatkan limbah eksploitasi atau limbah industri pengolahan kayu sebagai bahan baku. Dengan pemberian arang sebagai PKT diharapkan dapat meningkatkan dan membangun kesuburan tanah terutama tanah yang miskin hara.
Dari tiga tahun penelitian (dari rencana lima tahunan), target penelitian yang telah dicapai sekitar 60 %. Yang belum diperoleh adalah : teknik pembuatan arang aktif teknis untuk PKT sekaligus aplikasinya, mekanisme arang dan arang aktif sebagai PKT/soil conditioning, serta petunjuk praktis teknis pembuatan dan aplikasi di lapangan, baik untuk tanaman kehutanan maupun tanaman pertanian khusus untuk agroforestry.
B. Penyempurnaan Teknologi dan Aplikasi Arang Kompos
Tahun pertama (2000)
Tabel 1. Kualitas kompos dan arang kompos
No PARAMETER KOMPOS ARANG KOMPOS 1 ARANG KOMPOS 2)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Carbon (C), %
Nitrogen (N), %
P2O5, %
CaO, %
MgO, %
K2O, %
C/N
PH
Kadar Air, %
Berat Jenis, kg/liter
Asam Humik, %
Asam Fulfik, %
KTK, meq/100 gram
48,04
2,39
1,17
0,97
0,93
1,54
20,10
6,80
56,23
0,78
1,83
0,08
37,21
46,31
2,35
1,12
0,93
0,67
1,47
19,71
7,20
55,81
0,74
2,06
0,09
36,29
53,27
2,82
1,24
1,28
0,87
1,39
18,89
7,10
56,21
0,72
2,19
0,11
33,58
Keterangan : 1) Arang kompos dengan pemacu proses OrgaDec
2) Arang kompos dengan pemacu proses EM4 + kotoran sapi
Sumber : Komarayati, dkk. (2001)
Kompos dan arang kompos yang berkualitas baik harus memenuhi persyaratan sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman. Kualitas tersebut ditentukan oleh unsur hara yang terkandung di dalamnya, terutama unsur hara makro.
Dari hasil analisis, kompos dan arang kompos serasah tusam sebagian besar telah memenuhi kriteria yang ditentukan, antara lain unsur hara makro seperti kandungan P, K dan Mg, sementara Ca masih rendah. Begitu pula kadar air, pH dan nisbah C/N serta warna kompos dan arang kompos. Dilihat dari hasil yang diperoleh, maka kompos dan arang kompos ini sudah layak untuk diaplikasikan pada tanaman, baik tanaman kehutanan maupun tanaman pertanian.
Tahun ke dua (2001)
Pada tahun ke dua dilakukan pembuatan kompos dan arang kompos di lapangan yaitu diantara tegakan tusam. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Selain itu juga dilakukan aplikasi kompos dan arang kompos hasil penelitian tahun 2000 pada media pertumbuhan tanaman tusam di rumah kaca.
Tabel 2. Kualitas kompos dan arang kompos serasah tusam
No Parameter Kompos Arang kompos
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Carbon ( C ) , %
Nitrogen (N), %
P2O5, %
CaO, %
MgO, %
K2O, %
C/N
Kadar air, %
pH
18,29
0,83
1,27
0,97
1,08
1,84
22,00
42,13
6,40
48,59
0,94
1,76
1,28
1,28
2,37
51,70
51,69
6,40
Sumber : Komarayati, dkk. (2001)
Bila dibandingkan dengan hasil penelitian tahun pertama, maka kualitas kompos dan arang kompos terutama kandungan unsur hara tidak jauh berbeda, akan tetapi nisbah C/N sangat berbeda yaitu terutama nisbah C/N arang kompos pada penelitian tahun ke dua sangat tinggi, hal ini disebabkan karena penambahan arang sangat besar hampir 60 %. Begitu pula kadar air sangat tinggi yaitu berkisar 42,13 % - 51,69 %, ini disebabkan pada saat penelitian hujan turun setiap hari sehingga keadaan tanah disekitarnya menjadi basah dan lembab.
Gambar 2. Aplikasi kompos dan arang kompos pada media pertumbuhan anakan Pinus
Rata-rata pertumbuhan anakan tusam setelah diberi kompos dan arang kompos dengan aktivator A, pada pemberian dosis kompos 30 %, pertumbuhan tinggi 1 kali lebih tinggi disbanding control, diameter 7 kali, panjang akar 1,5 kali dan berat kering 1,5 kali lebih besar. Sedangkan pada pemberian dosis arang kompos 30 %, pertumbuhan tinggi 1 kali, diameter 2 kali, panjang akar 1,5 kali dan berat kering 4,6 kali lebih besar. Tanaman tusam yang diberi arang kompos, daun lebih banyak dan berwarna hijau.
Rata-rata pertumbuhan anakan tusam setelah diberi arang kompos dengan activator B, pada pemberian dosis 30 %, pertumbuhan tinggi 1 kali lebih besar dari control, diameter 2 kali, panjang akar 2,6 kali dan berat kering 6 kali lebih besar.
Dari hasil pengamatan ini terbukti bahwa arang kompos lebih baik dari pada kompos karena adanya penambahan arang. Arang dapat memperbaiki kondisi lingkungan perakaran dan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.
Tahun ke tiga (2002)
Karena waktu yang terlalu singkat penelitian ditunda ke tahun 2003
C. Sosialisasi pembuatan arang dan arang kompos di beberapa daerah
Sejak tahun 2000, Puslitbang Teknologi Hasil Hutan telah melakukan serangkaian kegiatan sosialisasi pembuatan arang dan arang kompos di beberapa daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jambi. Namun dari beberapa daerah tersebut belum diperoleh informasi tentang kelanjutannya baik pembuatan maupun aplikasi arang dan arang kompos untuk meningkatkan produktivitas tanaman.
Oleh : Gusmailina
RINGKASAN
Beberapa tahun terakhir karena sifatnya arang tidak hanya dikenal sebagai sumber energi, namun juga digunakan untuk pembangun kesuburan tanah (PKT). Karena secara morfologis arang mempunyai pori yang efektif untuk mengikat dan menyimpan hara tanah dan selanjutnya dilepaskan secara perlahan sesuai dengan konsumsi dan kebutuhan tanaman (slow release) sehingga hara tanah tidak mudah tercuci dan lahan akan selalu berada dalam kondisi siap pakai. Keuntungan pemberian arang pada tanah sebagai soil conditioning (PKT) karena arang mempunyai kemampuan dalam memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah, meningkatkan pH tanah sehingga dapat merangsang dan memudahkan pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman.
Arang selain dapat digunakan langsung sebagai agent pembangun kesuburan tanah, juga digunakan sebagai campuran dalam proses pengomposan. Pembuatan arang kompos merupakan salah satu teknik yang relatif baru dikembangkan oleh P3THH dengan memanfaatkan arang pada proses pengomposan. Tujuan penambahan arang pada proses pengomposan adalah selain meningkatkan kualitas dari kompos tersebut, juga diharapkan dengan adanya arang pada pengomposan akan menambah jumlah dan aktivitas mikroorganisme yang berperan, sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat.
Aplikasi arang yang menyatu dalam kompos (arang kompos) sangat bermanfaat untuk memacu perkembangan mikroorganisme (mikoriza) tanah, meningkatkan pH tanah pada tingkat yang lebih sesuai bagi pertumbuhan tanaman, sehingga cocok untuk reklamasi lahan yang mempunyai tingkat kesuburan tanah dan produktivitas yang rendah sehingga dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai masalah lahan di Indonesia antara lain lahan kritis dengan kadar pH tanah yang rendah, menurunnya tingkat kesuburan tanah atau produktivitas lahan.
Hasil penelitian yang sudah diperoleh adalah: Pembuatan arang kompos dari campuran serasah daun tusam selama 3 bulan menghasilkan nisbah C/N 20,10; arang kompos dari campuran serasah daun tusam, arang kulit kayu tusam dan aktivator selama 3 bulan menghasilkan nisbah C/N 19,71; sedangkan arang kompos dari campuran serasah daun tusam, dengan aktivator EM4, arang kulit kayu tusam dan pupuk kandang selama 3 bulan menghasilkan nisbah C/N 18,89, serta berapa penelitian yang sudah dilakukan dengan menggunakan dana kerja sama luar antara lain JIFPRO yang telah memberi percontohan pada masyarakat tentang pemanfaatan limbah industri kehutanan (utamanya serbuk gergaji) menjadi suatu produk yang bernilai ekonomi yaitu arang kompos. Keunggulan arang kompos tidak lepas dari peranan arang yang kualitasnya berbeda dengan arang untuk keperluan energi. Karena arang yang diperuntukkan untuk perbaikan kondisi lahan atau sebagai bahan arang kompos tidak membutuhkan nilai kalor yang tinggi, serta tidak harus bersifat keras sehingga cara pembuatannyapun lebih mudah.
Kata Kunci : limbah, arang, arang kompos, uji coba, tanaman, dampak, terpadu
PENDAHULUAN
Kajian penggunaan arang yang digunakan langsung sebagi campuran media semai telah dimulai sejak tiga tahun yang lalu. Arang yang digunakan sebagai bahan baku pencampur kompos diutamakan yang berasal dari serbuk gergaji, karena menggunakan arang serbuk gergaji (ASG) lebih efektif dan efisien, sebab dapat digunakan langsung. Jika arang yang digunakan mempunyai ukuran lebih besar dari ASG, maka arang tersebut harus ditumbuk dahulu sebelum digunakan. Penelitian yang menyangkut dengan arang kompos dimulai sejak dua tahun yang lalu pada skala laboratorium, serta dalam satuan luas kecil juga telah diujicobakan di lapangan. Dari beberapa uji coba pemberian arang kompos pada tanah selain dapat menambah ketersediaan unsur hara tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis tanah, juga dapat meningkatkan pH tanah dan nilai KTK tanah, sehingga cocok digunakan untuk rehabilitasi/reklamasi lahan-lahan kritis, masam yang makin meluas di Indonesia.
Arang yang dipakai langsung untuk pembangun kesuburan tanah, atau sebagai campuran pembuatan arang kompos, berbeda dengan arang yang ditujukan sebagai sumber energi. Karena arang yang diperuntukkan untuk perbaikan kondisi lahan atau sebagai bahan arang kompos tidak membutuhkan nilai kalor yang tinggi, serta tidak harus bersifat keras, sehingga cara pembuatannyapun perlu dibedakan serta dikembangkan dengan cara yang lebih mudah dan murah. Bahan yang dapat dibuat arang sebagai pencampur arang kompos antara lain: serbuk gergaji sekam padi, kulit kayu, limbah pertanian dan perkebunan seperti tongkol jagung, tempurung kelapa/kelapa sawit. Bahan yang dapat dibuat untuk kompos antara lain: Serbuk gergaji, serasah tumbuhan hutan/dedaunan seperti, serasah tusam, serasah mangium, atau campuran limbah organik pertanian seperti, limbah sayuran, jerami, kulit atau tongkol jagung, limbah industri penyulingan nilam dan cengkeh, sampah organik pasar, atau kotoran hewan.
Sejak tahun 2000 Puslitbang Teknologi Hasil Hutan telah melakukan serangkaian kegiatan pengembangan dan percontohan pembuatan arang kompos di beberapa lokasi di Jawa Barat, Jambi, dan Jawa Tengah. Pengembangan dan percontohan pembuatan arang kompos bersama masyarakat terus dilakukan, sekaligus membina atau membimbing masyarakat jika menghadapi masalah dan kesulitan dalam hal membuat atau mengaplikasikannya.
Pentingnya arang dan arang kompos sebagai suplai bahan organik tanah
Kenyataan menunjukkan bahwa merosotnya kualitas dan kuantitas sumber daya akibat pemanfaatan yang melampaui batas mengakibatkan kerusakan sumberdaya yang tidak dapat dihindari. Kenyataan juga menunjukkan bahwa program rehabilitasi kerusakan lahan yang masih meninggalkan lahan kritis seluas 7.269.700 ha yang harus dihijaukan, serta hutan seluas 5.830.200 ha yang masih harus dihutankan kembali. Di sektor pertanian gejala penurunan produksi padi akibat pemberian pupuk kimia/anorganik secara intensif telah terbukti. Akibat pemberian pupuk kimia secara intensif selama 25 musim tanam ternyata diikuti oleh penurunan produksi padi jenis IR 36 (Martodiresi dan Suryanto, 2001). Keadaan ini ternyata diakibatkan oleh menurunnya kandungan bahan organik tanah dari musim ke musim yang tak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia NPK misalnya. Akibatnya kemampuan tanaman membentuk anakan menurun. Inilah yang menjadi penyebab utama menurunnya produksi padi. Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan stabilitas bahan organik tanah bagi kelestarian produktivitas pertanian dan kehutanan. Sebab bahan organik tanah bukan hanya berfungsi sebagai penyuplai hara, tetapi juga berguna untuk menjaga kehidupan biologis di dalam tanah.
Kenyataan juga membuktikan bahwa efisiensi pupuk kimia lebih rendah. Tanaman di lahan kering di daerah tropis kehilangan sampai 40-50 % N yang diberikan, padi sawah kehilangan N kurang dari 60-70 %. Bila kondisi kurang mendukung, misalnya tingginya curah hujan, musim kemarau yang panjang, tingginya erosi tanah, serta rendahnya bahan organik tanah, maka efisiensinya bisa lebih rendah lagi (FAO, 1990 dalam Reijntjes dkk. 1999).
Kenyataan juga menunjukkan bahwa pupuk kimia ini bisa mengganggu kehidupan dan keseimbangan tanah, meningkatkan dekomposisi bahan organik, yang kemudian menyebabkan degradasi struktur tanah, kerentanan yang lebih tinggi terhadap kekeringan,sehingga produktivitas rendah. Aplikasi yang tidak seimbang dari pupuk mineral N yang menyebabkan pengasaman dan menurunkan pH tanah serta ketersediaan hara P bagi tanaman. Penggunaan pupuk kimia NPK yang terus menerus menyebabkan penipisan unsur-unsur mikro seperti seng, besi, tembaga, mangan, magnesium, molybdenum, boron, yang bisa mempengaruhi tanaman, hewan, dan kesehatan manusia. (Sharma, 1985; Tandon, 1990 dalam Reijntjes dkk. 1999).
Kenyataan lingkungan global menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia di negara maju dan negara berkembang memberikan andil pada resiko global yang muncul dari pelepasan Nitrogen oksida (N2O) pada atmosfir dan lapisan di atasnya. Pada lapisan stratosfir, N2O akan menipiskan lapisan ozon dan dengan menyerap gelombang sinar infra merah tertentu, meningkatkan suhu global (efek rumah kaca) dan mengganggu kestabilan iklim. Hal ini bisa mengakibatkan perubahan pola, tingkat dan resiko produksi pertanian. Meningkatnya permukaan air laut akan membawa konsekuensi besar bagi daerah delta yang rendah dan muara. Mengingat bahaya ini, larangan penggunaan pupuk kimia di seluruh dunia tak bisa dikesampingkan lagi untuk masa datang (Conway dan Pretty, 1988, 1988 dalam Reijntjes dkk. 1999)
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, perlu upaya yang lebih besar untuk mempromosikan penggunaan pupuk organik yang lebih efisien serta ramah lingkungan. Apalagi akhir-akhir ini meningkatnya kecenderungan masyarakat terhadap produk-produk yang berasal dari budidaya organik, karena produknya lebih bersih dan bebas dari bahan-bahan kimia anorganik, sehingga cukup aman dan sehat untuk dikonsumsi. Penggunaan sumber-sumber pengganti N seperti, limbah biomassa misalnya : sampah tanaman, pupuk hijau, pupuk kandang, penanaman leguminosa secara bergantian dan sebagai pohon pelindung, alga biru-hijau dan bakteri pengikat N pada sawah dan hutan seperti rhizobium dan mikoriza merupakan alternatif. Di sektor kehutanan limbah biomassa cukup potensial, misalnya limbah pemanenan, serasah tanaman (dedaunan segar atau kering), serta limbah industri pengolahan kayu diantaranya serbuk gergaji.
Arang kompos merupakan salah satu produk bahan organik yang lebih mengutamakan pada kelestarian lingkungan. Karena memanfaatkan limbah serbuk gergaji, serasah hutan, ranting, cabang/dahan yang tertinggal sewaktu pemanenan. Dengan sedikit input teknologi maka limbah-limbah tersebut dapat dibuat menjadi bahan organik yang banyak manfaatnya. Dampak yang akan diperoleh meningkatnya produksi dan produktivitas tanah, menambah pendapatan keluarga, dan akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat
Aplikasi arang dan arang kompos dalam menunjang program CDM forestry
CDM (Clean Development Mechanism) adalah salah satu mekanisme di bawah Kyoto Protocol sebagai bagian dari UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change/Konvensi Perubahan Iklim) yang maksudnya untuk membantu negara berkembang menuju pembangunan berkelanjutan dan kontribusinya terhadap pencapaian tujuan konvensi perubahan iklim, serta membantu negara maju/industri memenuhi kewajibannya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Salah satu butir dari hasil rumusan lokakarya LULUCF November tahun 2000, adalah aspek saintifik yang berkaitan dengan CDM perlu dikembangkan dan ditindak lanjuti (Anonimus, 2000).
Kaitan pembuatan dan aplikasi arang kompos dalam menunjang program CDM adalah, karena : (1) dengan memanfaatkan arang sebagai sumber karbon, artinya dapat mencegah peningkatan pelepasan jumlah karbon ke atmosfir atau karbon akan tersimpan dalam batas waktu tertentu dalam arang di dalam tanah; (2) arang sebagai sumber karbon di dalam tanah dapat merangsang perkembangan mikroorganisme tanah, sehingga dapat membangun kondisi biologis tanah, meningkatkan pH tanah, memperbaiki kondisi fisik dan kimia tanah, sehingga meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Meningkatnya pertumbuhan tanaman hutan memperbesar jumlah sink atau rosot CO2 dan selanjutnya akan dicapai net-source penyerapan > dari emisi.
EVALUASI PENGGUNAAN ARANG DAN ARANG KOMPOS
A. Teknik Penggunaan Arang Dan Arang Aktif Sebagai PKT (Pembangun Kesuburan Tanah (Soil Conditioning) Pada Tanaman
Penelitian diawali dengan menggunakan dua jenis arang dan arang aktif bambu dengan hasil terbaik terutama arang aktif bambu. Namun untuk penerapan penggunaan arang aktif sebagai soil conditioning di lapangan dalam skala luas, perlu dikaji kelayakan ekonomisnya. Namun untuk selanjutnya perlu dicari teknologi yang praktis, seperti pembuatan arang aktif teknis yang mudah dan murah untuk diterapkan sehingga masyarakat desa dan sekitar hutanpun dapat melakukannya.
Pengamatan pertumbuhan beberapa tanaman Eucalyptus urophylla setelah dipindah ke lapangan (sekitar Gedung FORDA), P3THH, Bogor, dengan menggunakan limbah serbuk gergaji, sekam padi, arang bambu, dan arang serasah campuran. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semua perlakuan media yang dicampur dengan arang lebih baik dibanding kontrol. Respon terbaik terhadap pertumbuhan anakan Acacia mangium adalah pada media yang dicampur dengan arang serasah dan arang sekam padi.
dan perkecambahan Acacia mangium. Jenis arang yang digunakan berasal dari limbah serbuk gergaji, sekam padi, arang bambu, dan arang serasah campuran. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semua perlakuan media yang dicampur dengan arang lebih baik dibanding kontrol. Respon terbaik terhadap pertumbuhan anakan Acacia mangium adalah pada media yang dicampur dengan arang serasah dan arang sekam padi.
A B C D
Gambar 1. Pengaruh penambahan arang pada media terhadap perkembangan akar
E.urophylla (A), E. citriodora (B) dan A. mangium (C) dan E.urophylla di
sekitar Gd. Forda (foto dok. Lina)
Pada tahun ke tiga th.2001 dengan waktu yang terbatas (3 bulan), hanya dapat mencoba mengaplikasikan 2 jenis arang kulit kayu sebagai media tumbuh pada jenis E. urophylla dan Acacia mangium. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan arang kulit kayu tusam dan mangium sebagai campuran media semai pada anakan E.urophylla dan A. mangium berpengaruh positif terhadap pertumbuhan akar maupun pertumbuhan tanaman secara keseluruhan. Oleh sebab itu limbah kulit kayu dapat disarankan untuk dibuat arang yang kemudian digunakan sebagi PKT (Pembangun Kesuburan tanah)
Aplikasi arang sebagai PKT (pembangun kesuburan tanah) atau soil conditioning adalah salah satu upaya untuk membangun dan memperbaiki kondisi tanah sekaligus meningkatkan kesuburan tanah. Karena secara morfologis arang mempunyai pori yang efektif untuk mengikat dan menyimpan hara tanah. Hara yang dikonsumsi tanaman sesuai dengan kebutuhan, sehingga hara tanah tidak mudah tercuci. Penelitian ini bertujuan mencari alternatif pemanfaatan arang selain sebagai sumber energi yaitu sebagai PKT/soil conditioning dengan memanfaatkan limbah eksploitasi atau limbah industri pengolahan kayu sebagai bahan baku. Dengan pemberian arang sebagai PKT diharapkan dapat meningkatkan dan membangun kesuburan tanah terutama tanah yang miskin hara.
Dari tiga tahun penelitian (dari rencana lima tahunan), target penelitian yang telah dicapai sekitar 60 %. Yang belum diperoleh adalah : teknik pembuatan arang aktif teknis untuk PKT sekaligus aplikasinya, mekanisme arang dan arang aktif sebagai PKT/soil conditioning, serta petunjuk praktis teknis pembuatan dan aplikasi di lapangan, baik untuk tanaman kehutanan maupun tanaman pertanian khusus untuk agroforestry.
B. Penyempurnaan Teknologi dan Aplikasi Arang Kompos
Tahun pertama (2000)
Tabel 1. Kualitas kompos dan arang kompos
No PARAMETER KOMPOS ARANG KOMPOS 1 ARANG KOMPOS 2)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Carbon (C), %
Nitrogen (N), %
P2O5, %
CaO, %
MgO, %
K2O, %
C/N
PH
Kadar Air, %
Berat Jenis, kg/liter
Asam Humik, %
Asam Fulfik, %
KTK, meq/100 gram
48,04
2,39
1,17
0,97
0,93
1,54
20,10
6,80
56,23
0,78
1,83
0,08
37,21
46,31
2,35
1,12
0,93
0,67
1,47
19,71
7,20
55,81
0,74
2,06
0,09
36,29
53,27
2,82
1,24
1,28
0,87
1,39
18,89
7,10
56,21
0,72
2,19
0,11
33,58
Keterangan : 1) Arang kompos dengan pemacu proses OrgaDec
2) Arang kompos dengan pemacu proses EM4 + kotoran sapi
Sumber : Komarayati, dkk. (2001)
Kompos dan arang kompos yang berkualitas baik harus memenuhi persyaratan sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman. Kualitas tersebut ditentukan oleh unsur hara yang terkandung di dalamnya, terutama unsur hara makro.
Dari hasil analisis, kompos dan arang kompos serasah tusam sebagian besar telah memenuhi kriteria yang ditentukan, antara lain unsur hara makro seperti kandungan P, K dan Mg, sementara Ca masih rendah. Begitu pula kadar air, pH dan nisbah C/N serta warna kompos dan arang kompos. Dilihat dari hasil yang diperoleh, maka kompos dan arang kompos ini sudah layak untuk diaplikasikan pada tanaman, baik tanaman kehutanan maupun tanaman pertanian.
Tahun ke dua (2001)
Pada tahun ke dua dilakukan pembuatan kompos dan arang kompos di lapangan yaitu diantara tegakan tusam. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Selain itu juga dilakukan aplikasi kompos dan arang kompos hasil penelitian tahun 2000 pada media pertumbuhan tanaman tusam di rumah kaca.
Tabel 2. Kualitas kompos dan arang kompos serasah tusam
No Parameter Kompos Arang kompos
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Carbon ( C ) , %
Nitrogen (N), %
P2O5, %
CaO, %
MgO, %
K2O, %
C/N
Kadar air, %
pH
18,29
0,83
1,27
0,97
1,08
1,84
22,00
42,13
6,40
48,59
0,94
1,76
1,28
1,28
2,37
51,70
51,69
6,40
Sumber : Komarayati, dkk. (2001)
Bila dibandingkan dengan hasil penelitian tahun pertama, maka kualitas kompos dan arang kompos terutama kandungan unsur hara tidak jauh berbeda, akan tetapi nisbah C/N sangat berbeda yaitu terutama nisbah C/N arang kompos pada penelitian tahun ke dua sangat tinggi, hal ini disebabkan karena penambahan arang sangat besar hampir 60 %. Begitu pula kadar air sangat tinggi yaitu berkisar 42,13 % - 51,69 %, ini disebabkan pada saat penelitian hujan turun setiap hari sehingga keadaan tanah disekitarnya menjadi basah dan lembab.
Gambar 2. Aplikasi kompos dan arang kompos pada media pertumbuhan anakan Pinus
Rata-rata pertumbuhan anakan tusam setelah diberi kompos dan arang kompos dengan aktivator A, pada pemberian dosis kompos 30 %, pertumbuhan tinggi 1 kali lebih tinggi disbanding control, diameter 7 kali, panjang akar 1,5 kali dan berat kering 1,5 kali lebih besar. Sedangkan pada pemberian dosis arang kompos 30 %, pertumbuhan tinggi 1 kali, diameter 2 kali, panjang akar 1,5 kali dan berat kering 4,6 kali lebih besar. Tanaman tusam yang diberi arang kompos, daun lebih banyak dan berwarna hijau.
Rata-rata pertumbuhan anakan tusam setelah diberi arang kompos dengan activator B, pada pemberian dosis 30 %, pertumbuhan tinggi 1 kali lebih besar dari control, diameter 2 kali, panjang akar 2,6 kali dan berat kering 6 kali lebih besar.
Dari hasil pengamatan ini terbukti bahwa arang kompos lebih baik dari pada kompos karena adanya penambahan arang. Arang dapat memperbaiki kondisi lingkungan perakaran dan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.
Tahun ke tiga (2002)
Karena waktu yang terlalu singkat penelitian ditunda ke tahun 2003
C. Sosialisasi pembuatan arang dan arang kompos di beberapa daerah
Sejak tahun 2000, Puslitbang Teknologi Hasil Hutan telah melakukan serangkaian kegiatan sosialisasi pembuatan arang dan arang kompos di beberapa daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jambi. Namun dari beberapa daerah tersebut belum diperoleh informasi tentang kelanjutannya baik pembuatan maupun aplikasi arang dan arang kompos untuk meningkatkan produktivitas tanaman.
APLIKASI ASG (ARANG SERBUK GERGAJI) SEBAGAI PKT (PEMBANGUN KESUBURAN TANAH)
APLIKASI ASG (ARANG SERBUK GERGAJI) SEBAGAI PKT
(PEMBANGUN KESUBURAN TANAH)
Oleh :
Gusmailina, Sri Komarayati, Gustan Pari & Djeni Hendra
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan)
RINGKASAN
Meningkatnya harga pupuk kimia serta tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hara tanah baik pertanian, perkebunan ataupun kehutanan merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian. Demikian juga dengan peningkatan kualitas lingkungan hidup sudah menjadi program pembangunan nasional lintas sektoral.
Salah satu tindakan yang umum dilakukan untuk memenuhi dan memperbaiki sifat dan hara tanah yaitu dengan pemberian bahan organik, baik yang berasal dari tanaman maupun hewan. Pemberian bahan organik yang berasal dari tanaman, diantaranya limbah serbuk gergaji yang apabila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah lingkungan, seperti pengotoran lingkungan, sumber penyakit, serta akan menjadi sumber pemicu kebakaran. Serbuk gergaji belum dapat digunakan langsung sebagai sumber bahan organik terutama pada tanaman, karena butuh waktu untuk proses degradasi dari bahan komplek menjadi sederhana. Oleh sebab itu sebelum serbuk gergaji digunakan perlu perlakuan terlebih dahulu, antara lain dibuat arang serbuk gergaji (ASG), yang selanjutnya dapat digunakan langsung sebagai PKT (pembangun kesuburan tanah) atau sebagai bahan pembuat arang kompos atau arang kandang. Produk ini merupakan hasil pengembangan dari Puslitbang Teknologi Hasil Hutan) Bogor yang dapat digunakan sebagai pembangun kesuburan tanah (PKT) atau soil conditioning. Dari beberapa hasil penelitian yang diperoleh sangat baik dan mempunyai prospek untuk dikembangkan dan disosialisasikan.
Kata kunci : arang serbuk gergaji, pembangun kesuburan tanah
I. PENDAHULUAN
Kandungan bahan organik pada lahan yang dicadangkan untuk hutan tanaman umumnya rendah. Pada pemanenan kayu telah terjadi proses pengeluaran hara secara besar-besaran akibat penggunaan alat pemanenan hutan. Selain itu bahan organik pada lapisan permukaan tanah semakin terancam akibat penyiapan lahan hutan tanaman secara mekanis. Rendahnya bahan organik akan menurunkan produktivitas lahan hutan, terutama pada rotasi berikutnya. Kenyataan juga menunjukkan bahwa program rehabilitasi kerusakan lahan yang masih meninggalkan lahan kritis seluas 7.269.700 ha yang harus dihijaukan, serta hutan seluas 5.830.200 ha yang masih harus dihutankan kembali.
Di sektor pertanian, terjadi penurunan produksi padi jenis IR 36 akibat pemberian pupuk kimia/anorganik secara intensif selama 25 musim tanam (Martodiresi dan Suryanto, 2001). Hal ini akibat menurunnya kandungan bahan organik tanah dari musim ke musim yang tak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia NPK, sehingga kemampuan padi membentuk anakan menurun. Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan stabilitas bahan organik tanah bagi kelestarian produktivitas baik pertanian, perkebunan maupun kehutanan. Bahan organik tanah bukan hanya berfungsi sebagai pemasok hara, tetapi juga berguna untuk menjaga kehidupan biologis di dalam tanah. Oleh sebab itu untuk membangun kembali kesuburan lahan diperlukan suatu teknologi, salah satu teknologi yang dapat diterapkan adalah dengan penambahan arang. Hal ini dimungkinkan karena arang mempunyai pori yang efektif untuk mengikat dan menyimpan hara tanah yang akan dilepaskan secara perlahan sesuai konsumsi dan kebutuhan tanaman (slow release). Selain itu arang bersifat higroskopis sehingga hara dalam tanah tidak mudah tercuci dan lahan berada dalam keadaan siap pakai.
Serbuk gergaji merupakan limbah yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan arang. Dengan demikian pemanfaatan serbuk gergaji sebagai arang dapat ditujukan untuk : mencari peluang strategis dalam peningkatan pengelolaan hasil hutan melalui pemanfaatan kembali limbah serbuk gergaji. Arang serbuk gergaji (ASG) selain dapat digunakan sebagai sumber energi juga dapat dimanfaatkan langsung sebagai pembangun kesuburan tanah (PKT), untuk arang kompos, kompos arang kandang, atau arang kandang.
Arang kompos merupakan salah satu produk pupuk organik alternatif yang dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai masalah penurunan tingkat kesuburan tanah atau produktivitas lahan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan salah satu kebijakan Departemen Kehutanan yaituuntuk memanfaatkan kayu seoptimal mungkin (Zero waste) yang berarti bahwa semua industri pengolahan kayu baik besar maupun kecil harus mengusahakan tidak menghasilkan limbah kayu. Namun demikian kenyataan di lapangan umumnya rendemen industri penggergajian kayu masih berkisar antara 50 – 60 % yang di dalamnya sebanyak 15-20 % terdiri dari serbuk gergajian. Sampai tahun ini Indonesia memiliki 300 industri prnggergajian HPH dan 2505 unit industri kecil yang membutuhkan log sebanyak 15,6 juta m3. Dari jumlah ini berarti akan dihasilkan limbah sebanyak 7,8 juta m3 termasuk serbuk kayu gergajian sebanyak 0,78 juta m3. Untuk industri besar dan terpadu, limbah serbuk kayu gergajian sudah dimanfaatkan menjadi bentuk briket arang dan arang aktif yang dijual secara komersial. Namun untuk industri penggergajian kayu skala kecil yang jumlahnya mencapai ribuan unit dan tersebar di pedesaan, limbah ini belum dimanfaatkan secara optimal. Tulisan ini merupakan tinjauan tentang prospek ASG sebagai PKT yang didasari oleh beberapa hasil percobaan.
II. ARANG SEBAGAI PKT
A. Arang, fungsi dan manfaatnya
Arang merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung karbon yang berbentuk padat dan berpori. Sebagian besar porinya masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain yang komponennya terdiri dari abu, air, nitrogen dan sulfur. Proses pengarangan akan menentukan dan berpengaruh terhadap kualitas arang yang dihasilkan (Sudradjat dan Soleh, 1994).
Proses pembuatan arang dilakukan dengan cara memanaskan dalam suatu tempat tertutup (kiln) tanpa kontak dengan udara langsung pada suhu 400 - 600 oC. Kiln dapat terbuat dari bata, logam, atau tanah liat. Pembuatan arang pada prinsipnya hampir sama di beberapa negara (Pari dan Nurhayati, 1997). Perbedaannya hanya pada disain dan model tungku yang digunakan, namun tujuannya sama yaitu untuk mendapatkan arang yang berkualitas tinggi.
Menurut Ogawa (1989), keuntungan pemberian arang sebagai pembangun kesuburan tanah (PKT), pada tanah yaitu karena arang mempunyai kemampuan dalam memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah, sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar serta memberikan habitat yang baik untuk pertumbuhan semai tanaman. Selain dapat meningkatkan pH tanah, arang juga dapat memudahkan terjadinya pembentukan dan peningkatan jumlah spora dari ekto mupun endomikoriza. Suhardi (1998), mengemukakan bahwa pemberian arang pada tanah selain dapat membangun kesuburan tanah, berfungsi sebagai pengikat. Hal ini erat kaitannya dengan isu tentang peranan ekosistem hutan (hutan dan tanah) sebagai potensi rosot dalam penyerapan karbondioksida udara.
Di Jepang, penggunaan arang dapat meningkatkan produksi padi sampai 50 %. Selain itu penggunaan arang dapat menambah jumlah daun serta memperluas tajuk pohon tanaman hutan kota, sehingga efektif untuk mengurangi serta menurunkan polusi dan suhu udara melalui penyerapan CO2 udara (Japan Domestic Fuel Dealers Association/JDFDA, 1994).
Hasil penelitian JDFDA (1994), menunjukkan bahwa pemberian arang dan kalsium posfat secara bersamaan pada beberapa jenis tanaman kehutanan dapat meningkatkan populasi mikoriza 4 kali lebih banyak dibanding tanpa pemberian arang. Pada tanaman Pinus, secara nyata meningkatkan pembentukan cabang dan daun. Demikian juga pada tanaman bambu dapat meningkatkan jumlah anakan. Di Indonesia, Faridah (1996), menyimpulkan bahwa pemberian serbuk arang pada kadar 10 % volume media berpengaruh positif terhadap pertumbuhan awal tinggi semai kapur (Dryobalanops sp). Sunarno dan Faiz (1997) menyarankan pemberian arang sekam padi sebagai bahan utama media semai di dalam pot tray sebagai alternatif pengganti gambut.
B. Komponen hara yang terkandung pada ASG
Kandungan hara yang terdapat pada arang serbuk gergaji bergantung kepada bahan baku serbuk gergaji. Secara umum arang yang dihasilkan dari serbuk gergaji campuran mempunyai kandungan hara N berkisar antara 0,3 sampai 0,6 %; kandungan P total dan P tersedia berkisar antara 200 sampai 500 ppm dan 30 sampai 70 ppm ; kandungan hara K berkisar antara 0,9 sampai 3 meq/100 gram; kandungan hara Ca berkisar antara 1 sampai 15 meq/100 gram; dan kandungan hara Mg berkisar antara 0,9 sampai 12 meq/100 gram (Gusmailina dkk. 1999). Pemberian arang sebagai campuran media semai tanaman secara nyata meningkatkan diameter batang Eucalyptus urophylla (Gambar 1)
Cm
Gambar 1. Pengaruh pemberian beberapa jenis arang terhadap pertumbuhan diameter batang
tanaman E urophylla (Sumber: Gusmailina, dkk. 1999)
Keterangan :
ASP = arang sekam padi
ASG = arang serbuk gergaji
AB = arang bambu
Kp = kompos
K = kontrol
Aplikasi arang memberikan respon positif, baik terhadap tinggi tanaman maupun diameter batang tanaman Acacia mangium sampai umur 1,5 bulan (Gambar 2 ). Penambahan 20 % beberapa jenis arang menunjukkan bahwa media yang dicampur dengan arang serasah memberikan respon terbaik, kemudian diikuti oleh perlakuan penambahan arang sekam padi. Demikian juga perlakuan penambahan 30 %, menunjukkan bahwa pertumbuhan anakan lebih baik pada media yang dicampur dengan arang serasah. Hasil sementara aplikasi arang pada tanaman Eucalyptus urophylla di lapangan sampai umur 15 bulan menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan tinggi pada perlakuan penambahan arang bambu memberikan hasil yang lebih baik diabnding ASG (Gambar 3) Gambaran hasil secara umum hingga saat ini menunjukkan bahwa pemberian arang baik sebagai campuran media, ataupun di lapangan memiliki prospek untuk dikembangkan. Pemberian arang berpengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus urophylla. Serbuk gergaji dan serasah merupakan bahan baku yang potensial dan mempunyai prospek yang baik serta dapat disarankan sebagai arang untuk PKT
(PEMBANGUN KESUBURAN TANAH)
Oleh :
Gusmailina, Sri Komarayati, Gustan Pari & Djeni Hendra
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan)
RINGKASAN
Meningkatnya harga pupuk kimia serta tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hara tanah baik pertanian, perkebunan ataupun kehutanan merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian. Demikian juga dengan peningkatan kualitas lingkungan hidup sudah menjadi program pembangunan nasional lintas sektoral.
Salah satu tindakan yang umum dilakukan untuk memenuhi dan memperbaiki sifat dan hara tanah yaitu dengan pemberian bahan organik, baik yang berasal dari tanaman maupun hewan. Pemberian bahan organik yang berasal dari tanaman, diantaranya limbah serbuk gergaji yang apabila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah lingkungan, seperti pengotoran lingkungan, sumber penyakit, serta akan menjadi sumber pemicu kebakaran. Serbuk gergaji belum dapat digunakan langsung sebagai sumber bahan organik terutama pada tanaman, karena butuh waktu untuk proses degradasi dari bahan komplek menjadi sederhana. Oleh sebab itu sebelum serbuk gergaji digunakan perlu perlakuan terlebih dahulu, antara lain dibuat arang serbuk gergaji (ASG), yang selanjutnya dapat digunakan langsung sebagai PKT (pembangun kesuburan tanah) atau sebagai bahan pembuat arang kompos atau arang kandang. Produk ini merupakan hasil pengembangan dari Puslitbang Teknologi Hasil Hutan) Bogor yang dapat digunakan sebagai pembangun kesuburan tanah (PKT) atau soil conditioning. Dari beberapa hasil penelitian yang diperoleh sangat baik dan mempunyai prospek untuk dikembangkan dan disosialisasikan.
Kata kunci : arang serbuk gergaji, pembangun kesuburan tanah
I. PENDAHULUAN
Kandungan bahan organik pada lahan yang dicadangkan untuk hutan tanaman umumnya rendah. Pada pemanenan kayu telah terjadi proses pengeluaran hara secara besar-besaran akibat penggunaan alat pemanenan hutan. Selain itu bahan organik pada lapisan permukaan tanah semakin terancam akibat penyiapan lahan hutan tanaman secara mekanis. Rendahnya bahan organik akan menurunkan produktivitas lahan hutan, terutama pada rotasi berikutnya. Kenyataan juga menunjukkan bahwa program rehabilitasi kerusakan lahan yang masih meninggalkan lahan kritis seluas 7.269.700 ha yang harus dihijaukan, serta hutan seluas 5.830.200 ha yang masih harus dihutankan kembali.
Di sektor pertanian, terjadi penurunan produksi padi jenis IR 36 akibat pemberian pupuk kimia/anorganik secara intensif selama 25 musim tanam (Martodiresi dan Suryanto, 2001). Hal ini akibat menurunnya kandungan bahan organik tanah dari musim ke musim yang tak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia NPK, sehingga kemampuan padi membentuk anakan menurun. Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan stabilitas bahan organik tanah bagi kelestarian produktivitas baik pertanian, perkebunan maupun kehutanan. Bahan organik tanah bukan hanya berfungsi sebagai pemasok hara, tetapi juga berguna untuk menjaga kehidupan biologis di dalam tanah. Oleh sebab itu untuk membangun kembali kesuburan lahan diperlukan suatu teknologi, salah satu teknologi yang dapat diterapkan adalah dengan penambahan arang. Hal ini dimungkinkan karena arang mempunyai pori yang efektif untuk mengikat dan menyimpan hara tanah yang akan dilepaskan secara perlahan sesuai konsumsi dan kebutuhan tanaman (slow release). Selain itu arang bersifat higroskopis sehingga hara dalam tanah tidak mudah tercuci dan lahan berada dalam keadaan siap pakai.
Serbuk gergaji merupakan limbah yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan arang. Dengan demikian pemanfaatan serbuk gergaji sebagai arang dapat ditujukan untuk : mencari peluang strategis dalam peningkatan pengelolaan hasil hutan melalui pemanfaatan kembali limbah serbuk gergaji. Arang serbuk gergaji (ASG) selain dapat digunakan sebagai sumber energi juga dapat dimanfaatkan langsung sebagai pembangun kesuburan tanah (PKT), untuk arang kompos, kompos arang kandang, atau arang kandang.
Arang kompos merupakan salah satu produk pupuk organik alternatif yang dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai masalah penurunan tingkat kesuburan tanah atau produktivitas lahan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan salah satu kebijakan Departemen Kehutanan yaituuntuk memanfaatkan kayu seoptimal mungkin (Zero waste) yang berarti bahwa semua industri pengolahan kayu baik besar maupun kecil harus mengusahakan tidak menghasilkan limbah kayu. Namun demikian kenyataan di lapangan umumnya rendemen industri penggergajian kayu masih berkisar antara 50 – 60 % yang di dalamnya sebanyak 15-20 % terdiri dari serbuk gergajian. Sampai tahun ini Indonesia memiliki 300 industri prnggergajian HPH dan 2505 unit industri kecil yang membutuhkan log sebanyak 15,6 juta m3. Dari jumlah ini berarti akan dihasilkan limbah sebanyak 7,8 juta m3 termasuk serbuk kayu gergajian sebanyak 0,78 juta m3. Untuk industri besar dan terpadu, limbah serbuk kayu gergajian sudah dimanfaatkan menjadi bentuk briket arang dan arang aktif yang dijual secara komersial. Namun untuk industri penggergajian kayu skala kecil yang jumlahnya mencapai ribuan unit dan tersebar di pedesaan, limbah ini belum dimanfaatkan secara optimal. Tulisan ini merupakan tinjauan tentang prospek ASG sebagai PKT yang didasari oleh beberapa hasil percobaan.
II. ARANG SEBAGAI PKT
A. Arang, fungsi dan manfaatnya
Arang merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung karbon yang berbentuk padat dan berpori. Sebagian besar porinya masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain yang komponennya terdiri dari abu, air, nitrogen dan sulfur. Proses pengarangan akan menentukan dan berpengaruh terhadap kualitas arang yang dihasilkan (Sudradjat dan Soleh, 1994).
Proses pembuatan arang dilakukan dengan cara memanaskan dalam suatu tempat tertutup (kiln) tanpa kontak dengan udara langsung pada suhu 400 - 600 oC. Kiln dapat terbuat dari bata, logam, atau tanah liat. Pembuatan arang pada prinsipnya hampir sama di beberapa negara (Pari dan Nurhayati, 1997). Perbedaannya hanya pada disain dan model tungku yang digunakan, namun tujuannya sama yaitu untuk mendapatkan arang yang berkualitas tinggi.
Menurut Ogawa (1989), keuntungan pemberian arang sebagai pembangun kesuburan tanah (PKT), pada tanah yaitu karena arang mempunyai kemampuan dalam memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah, sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar serta memberikan habitat yang baik untuk pertumbuhan semai tanaman. Selain dapat meningkatkan pH tanah, arang juga dapat memudahkan terjadinya pembentukan dan peningkatan jumlah spora dari ekto mupun endomikoriza. Suhardi (1998), mengemukakan bahwa pemberian arang pada tanah selain dapat membangun kesuburan tanah, berfungsi sebagai pengikat. Hal ini erat kaitannya dengan isu tentang peranan ekosistem hutan (hutan dan tanah) sebagai potensi rosot dalam penyerapan karbondioksida udara.
Di Jepang, penggunaan arang dapat meningkatkan produksi padi sampai 50 %. Selain itu penggunaan arang dapat menambah jumlah daun serta memperluas tajuk pohon tanaman hutan kota, sehingga efektif untuk mengurangi serta menurunkan polusi dan suhu udara melalui penyerapan CO2 udara (Japan Domestic Fuel Dealers Association/JDFDA, 1994).
Hasil penelitian JDFDA (1994), menunjukkan bahwa pemberian arang dan kalsium posfat secara bersamaan pada beberapa jenis tanaman kehutanan dapat meningkatkan populasi mikoriza 4 kali lebih banyak dibanding tanpa pemberian arang. Pada tanaman Pinus, secara nyata meningkatkan pembentukan cabang dan daun. Demikian juga pada tanaman bambu dapat meningkatkan jumlah anakan. Di Indonesia, Faridah (1996), menyimpulkan bahwa pemberian serbuk arang pada kadar 10 % volume media berpengaruh positif terhadap pertumbuhan awal tinggi semai kapur (Dryobalanops sp). Sunarno dan Faiz (1997) menyarankan pemberian arang sekam padi sebagai bahan utama media semai di dalam pot tray sebagai alternatif pengganti gambut.
B. Komponen hara yang terkandung pada ASG
Kandungan hara yang terdapat pada arang serbuk gergaji bergantung kepada bahan baku serbuk gergaji. Secara umum arang yang dihasilkan dari serbuk gergaji campuran mempunyai kandungan hara N berkisar antara 0,3 sampai 0,6 %; kandungan P total dan P tersedia berkisar antara 200 sampai 500 ppm dan 30 sampai 70 ppm ; kandungan hara K berkisar antara 0,9 sampai 3 meq/100 gram; kandungan hara Ca berkisar antara 1 sampai 15 meq/100 gram; dan kandungan hara Mg berkisar antara 0,9 sampai 12 meq/100 gram (Gusmailina dkk. 1999). Pemberian arang sebagai campuran media semai tanaman secara nyata meningkatkan diameter batang Eucalyptus urophylla (Gambar 1)
Cm
Gambar 1. Pengaruh pemberian beberapa jenis arang terhadap pertumbuhan diameter batang
tanaman E urophylla (Sumber: Gusmailina, dkk. 1999)
Keterangan :
ASP = arang sekam padi
ASG = arang serbuk gergaji
AB = arang bambu
Kp = kompos
K = kontrol
Aplikasi arang memberikan respon positif, baik terhadap tinggi tanaman maupun diameter batang tanaman Acacia mangium sampai umur 1,5 bulan (Gambar 2 ). Penambahan 20 % beberapa jenis arang menunjukkan bahwa media yang dicampur dengan arang serasah memberikan respon terbaik, kemudian diikuti oleh perlakuan penambahan arang sekam padi. Demikian juga perlakuan penambahan 30 %, menunjukkan bahwa pertumbuhan anakan lebih baik pada media yang dicampur dengan arang serasah. Hasil sementara aplikasi arang pada tanaman Eucalyptus urophylla di lapangan sampai umur 15 bulan menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan tinggi pada perlakuan penambahan arang bambu memberikan hasil yang lebih baik diabnding ASG (Gambar 3) Gambaran hasil secara umum hingga saat ini menunjukkan bahwa pemberian arang baik sebagai campuran media, ataupun di lapangan memiliki prospek untuk dikembangkan. Pemberian arang berpengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus urophylla. Serbuk gergaji dan serasah merupakan bahan baku yang potensial dan mempunyai prospek yang baik serta dapat disarankan sebagai arang untuk PKT
GREEN ENERGY: DEVELOPMENT POTENCY OF ALTERNATIVE ENERGY
GREEN ENERGY: DEVELOPMENT POTENCY OF ALTERNATIVE ENERGY
By
Gusmailina & Han Roliadi *)
Summary
Green energy refers to the clean energies that do not pollute or add pollutants to atmospheres. This energy can be derived from water, hydrothermal, hydropower, geothermal, wind power, wastes, biomass, biofuel, and ultimately sea waves. In the future, all green energy should be incorporated in the policy decision on energy development and utilization. Therefore, these renewable or seemingly inexhaustible energies should deserve a prompt emphasize, but not regarded as alternatives.
In attempts to reduce dependency on fossil-oil fuel, the Indonesia government has issued a presidential decree No. 5 in 2006 regarding national energy policies to develop substitute energy for such fuel. Those policies put emphasize on renewable energy resources as alternative to oil (fossil) fuel. Energy consumption tends to increase along with economy rise and population growth. The limited stocks of oil/fossil fuel have necessitated a conservation of energy and concurrently development of the so-called green energies or non-fossil fuels derived from nature and renewable sources. Those energies if properly managed will be inexhaustible. Related with such, the President of Indonesia’s Republic (Mr. Susilo Bambang Yudoyono) issued a presidential decree No.1 in 2006 about the supply and uses of renewable biomass fuel (i.e. bi fuel) as one of the non-fossil energy sources. The President has also instructed central and regional authorities to take steps in accelerating the supply and uses of bio fuel. In relevant, this paper elaborates about green energies with their development potencies, derived from among others biomass, biofuels, biodiesel, and wastes through the enactment-concept of garbage to energy.
Keywords: fossil-fuel energy, green energy, biomass-based energy sources, renewable
and inexhaustible, alternatives, policies
___________________
*) Both consecutively Senior Researcher at the Center for Forest Products Research and Development, Jln. Gn. Batu No. 5, P.O.Box 182, Bogor 16001, INDONESIA
I. INTRODUCTION
Currently, the paradigm and perception about energy supply must change the course. Initially, hunting energy from the available stocks changes to the attempt of energy-farming patterns with the product as biomass-based fuels or the so-called biofuels. In other words, the entrepreneurs should change from fossil fuels to biofuels. Energy derived from fossil fuels belongs to non-renewable resources, and often suffers from environmental safety. Therefore, these fossil fuels are known as prompting air pollution. Meanwhile, the use of green energies (biofuel) reveals the most appropriate choice by considering the supporting area as well as climate, and that most of Indonesia’s population rely on agriculture, crops estate, and forestry. Development of green energy, besides dealing with energy diversification, also aims to diversify attempts in farming, agroindustries, revenue increase of farmers, and carbon (CO2) sequestration related with global-warming mitigation.
Indonesia’s current consumption of fossil-oil fuels reaches 1.3 million barrels per day, which falls short of its production, i.e. 1.0 million barrels per day, thereby inflicting a deficit that should be met through import. According to the data of Energy and Mining Resources (Anonim, 2006), the oil-reserves still left and available in Indonesia currently amount to 9 million barrels. If those reserves are consumed continuously and no new-oil-resources found, then Indonesia’s oil reserves could only last for the next two decades. This implies that in 8-10 years to come Indonesia will exhaust its oil resources. As an example, Indonesia’s oil production which reached its peak in 1977, i.e. 1.7 million barrels per day, continued the decline steadily to 1.125 million barrels per day in 2004. In another side, the domestic oil consumption tends to increase steadily, which in 2000 reached 0.95 million barrels per day then in 2003 rose up to 1.05 million barrels per day, and in 2004 decreased slightly to 1.04 million barrels per day. Shortly, Indonesia will suffer a deficit of energy which in volume increases alarmingly. The increase in oil/fossil fuel price that occurred recently will seem to recur again in the moment to come. This is also triggered by the ever declining worldwide oil-reserves. Such decline can bring about impact on the world’s oil prices, which directly or indirectly can prompt the increase of domestic oil prices.
Actually, Indonesia has potentially abundant stocks of renewable energy resources. Indonesia’s government (i.e. the Ministry of Energy and Mining Resources or MEMR) has encouraged to utilize and develop such renewable energy resources through various policies enacted in laws, state regulations, and MEMR’s decisions. Unfortunately those policies so far still can not be implemented to encourage investor in the renewable energy endeavors.
Renewable energy resources, often called as alternative energies such as water (hydro-, mini/micro hydro-power), geothermal, biomass (organic wastes), solar energy (sun), and wind power. Hydropower has been extensively used for electric generation, i.e. 14.2% (from the potential of 487.75 MW); meanwhile, utilization of other renewable energy resources is still comparatively low. Brief details about utilization of various renewable energies are as follows: hydropower, 5.1% of its potency equivalent to 75.67 GW electricity; geothermal, 4.1% of its 19.66 GW potency; biomass, 0.6% of its 49.81 GW potency; and solar as well as wind power still below a thousandth of each potencies. The low intensity in the use of renewable energy forms is really ironic, remembering that nowadays the harnessing-technologies for such have been quite advanced (for example, technology in electric generation from renewable energy sources).
Several kinds of renewable energy sources depends on time and situation (solar, wind, or water/hydro), thereby arousing difficulties in their continual use. In another matter, biomass reveals renewable energy sources with their abundant potency, and they seem inexhaustible. The potential biomass from agriculture, crops estate, and forestry in records is generated as production wastes, e.g. rice, corns, cassava, sugar-cane bagasse, coconut, oil-palm, and residues of forest harvesting, wastes of wood processing, etc. As an example, palm-oil processing generates biomass wastes amounting to 1,075 m3 per year, when converted to energy, equivalent to 516,000 tons of liquefied petroleum gases, or 666, 5 million liters of kerosene, or 5,0525 MW of electricity.
Related with the biomass-waste potency, research and development activities should strive hard for a significant breakthrough that renders renewable energy forms usable significantly. The breakthrough as such should incorporate aspects, e.g. research policies and development of utilization technologies easily applicable and turning out cheap energy.
II. POTENCY OF NON-FOSSIL ENERGY (GREEN ENERGY) IN INDONESIA
Several opinions states that green energy is assumed as clean energy that does not pollute or add pollutants to atmosphere. Such energy can be derived from water, hydrothermal, geothermal, hydropower, wind, solar, wastes, biomass, biofuel, and sea wave. In the future, green energy should be incorporated in the main policies on development and uses of energy. Therefore, those renewable energies should be chiefly emphasized, but not as alternatives.
In attempts to reduce dependency on oil/fossil fuels, Indonesia’s government has issued presidential policies no 5 in 2006 to develop alternative energies as substitute for fossil-oil fuels. Those policies put emphasize on renewable energy resources due to the ever-limited oil fuels along with the steady increase in economy and population growth. This has enforced all the related entrepreneurs to develop non-fossil fuels or the-so-called green energies derived from nature and renewable. Those renewable fuels, if properly managed, will be inexhaustible. In relevant, the President of Indonesia Republic has enacted a decree No. 1 in 2006 to seek as well as develop alternative energies, and thoroughly urged the related officials and government institutions to take significant steps in the accelerated procurement and uses of renewable energy resources, e.g. biomass-derived fuels or biofuels.
Uses of renewable energies in Indonesia can fall into three categories. The first category refers to the energies which have been developed commercially, such as biomass, geothermal, and hydropower. The second includes the energies which have been developed but still in limited scale or operation, such as solar and wind power. After all, the third pertains to the energies which have been developed as well but still in research stage, such as high and low tides of the sea.
III. BIOMASS ENERGY
This energy is actually stored in organic matters of various sorts or the so-called biomass. These biomass resources can come from crops estate, agriculture, forestry, cattle as well as poultry manures, or even urban garbage. These biomass matters are able to produce heat, serving as fuels and generating electricity. Technologies of biomass uses into energy which have been developed consist of direct burning (e.g. briquetted charcoal from wood wastes, coconut shells, oil-palm empty fruit bunches, rice husk, and other agriculture residues); and biomass conversion into fuels. Results of the latter can form as biomass gases, bio alcohol (ethanol), bio diesel, and liquefied fuel.
According to Manurung (2007), each year about 160 million tons of biomass wastes are generated from agriculture sector, and the corresponding 80 million tons from forestry sector, in all totaling 240 million tons. Those wastes, for example, cover sugarcane bagasse, rice husk, oil-palm empty fruit bunches, and many other various sorts of wastes. In fact, those 240 million tons of biomass wastes, if converted into energy, could generate heat equivalent theoretically to 60 tons of fossil-oil fuels. In the crops estate sectors such as tea industries, the biomass wastes they generate reach 5.8 million tons per year, equivalent to 2.32 million tons of fossil-oil fuels. Meanwhile, approximately 17.7 million tons of biomass wastes are released from rice mills, equivalent to 7.07 million tons of fossil-oil fuels. These figures still do not include biomass wastes generated from forestry sector. Therefore, if technologies of biomass conversion into energy are attentively and thoroughly developed, it can be calculated how much oil fuels can be saved or conserved. As an example, the drying of tea leaves inflicts an expenses of Rp. 177 thousand million, when using exclusively oil fuels (Manurung, 2007).
On the whole, Indonesia’s biomass potency that can be used for energy substitute can theoretically reach 49.81 GW of electricity equivalent. Unfortunately, from that potency, only about 0.3 GW is actually acquired for energy conversion (Sumaryono, 2007). From the wastes of consecutively agriculture, crops estate, and forestry as well as wood-based industries, the biomass that can be effectively acquired amounts to 120 million tons. Therefore, when such biomass will have been utilized by 2010, it will bring about positive impacts on attempts of substituting for oil fuels that reach 10%, and hence also economy improvement on rural area. Recently, despite still being limited, biomass has been used in particular regions in Indonesia, such Banjarmasin, Sumatera, and West Nusa Tenggara, particularly for electric generation. Such electricity is turned out through the biomass burning inside the heating kiln.
-The Role of the State-Owned Forest Enterprise on Development of Wood Biomass Energi
In order to help minimizing the impact of increase in oil-fuel price on community lives, Perum Perhutani (State-Owned Forest Enterprise) where its operational activities are surrounded by community villages (mostly poor villages), has implemented anticipation by securing its forest resources. It has become the habit of the community surrounding the forest to use wood as source of energy (firewood) for cooking and other household needs, and the usual and easiest way for them to obtain wood by taking it from the forest. Previously not too long ago, woods were still of low values. Nowadays, however, with the sky-rocketing price of oil fuels and scarcity of kerosene, the community begins to feel the importance of forest to support their lives in providing energy. Early in 2008, the State-Owned Forest Enterprise has contributed free to the community as much as 21 million ton biomass wastes as fuels, which consisted of those generating from forest-felling as well as thinning activities and sprouts/shoots (3,188,150.7 tons); and factory wastes (17,885,000 tons). The community got biomass wastes that covered tree branches and twigs at the time of forest-tree felling and sprouting-results. The wood wastes resulting from the first thinning were even distributed to the community. Stumps that left after forest-stand felling are not only useful as firewood but also consumed by community-owned handcraft industries. Enormous amount of biomass wastes was obtained from industry sectors, i.e. cayeput-leaves processing and sawmills. As much as 127,896 tons of biomass wastes were reserved for the State-Owned Forest Enterprise that present a potency utilized by community, which covered those of wood processing industry, rosin factories, cayeput oil distillation, seedlack preparation, and ylang-ylang (Anonim, 2008).
In the following are described in brief several kinds of bio-material-based energies such as bioetanol, biodiesel, buiogas, and waste-converted energies or energy from garbage. The details are forthcoming
A. Bioethanol Energy
Bioethanol energy can be used as partial substitute or overall substitute for that of oil fuels. Bioethanol can be produced from the plant biomass that has high hydrocarbon contents. The advantage of using bioethanol as fuel is it affords higher octane value than gasoline (fossil fuel) thereby neglecting the additive usage (e.g. methyl tertiary butyl ether and ethyl lead, as both commonly used in gasoline) and hence enhancing the machine performance. Another advantage is its low-gas emissions rendering it more environmentally friendly, compared to those of gasoline-run engine. Bioethanol seems worth potentially to be developed in Indonesia by considering the current vast areas of ethanol-producing biomass-plants (Anonim, 2005a; Anonim, 2005b), e.g. cassavas (1,400,000 ha), sweet potatoes (215,000 ha), corns (3,100,000 ha), sago (850,000 ha), and sugarcanes (350,000 ha).
Bioethanol presents an ethanol or alcoholic substances resulting from the fermentation on biomass matters. Bioethanol can be used as fuel added to gasoline in particular proportion forming the mixture with the so-called gasohol, which further is used to run the combustion engine. Gasohol from bioethanol-gasoline mixture with 10%:90% proportion is known as the so-called Gasohol Be-10. This gasohol, when used to run the combustion engine, affords to give off minimum emissions of carbon monoxide and hydrocarbon gases, compared to those of mere gasoline. Besides, it also affords high octane value and more environmentally friendly impacts. Therefore, the development of bioethanol can save on the country expenses brought about by gasoline import. In addition, such development can enhance agri-business sector and employment opportunity as well as added value of biomass matters (Manurung, 2007).
Development of bioethanol actually has been done extensively in Indonesia. About 23 years ago, before the State Oil Enterprise (PT Pertamina) sold biosolar B-5 and biopremium E-5, attempts to develop the so-called biomass-based energy had been developed in Indonesia. In accordance with the General Policies on Energy Aspects (GPEA) which has been implemented since 1981, those policies focused on 4 main items, i.e. intensification, diversification, conservation, and indexation. However, in the following years, the fourth item in the policies was abolished, while the other three remained in effect with the shifting based on priority values. One of the realizations in diversification item the pioneering of research and development (R & D) one form of biomass-based energy, i.e. bioethanol. In 1983, R & D on bioethanol was initiated by Research Institute for Starch Technology (RIST) situated at Sulusuhan Village, Terbanggi Besar District, Lampung Province. At that moment, cassava production in transmigration areas was abundant further processed into starch product or the so-called tapioca flour. Therefore, the RSIT conducted R & D on cassava-based bioethanol. The R & D went on intensively and extensively. After all, the bioethanol project was completely tried, tested, and evaluated in cooperation with a vehicle manufacturer.
In another aspect, one of the biomass-based or green energy source which is enormously potential and will be developed in Indonesia cam from a particular plant species, i.e. nyamplung (Callophylum inophylum). Energy stored in that plant can provide biofuel which appears to be inexhaustible so long as soil, water, and sun ray are available. The planting of this species is being performed by the Forestry District of South Kedu in Central Java. These plants can also function to protect the cost from sea abrasion in that are planted off the cost as the supplement for those of ring III. For the essential information regarding abrasion hindrance (obstacle), mangrove plant species acts as ring I, while ring II and III are assigned to consecutively ketapang laut (Casuaria equisetifolia) and nyamplung species, as described before (Witjahjono, 2008). Nyamplung grows well on the coastal regions and fruit throughout the year. The first fruiting of nyamplung trees occurs at their seven years old with production of 25-50 kg of wet seeds per tree. Nyamplung trees at 28 years can reach 20 m in height and range 20-35 cm in diameter. The planting of nyamplung trees at Forestry District of South Kedu (Central Java) was carried out on 86.9 ha area, with the number of trees reaching 10,814 stands and extending along the coastal region of Kedu Regency named Ketawang coast. Meanwhile, the Head of Analysis Field and Information Presentation at the Ministry of Forestry, i.e. Mr. Bintoro, stated that about 350 ha area along the coast at the south of Cilacap Regency has been reserved for forest areas that consisted of nyamlung, cemara laut (Terminalia catapa), and ketapang laut tree species. The cultivation of nyamplung trees nowadays has become the most prime species due to the capability of producing the so-called biofuel from their dry seeds as alternative biomass-based fuel. Therefore, the Ministry of Forestry (MOF) has asked for the community participation in managing the forest potency. For these reasons, the MOF has provided 3,000 myamplung seeds allocated for their planting on 3,000 ha area. Meanwhile, for Cilacap Regency, the MOF has allocated 148,222 tree stands of nyamplung. To infer, so long as there is a thorough intent on planting, cultivating, and processing of nyanplung species into useful products like biofuel, this speciec can become the most prime as alternative energy source.
B. Biodiesel energy
Biodiesel can function as alternative energy which is environmentally friendly, because it is derived from vegetation oil, animal-based oil, algae, or even used-frying oil (Anomim, 2008). Biodiesel can be used to generate power in the combustion engine of vehicles. However, if biodiesel is produced through large-scale operation, this can put burden on environments because the monocultur cultivation using single plant (vegetation) species can area productivity and impair eco-system balance. In addition, the drawback in the use of biodiesel or pure bioethanol requires modification on combustion engines that commonly consume fossil fuels. This is because biodiesel or ethanol can react with rubber or plastic portions in the engine. However, on the other consideration, it is the renewability characteristics of biomass-based fuels (biodiesel, bioethaboll etc) that the development of such fuels get thorough and priority emphasizes.
In relation, the plan of biodiesel development in Indonesia can signify one action program of the Common Declaration over National Entrepreneurs to deal with Poverty and Fossil-fuel Crisis through rehabilitation and reforestation on 10 million critical land areas using energy-generating plants. The declaration consider particular aspects: (1) the ever-increasing number of poverty (36.1 millions of population) that consist of those residing in towns (11.5 millions and those in villages (24.6 millions): (2) the mounting expanses of critical land areas (21.9 million ha) that consist of regular critical areas (15.3 million ha) and potentially-severe critical areas (6.6 million m3); (3) government subsidy on fossil fuels that reach 60 million kiloliters that consist of premium gasoline (20 million kiloliters), solar fuel (22 million kiloliters), kerosene (12 million kiloliters), and fuel oils (6 million kiloliters).
In total, fossil fuels (i.e. solar, kerosene, and fuel oil) that can be substituted by biodiesel. Further, if such biodiesel is produced from the seeds of fence-castor (Jatropa curcas L) plants and rough approximation is used (1 ha of the plants equivalent to 3 tons of seeds, and 1 ton of seeds able to produce 0.33 tons of biodiesel fuel), this will require 40 ha area of those plants. Related with such, the President Decree No. 5 in 2006 stated that 20 years afterwards (2025), 5% of the total demand in solar (diesel) fuels should be met from biodiesel. Further, under the estimation that the average increase in solar consumption is 6% per year, then the solar demand in 2025 will reach 128.3 million kiloliters. Therefore, in order to satisfy that President Decree, 5% of that figure that is 5% multiplied with 128.3 million kiloliters will be equal to 6.41 million kiloliters of biodiesel. Hence, such 6.41 million kiloliters of biodiesel, if met by that of fence-castor seeds, will require 641 million ha area of fence-castor plants in 20 years or 321,000 ha per year.
According to Mr. Imanuel Sutarto, the President Director of the Company named PT Eterindo, it is approximated that solar consumption in Indonesia reaches 44 million kiloliters per year. Further, the data from the Directorate General of Energy and Mine Resources stated that the industries consume 6 million kiloliters of solar per year. Further, if those industries use 20% of that figure from biodiesel, then this will require 1.2 million kiloliters of biodiesel per year. Still further, the State Electricity Company (PT PLN) consumes about 12 million kiloliters of solar per year, then if they use 20% from biodiesel, this will be equal to 2.4 million kiloliters of biodiesel per year. Meanwhile, the transportation sector consumes roughly 26 million kiloliters of solar per year, then if 2% of the figure is substituted by biodiesel, this will be equal to 520,000 kiloliters of biodiesel per year. Entirely, the total national demand of biodiesel can reach 4,120,000 kiloliters per year. Concurrently, the national capability of biodiesel production in 2006 just achieved 110,000 kiloliters per year. In 2007, the capacity increased to 200,000 kiloliters of biodiesel per year. Meanwhile, other biodiesel manufacturers would start production in 2007. In this way, the overall capacity can reach 400,000 kiloliters of biodiesel per year. It is also necessary to take thorough attention the demand of biodiesel export is quite significant reaching million tons per year, particularly to Singapore, Japan, and European countries. About biodiesel export, there are no particular marketing systems (free) so long as it follows the quality and price requirements. Meanwhile, for local biodiesel-use, it still waits for the marketing regulation from the government. Very soon, the government will release the marketing regulation of biodiesel in order to make clear its selling and distribution system to the community.
C. Biogas energy
One form of the alternative energy sources is biogas. This gas is derived from various organic wastes such as biomass garbages, human wastes, and animal (poultry and cattle) manure through anaerobic digestion (fermentation process), and the resulting gases or the so-called biogas contain potential amount of energy. This process can offer favorable chance to provide alternative energy, and therefore reduce the impact of using fossil fuels (Pambudi, 2008). Biogas entails the mixture of gases released from biomass (organic) matters through anaerobic digestion assisted by organisms (e.g. bacteria). In warm and wet condition without oxygen (or with limited oxygen), the bacteria will digest (degrade) organic matters producing biogas which mainly mainly contain flammable methane gases. The approximate composition biogas is 51-70% of methane (CH4) gas, 26-45% of carbon dioxide (CO2), 0.1% of carbon monoxide (CO), 0.5-3% of nitrogen (N2), 0.1% of oxygen (O2), and trace amount of hydrogen sulfide (H2S). The calorific value of biogas is about 8,900 kilocal per m3. The development of anaerobic digestion has been successfully employed at several applications. This process is able to convert organic wastes (e.g. industrial wastes, agriculture wastes, poultry as well as cattle manures, and municipal solid wastes or MSW) which are potentially abundant, while other attempts to utilize them into added-value products rather than biogas seem useless. In relation, the Center for Forest Products Research and Development (under the Forestry Research and Development Agency, Ministry of Forestry) in Bogor, Indonesia has pioneered the development of biogas using MSW as feed stock. As such, the process employed the so-called solid state fermentation (SST) techniques, and these activities have reached pilot-plant scale operation with the input of 1 ton feedstock per day.
D. Energy from Garbage
In Indonesia, the non-degradable organic wastes (e.g. plastics) already mixed with the biodegradable organic wastes or garbage have become serious constraints in converting those wastes into electricity energy, thereby decelerating anaerobic digestion, because the plastic wastes are difficult to degrade by organisms. Plastic contaminants also bring about difficulty in pyrolisis, gasification, and incineration, since the disintegrating temperatures for plastics are different from those of biodegradable organic materials. The improper use of operational temperatures can inflict dangerous pollutions on environments. In another case, dry organic wastes mixed with wet organic wastes can in all lower the calorific values of those wastes. It is approximated that the calorific value of Indonesia’s garbage (wastes) can only reach 1,000-2,000 to 3,000-4,000 kilocal per kg, which is much lower than that of high-value biomass (15-20 MJ per kg). According to the estimate, the price electricity energy generated from garbage sold the State Electricity Company can reach Rp. (Indonesia’s currency) 400 per KWh. Such generation technology employed in Indonesia are adopted from China. In 1998, China (i.e. Shanghai Pudong City Heat Energy) managed to electric-generator station using the energy from garbage with the capacity of 35-40 MWh. By employing the investment of 670 million Yuan (China’s currency), they can convert 1,100-1,200 tons of garbage per day. With this rough calculation, this implies that input garbage of 1 ton per day can generate electricity energy of 31.8 KWh with investment cost of US $ 2.5 million (Rp. 24 thousand million) per MWh or US $ 79,000 per ton of garbage. In this way, garbage (wastes) can become one of the valuable assets for future business. In addition to technology, economy aspects and the role of community are required to create clean urban/villages.
In Indonesia, the State Electricity Company in cooperation with the regional authority of Bandung Regency has erected garbage-based electric generator station, and this become the first pilot project in Indonesia where garbage is used as raw material or feed stock (Widodo, 2007). The erection of that electric station close the final garbage-dumping site at Babakan, Ciparay District (Bandung Regency) revealed the concerns of the State Electricity Company in the handling of garbage. Further, the garbage-based electricity station also signified the ingenuity results of Bandung Technology Institute (BTI) in implementing the garbage conversion into energy source through the use of the so-called waste-to-energy (WTE) concept. According to the Head of the Center for Industrial Engineering at BTI, i.e. Dr. Ir. Ari Darmawan Pasek, with the conditions of the final garbage-dumping site at Babakan to handle 200 tons of garbage per day, then the garbage-based electricity station affords to generate electricity of 300-500 KW which is approximately adequate to provide electricity for about 500 houses and for daily operation activities of the electricity station itself. Further, it is stated that the existing garbage in Bandung affords the calorific value of 1,500-2,500 kilocal per kg with 25% efficiency in electricity conversion. The electricity energy generated from the garbage can reach 18-30 KW per day. Another advantage acquired from the garbage conversion is that it can mitigate greenhouse gas emission as much as 120,000 tons of CO2 per year and reduce residues from garbage processing about 2-3%.
IV. STATE PROGRAM TO ACHIEVE 2,000 ENERGY-SUFFICIENT VILLAGES
Energy-sufficient villages imply the villages that provide energy and use it for themselves. Therefore, this will afford job opportunity, reduce poverty, and offer productive activities. Energy-sufficient villages can also signify a model in renewable-energy uses. Those comprise two kinds energy sources, i.e. the villages which develop energy from non-biomass sources, such as micro hydropower, solar energy, and biogas; and the villages that use biomass-based energy, e.g. biofuel. The Minister of Energy and Mining Resources (EMR) stated that the Indonesia’s government under the President Sosilo Bambang Yudoyone’s rule (2004-2009) targets to achieve 2,000 energy-sufficient villages (Yusdiantoro, 2007). Those attempts are based on the President speech in the limited meeting-assembly that the number of energy-sufficient villages be increased from 140 in 2007 to 200 villages in 2008, and ultimately to 2,000 villages in 2009. For latest case, the details are 1,000 villages should develop non-biomass energy sources, while the 1,000 use biomass-based energy sources. The EMR Minister also emphasized that the energy-sufficient villages do not imply as those that lag behind; instead, the villages expectedly can be self-sufficient in energy needs and sell the energy excess to other parties. The intent of developing energy-sufficient villages is among others reducing poverty level and concurrently providing job opportunity as well as substituting for fossil-oil fuel.
As of this occasion, there are 100 energy-sufficient villages due to the efforts by EMR Ministry, Agriculture Ministry, Man Power and Transmigration Ministry, and the State Minister of Less-Developed Villages, State-Owned Enterprises, and Sea-Related Ministry. The accounts of those villages are 81 regencies that use non-biomass fuel energy and 40 energy-sufficient villages that develop biomass-based energy sources.
V. CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS
Research and Development should strive for an effective breakthrough that render green and renewable energy sources significantly usable. Those breakthroughs should incorporate research policies, development and implementation of technology for renewable energy sources which are easily applicable and cheap in price. Biomass-based energy sources are different from those of fossil-oil fuel, e.g. renewable, not polluting environments, secured in continuity, and able to drive economy of the community. This situation renders the biomass-based energy sources quite relevant and urgently realized for their development. Consequently, the biomass-based energy sources deserve thorough attention and emphasizes.
In addition, the development of green energy from the renewable biomass-based sources which is immediately implemented can bring about many expectations for farmers as well as overcome the abundantly generated organic wastes through the zero-waste attempt. In this way, conversion of energy from biomass wastes can run well, and energy supply more secured as well as cheap in price. Therefore, consumption of fossil-oil fuel is effectively reduced, thereby mitigating emissions. Besides, strong motivation and enforcement by the government is urgently needed to realize the development of biomass-based energy sources. Conversely, without clear political supports, whatever development technology for such will run into difficulty. Therefore, it is necessary to improve the government vision regarding paradigm of technology development in Indonesia which is rich in natural resources and concurrently prediction on environment impacts.
LITERTURES CITED
Anonim. 2005a. Bioetanol as alternative for fossil-oil fuel, which is competitive. February 14, 2005, pg. 10. Kompas Newpaper, Jakarta (Title and Text in Indonesian).
Anonim. 2005b. New and renewable energi. October 24, 2005, pg. 35. Kompas Newpaper, Jakarta (Title and Text in Indonesian).
Anonim. 2008. Harvesting vegetation-biomass-based fuels from the sea. September 5, 2008, pg. 14. Kompas Newpaper, Jakarta (Title and Text in Indonesian).
Anonimus. 2007. PLTS : Pembangkit Listrik Tenaga Sampah rekayasa ITB siap operasi tahun 2008. Majalah Profesi. Forum dinamika sain dan teknologi. Kamis 23 Agustus 2007.
Anonimus. 2008. Dampak kenaikan harga BBM, Perhutani bantu masyarakat melalui energi biomassa. Humas Perum Perhutani. Warta Perhutani. Senin, 09 Juni 2008
Daugherty E.C, 2001, Biomass Energy Systems Efficiency:Analyzed through Life Cycle Assessment, Lund Univesity.
Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2004, Potensi energi terbaharukan di Indonesia, Jakarta
Gatot Irawan & Khomarul Hidayat. 2004. Prospek Biodiesel Cerah.
Instruksi Presiden, Instruksi Preiden No 1 tahun 2006 tertanggal 25 januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels), sebagai energi alternative, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 2006, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, Jakarta
Purnomo Yusgiantoro. 2007. Pemerintah Targetkan 2.000 Desa Mandiri Energi. Pidato Presiden. Antara News. 14/02/07 20:3i. Jakarta
Pambudi. A. 2008. Pemanfaatan Biogas Sebagai Energi Alternatif. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Tim Nasional Pengembangan BBN, 2007, BBN, Bahan Bakar Alternatif dari Tumbuhan Sebagai Pengganti Minyak Bumi
Wahono Sumaryono .Deputi bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT
Widodo Eddie. 2007. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Mulai Dibangun. Wawancara eksklusif Tempo interaktif dengan Direktur Utama PLN Eddie Widiono. Jum'at, 28 September 2007.
By
Gusmailina & Han Roliadi *)
Summary
Green energy refers to the clean energies that do not pollute or add pollutants to atmospheres. This energy can be derived from water, hydrothermal, hydropower, geothermal, wind power, wastes, biomass, biofuel, and ultimately sea waves. In the future, all green energy should be incorporated in the policy decision on energy development and utilization. Therefore, these renewable or seemingly inexhaustible energies should deserve a prompt emphasize, but not regarded as alternatives.
In attempts to reduce dependency on fossil-oil fuel, the Indonesia government has issued a presidential decree No. 5 in 2006 regarding national energy policies to develop substitute energy for such fuel. Those policies put emphasize on renewable energy resources as alternative to oil (fossil) fuel. Energy consumption tends to increase along with economy rise and population growth. The limited stocks of oil/fossil fuel have necessitated a conservation of energy and concurrently development of the so-called green energies or non-fossil fuels derived from nature and renewable sources. Those energies if properly managed will be inexhaustible. Related with such, the President of Indonesia’s Republic (Mr. Susilo Bambang Yudoyono) issued a presidential decree No.1 in 2006 about the supply and uses of renewable biomass fuel (i.e. bi fuel) as one of the non-fossil energy sources. The President has also instructed central and regional authorities to take steps in accelerating the supply and uses of bio fuel. In relevant, this paper elaborates about green energies with their development potencies, derived from among others biomass, biofuels, biodiesel, and wastes through the enactment-concept of garbage to energy.
Keywords: fossil-fuel energy, green energy, biomass-based energy sources, renewable
and inexhaustible, alternatives, policies
___________________
*) Both consecutively Senior Researcher at the Center for Forest Products Research and Development, Jln. Gn. Batu No. 5, P.O.Box 182, Bogor 16001, INDONESIA
I. INTRODUCTION
Currently, the paradigm and perception about energy supply must change the course. Initially, hunting energy from the available stocks changes to the attempt of energy-farming patterns with the product as biomass-based fuels or the so-called biofuels. In other words, the entrepreneurs should change from fossil fuels to biofuels. Energy derived from fossil fuels belongs to non-renewable resources, and often suffers from environmental safety. Therefore, these fossil fuels are known as prompting air pollution. Meanwhile, the use of green energies (biofuel) reveals the most appropriate choice by considering the supporting area as well as climate, and that most of Indonesia’s population rely on agriculture, crops estate, and forestry. Development of green energy, besides dealing with energy diversification, also aims to diversify attempts in farming, agroindustries, revenue increase of farmers, and carbon (CO2) sequestration related with global-warming mitigation.
Indonesia’s current consumption of fossil-oil fuels reaches 1.3 million barrels per day, which falls short of its production, i.e. 1.0 million barrels per day, thereby inflicting a deficit that should be met through import. According to the data of Energy and Mining Resources (Anonim, 2006), the oil-reserves still left and available in Indonesia currently amount to 9 million barrels. If those reserves are consumed continuously and no new-oil-resources found, then Indonesia’s oil reserves could only last for the next two decades. This implies that in 8-10 years to come Indonesia will exhaust its oil resources. As an example, Indonesia’s oil production which reached its peak in 1977, i.e. 1.7 million barrels per day, continued the decline steadily to 1.125 million barrels per day in 2004. In another side, the domestic oil consumption tends to increase steadily, which in 2000 reached 0.95 million barrels per day then in 2003 rose up to 1.05 million barrels per day, and in 2004 decreased slightly to 1.04 million barrels per day. Shortly, Indonesia will suffer a deficit of energy which in volume increases alarmingly. The increase in oil/fossil fuel price that occurred recently will seem to recur again in the moment to come. This is also triggered by the ever declining worldwide oil-reserves. Such decline can bring about impact on the world’s oil prices, which directly or indirectly can prompt the increase of domestic oil prices.
Actually, Indonesia has potentially abundant stocks of renewable energy resources. Indonesia’s government (i.e. the Ministry of Energy and Mining Resources or MEMR) has encouraged to utilize and develop such renewable energy resources through various policies enacted in laws, state regulations, and MEMR’s decisions. Unfortunately those policies so far still can not be implemented to encourage investor in the renewable energy endeavors.
Renewable energy resources, often called as alternative energies such as water (hydro-, mini/micro hydro-power), geothermal, biomass (organic wastes), solar energy (sun), and wind power. Hydropower has been extensively used for electric generation, i.e. 14.2% (from the potential of 487.75 MW); meanwhile, utilization of other renewable energy resources is still comparatively low. Brief details about utilization of various renewable energies are as follows: hydropower, 5.1% of its potency equivalent to 75.67 GW electricity; geothermal, 4.1% of its 19.66 GW potency; biomass, 0.6% of its 49.81 GW potency; and solar as well as wind power still below a thousandth of each potencies. The low intensity in the use of renewable energy forms is really ironic, remembering that nowadays the harnessing-technologies for such have been quite advanced (for example, technology in electric generation from renewable energy sources).
Several kinds of renewable energy sources depends on time and situation (solar, wind, or water/hydro), thereby arousing difficulties in their continual use. In another matter, biomass reveals renewable energy sources with their abundant potency, and they seem inexhaustible. The potential biomass from agriculture, crops estate, and forestry in records is generated as production wastes, e.g. rice, corns, cassava, sugar-cane bagasse, coconut, oil-palm, and residues of forest harvesting, wastes of wood processing, etc. As an example, palm-oil processing generates biomass wastes amounting to 1,075 m3 per year, when converted to energy, equivalent to 516,000 tons of liquefied petroleum gases, or 666, 5 million liters of kerosene, or 5,0525 MW of electricity.
Related with the biomass-waste potency, research and development activities should strive hard for a significant breakthrough that renders renewable energy forms usable significantly. The breakthrough as such should incorporate aspects, e.g. research policies and development of utilization technologies easily applicable and turning out cheap energy.
II. POTENCY OF NON-FOSSIL ENERGY (GREEN ENERGY) IN INDONESIA
Several opinions states that green energy is assumed as clean energy that does not pollute or add pollutants to atmosphere. Such energy can be derived from water, hydrothermal, geothermal, hydropower, wind, solar, wastes, biomass, biofuel, and sea wave. In the future, green energy should be incorporated in the main policies on development and uses of energy. Therefore, those renewable energies should be chiefly emphasized, but not as alternatives.
In attempts to reduce dependency on oil/fossil fuels, Indonesia’s government has issued presidential policies no 5 in 2006 to develop alternative energies as substitute for fossil-oil fuels. Those policies put emphasize on renewable energy resources due to the ever-limited oil fuels along with the steady increase in economy and population growth. This has enforced all the related entrepreneurs to develop non-fossil fuels or the-so-called green energies derived from nature and renewable. Those renewable fuels, if properly managed, will be inexhaustible. In relevant, the President of Indonesia Republic has enacted a decree No. 1 in 2006 to seek as well as develop alternative energies, and thoroughly urged the related officials and government institutions to take significant steps in the accelerated procurement and uses of renewable energy resources, e.g. biomass-derived fuels or biofuels.
Uses of renewable energies in Indonesia can fall into three categories. The first category refers to the energies which have been developed commercially, such as biomass, geothermal, and hydropower. The second includes the energies which have been developed but still in limited scale or operation, such as solar and wind power. After all, the third pertains to the energies which have been developed as well but still in research stage, such as high and low tides of the sea.
III. BIOMASS ENERGY
This energy is actually stored in organic matters of various sorts or the so-called biomass. These biomass resources can come from crops estate, agriculture, forestry, cattle as well as poultry manures, or even urban garbage. These biomass matters are able to produce heat, serving as fuels and generating electricity. Technologies of biomass uses into energy which have been developed consist of direct burning (e.g. briquetted charcoal from wood wastes, coconut shells, oil-palm empty fruit bunches, rice husk, and other agriculture residues); and biomass conversion into fuels. Results of the latter can form as biomass gases, bio alcohol (ethanol), bio diesel, and liquefied fuel.
According to Manurung (2007), each year about 160 million tons of biomass wastes are generated from agriculture sector, and the corresponding 80 million tons from forestry sector, in all totaling 240 million tons. Those wastes, for example, cover sugarcane bagasse, rice husk, oil-palm empty fruit bunches, and many other various sorts of wastes. In fact, those 240 million tons of biomass wastes, if converted into energy, could generate heat equivalent theoretically to 60 tons of fossil-oil fuels. In the crops estate sectors such as tea industries, the biomass wastes they generate reach 5.8 million tons per year, equivalent to 2.32 million tons of fossil-oil fuels. Meanwhile, approximately 17.7 million tons of biomass wastes are released from rice mills, equivalent to 7.07 million tons of fossil-oil fuels. These figures still do not include biomass wastes generated from forestry sector. Therefore, if technologies of biomass conversion into energy are attentively and thoroughly developed, it can be calculated how much oil fuels can be saved or conserved. As an example, the drying of tea leaves inflicts an expenses of Rp. 177 thousand million, when using exclusively oil fuels (Manurung, 2007).
On the whole, Indonesia’s biomass potency that can be used for energy substitute can theoretically reach 49.81 GW of electricity equivalent. Unfortunately, from that potency, only about 0.3 GW is actually acquired for energy conversion (Sumaryono, 2007). From the wastes of consecutively agriculture, crops estate, and forestry as well as wood-based industries, the biomass that can be effectively acquired amounts to 120 million tons. Therefore, when such biomass will have been utilized by 2010, it will bring about positive impacts on attempts of substituting for oil fuels that reach 10%, and hence also economy improvement on rural area. Recently, despite still being limited, biomass has been used in particular regions in Indonesia, such Banjarmasin, Sumatera, and West Nusa Tenggara, particularly for electric generation. Such electricity is turned out through the biomass burning inside the heating kiln.
-The Role of the State-Owned Forest Enterprise on Development of Wood Biomass Energi
In order to help minimizing the impact of increase in oil-fuel price on community lives, Perum Perhutani (State-Owned Forest Enterprise) where its operational activities are surrounded by community villages (mostly poor villages), has implemented anticipation by securing its forest resources. It has become the habit of the community surrounding the forest to use wood as source of energy (firewood) for cooking and other household needs, and the usual and easiest way for them to obtain wood by taking it from the forest. Previously not too long ago, woods were still of low values. Nowadays, however, with the sky-rocketing price of oil fuels and scarcity of kerosene, the community begins to feel the importance of forest to support their lives in providing energy. Early in 2008, the State-Owned Forest Enterprise has contributed free to the community as much as 21 million ton biomass wastes as fuels, which consisted of those generating from forest-felling as well as thinning activities and sprouts/shoots (3,188,150.7 tons); and factory wastes (17,885,000 tons). The community got biomass wastes that covered tree branches and twigs at the time of forest-tree felling and sprouting-results. The wood wastes resulting from the first thinning were even distributed to the community. Stumps that left after forest-stand felling are not only useful as firewood but also consumed by community-owned handcraft industries. Enormous amount of biomass wastes was obtained from industry sectors, i.e. cayeput-leaves processing and sawmills. As much as 127,896 tons of biomass wastes were reserved for the State-Owned Forest Enterprise that present a potency utilized by community, which covered those of wood processing industry, rosin factories, cayeput oil distillation, seedlack preparation, and ylang-ylang (Anonim, 2008).
In the following are described in brief several kinds of bio-material-based energies such as bioetanol, biodiesel, buiogas, and waste-converted energies or energy from garbage. The details are forthcoming
A. Bioethanol Energy
Bioethanol energy can be used as partial substitute or overall substitute for that of oil fuels. Bioethanol can be produced from the plant biomass that has high hydrocarbon contents. The advantage of using bioethanol as fuel is it affords higher octane value than gasoline (fossil fuel) thereby neglecting the additive usage (e.g. methyl tertiary butyl ether and ethyl lead, as both commonly used in gasoline) and hence enhancing the machine performance. Another advantage is its low-gas emissions rendering it more environmentally friendly, compared to those of gasoline-run engine. Bioethanol seems worth potentially to be developed in Indonesia by considering the current vast areas of ethanol-producing biomass-plants (Anonim, 2005a; Anonim, 2005b), e.g. cassavas (1,400,000 ha), sweet potatoes (215,000 ha), corns (3,100,000 ha), sago (850,000 ha), and sugarcanes (350,000 ha).
Bioethanol presents an ethanol or alcoholic substances resulting from the fermentation on biomass matters. Bioethanol can be used as fuel added to gasoline in particular proportion forming the mixture with the so-called gasohol, which further is used to run the combustion engine. Gasohol from bioethanol-gasoline mixture with 10%:90% proportion is known as the so-called Gasohol Be-10. This gasohol, when used to run the combustion engine, affords to give off minimum emissions of carbon monoxide and hydrocarbon gases, compared to those of mere gasoline. Besides, it also affords high octane value and more environmentally friendly impacts. Therefore, the development of bioethanol can save on the country expenses brought about by gasoline import. In addition, such development can enhance agri-business sector and employment opportunity as well as added value of biomass matters (Manurung, 2007).
Development of bioethanol actually has been done extensively in Indonesia. About 23 years ago, before the State Oil Enterprise (PT Pertamina) sold biosolar B-5 and biopremium E-5, attempts to develop the so-called biomass-based energy had been developed in Indonesia. In accordance with the General Policies on Energy Aspects (GPEA) which has been implemented since 1981, those policies focused on 4 main items, i.e. intensification, diversification, conservation, and indexation. However, in the following years, the fourth item in the policies was abolished, while the other three remained in effect with the shifting based on priority values. One of the realizations in diversification item the pioneering of research and development (R & D) one form of biomass-based energy, i.e. bioethanol. In 1983, R & D on bioethanol was initiated by Research Institute for Starch Technology (RIST) situated at Sulusuhan Village, Terbanggi Besar District, Lampung Province. At that moment, cassava production in transmigration areas was abundant further processed into starch product or the so-called tapioca flour. Therefore, the RSIT conducted R & D on cassava-based bioethanol. The R & D went on intensively and extensively. After all, the bioethanol project was completely tried, tested, and evaluated in cooperation with a vehicle manufacturer.
In another aspect, one of the biomass-based or green energy source which is enormously potential and will be developed in Indonesia cam from a particular plant species, i.e. nyamplung (Callophylum inophylum). Energy stored in that plant can provide biofuel which appears to be inexhaustible so long as soil, water, and sun ray are available. The planting of this species is being performed by the Forestry District of South Kedu in Central Java. These plants can also function to protect the cost from sea abrasion in that are planted off the cost as the supplement for those of ring III. For the essential information regarding abrasion hindrance (obstacle), mangrove plant species acts as ring I, while ring II and III are assigned to consecutively ketapang laut (Casuaria equisetifolia) and nyamplung species, as described before (Witjahjono, 2008). Nyamplung grows well on the coastal regions and fruit throughout the year. The first fruiting of nyamplung trees occurs at their seven years old with production of 25-50 kg of wet seeds per tree. Nyamplung trees at 28 years can reach 20 m in height and range 20-35 cm in diameter. The planting of nyamplung trees at Forestry District of South Kedu (Central Java) was carried out on 86.9 ha area, with the number of trees reaching 10,814 stands and extending along the coastal region of Kedu Regency named Ketawang coast. Meanwhile, the Head of Analysis Field and Information Presentation at the Ministry of Forestry, i.e. Mr. Bintoro, stated that about 350 ha area along the coast at the south of Cilacap Regency has been reserved for forest areas that consisted of nyamlung, cemara laut (Terminalia catapa), and ketapang laut tree species. The cultivation of nyamplung trees nowadays has become the most prime species due to the capability of producing the so-called biofuel from their dry seeds as alternative biomass-based fuel. Therefore, the Ministry of Forestry (MOF) has asked for the community participation in managing the forest potency. For these reasons, the MOF has provided 3,000 myamplung seeds allocated for their planting on 3,000 ha area. Meanwhile, for Cilacap Regency, the MOF has allocated 148,222 tree stands of nyamplung. To infer, so long as there is a thorough intent on planting, cultivating, and processing of nyanplung species into useful products like biofuel, this speciec can become the most prime as alternative energy source.
B. Biodiesel energy
Biodiesel can function as alternative energy which is environmentally friendly, because it is derived from vegetation oil, animal-based oil, algae, or even used-frying oil (Anomim, 2008). Biodiesel can be used to generate power in the combustion engine of vehicles. However, if biodiesel is produced through large-scale operation, this can put burden on environments because the monocultur cultivation using single plant (vegetation) species can area productivity and impair eco-system balance. In addition, the drawback in the use of biodiesel or pure bioethanol requires modification on combustion engines that commonly consume fossil fuels. This is because biodiesel or ethanol can react with rubber or plastic portions in the engine. However, on the other consideration, it is the renewability characteristics of biomass-based fuels (biodiesel, bioethaboll etc) that the development of such fuels get thorough and priority emphasizes.
In relation, the plan of biodiesel development in Indonesia can signify one action program of the Common Declaration over National Entrepreneurs to deal with Poverty and Fossil-fuel Crisis through rehabilitation and reforestation on 10 million critical land areas using energy-generating plants. The declaration consider particular aspects: (1) the ever-increasing number of poverty (36.1 millions of population) that consist of those residing in towns (11.5 millions and those in villages (24.6 millions): (2) the mounting expanses of critical land areas (21.9 million ha) that consist of regular critical areas (15.3 million ha) and potentially-severe critical areas (6.6 million m3); (3) government subsidy on fossil fuels that reach 60 million kiloliters that consist of premium gasoline (20 million kiloliters), solar fuel (22 million kiloliters), kerosene (12 million kiloliters), and fuel oils (6 million kiloliters).
In total, fossil fuels (i.e. solar, kerosene, and fuel oil) that can be substituted by biodiesel. Further, if such biodiesel is produced from the seeds of fence-castor (Jatropa curcas L) plants and rough approximation is used (1 ha of the plants equivalent to 3 tons of seeds, and 1 ton of seeds able to produce 0.33 tons of biodiesel fuel), this will require 40 ha area of those plants. Related with such, the President Decree No. 5 in 2006 stated that 20 years afterwards (2025), 5% of the total demand in solar (diesel) fuels should be met from biodiesel. Further, under the estimation that the average increase in solar consumption is 6% per year, then the solar demand in 2025 will reach 128.3 million kiloliters. Therefore, in order to satisfy that President Decree, 5% of that figure that is 5% multiplied with 128.3 million kiloliters will be equal to 6.41 million kiloliters of biodiesel. Hence, such 6.41 million kiloliters of biodiesel, if met by that of fence-castor seeds, will require 641 million ha area of fence-castor plants in 20 years or 321,000 ha per year.
According to Mr. Imanuel Sutarto, the President Director of the Company named PT Eterindo, it is approximated that solar consumption in Indonesia reaches 44 million kiloliters per year. Further, the data from the Directorate General of Energy and Mine Resources stated that the industries consume 6 million kiloliters of solar per year. Further, if those industries use 20% of that figure from biodiesel, then this will require 1.2 million kiloliters of biodiesel per year. Still further, the State Electricity Company (PT PLN) consumes about 12 million kiloliters of solar per year, then if they use 20% from biodiesel, this will be equal to 2.4 million kiloliters of biodiesel per year. Meanwhile, the transportation sector consumes roughly 26 million kiloliters of solar per year, then if 2% of the figure is substituted by biodiesel, this will be equal to 520,000 kiloliters of biodiesel per year. Entirely, the total national demand of biodiesel can reach 4,120,000 kiloliters per year. Concurrently, the national capability of biodiesel production in 2006 just achieved 110,000 kiloliters per year. In 2007, the capacity increased to 200,000 kiloliters of biodiesel per year. Meanwhile, other biodiesel manufacturers would start production in 2007. In this way, the overall capacity can reach 400,000 kiloliters of biodiesel per year. It is also necessary to take thorough attention the demand of biodiesel export is quite significant reaching million tons per year, particularly to Singapore, Japan, and European countries. About biodiesel export, there are no particular marketing systems (free) so long as it follows the quality and price requirements. Meanwhile, for local biodiesel-use, it still waits for the marketing regulation from the government. Very soon, the government will release the marketing regulation of biodiesel in order to make clear its selling and distribution system to the community.
C. Biogas energy
One form of the alternative energy sources is biogas. This gas is derived from various organic wastes such as biomass garbages, human wastes, and animal (poultry and cattle) manure through anaerobic digestion (fermentation process), and the resulting gases or the so-called biogas contain potential amount of energy. This process can offer favorable chance to provide alternative energy, and therefore reduce the impact of using fossil fuels (Pambudi, 2008). Biogas entails the mixture of gases released from biomass (organic) matters through anaerobic digestion assisted by organisms (e.g. bacteria). In warm and wet condition without oxygen (or with limited oxygen), the bacteria will digest (degrade) organic matters producing biogas which mainly mainly contain flammable methane gases. The approximate composition biogas is 51-70% of methane (CH4) gas, 26-45% of carbon dioxide (CO2), 0.1% of carbon monoxide (CO), 0.5-3% of nitrogen (N2), 0.1% of oxygen (O2), and trace amount of hydrogen sulfide (H2S). The calorific value of biogas is about 8,900 kilocal per m3. The development of anaerobic digestion has been successfully employed at several applications. This process is able to convert organic wastes (e.g. industrial wastes, agriculture wastes, poultry as well as cattle manures, and municipal solid wastes or MSW) which are potentially abundant, while other attempts to utilize them into added-value products rather than biogas seem useless. In relation, the Center for Forest Products Research and Development (under the Forestry Research and Development Agency, Ministry of Forestry) in Bogor, Indonesia has pioneered the development of biogas using MSW as feed stock. As such, the process employed the so-called solid state fermentation (SST) techniques, and these activities have reached pilot-plant scale operation with the input of 1 ton feedstock per day.
D. Energy from Garbage
In Indonesia, the non-degradable organic wastes (e.g. plastics) already mixed with the biodegradable organic wastes or garbage have become serious constraints in converting those wastes into electricity energy, thereby decelerating anaerobic digestion, because the plastic wastes are difficult to degrade by organisms. Plastic contaminants also bring about difficulty in pyrolisis, gasification, and incineration, since the disintegrating temperatures for plastics are different from those of biodegradable organic materials. The improper use of operational temperatures can inflict dangerous pollutions on environments. In another case, dry organic wastes mixed with wet organic wastes can in all lower the calorific values of those wastes. It is approximated that the calorific value of Indonesia’s garbage (wastes) can only reach 1,000-2,000 to 3,000-4,000 kilocal per kg, which is much lower than that of high-value biomass (15-20 MJ per kg). According to the estimate, the price electricity energy generated from garbage sold the State Electricity Company can reach Rp. (Indonesia’s currency) 400 per KWh. Such generation technology employed in Indonesia are adopted from China. In 1998, China (i.e. Shanghai Pudong City Heat Energy) managed to electric-generator station using the energy from garbage with the capacity of 35-40 MWh. By employing the investment of 670 million Yuan (China’s currency), they can convert 1,100-1,200 tons of garbage per day. With this rough calculation, this implies that input garbage of 1 ton per day can generate electricity energy of 31.8 KWh with investment cost of US $ 2.5 million (Rp. 24 thousand million) per MWh or US $ 79,000 per ton of garbage. In this way, garbage (wastes) can become one of the valuable assets for future business. In addition to technology, economy aspects and the role of community are required to create clean urban/villages.
In Indonesia, the State Electricity Company in cooperation with the regional authority of Bandung Regency has erected garbage-based electric generator station, and this become the first pilot project in Indonesia where garbage is used as raw material or feed stock (Widodo, 2007). The erection of that electric station close the final garbage-dumping site at Babakan, Ciparay District (Bandung Regency) revealed the concerns of the State Electricity Company in the handling of garbage. Further, the garbage-based electricity station also signified the ingenuity results of Bandung Technology Institute (BTI) in implementing the garbage conversion into energy source through the use of the so-called waste-to-energy (WTE) concept. According to the Head of the Center for Industrial Engineering at BTI, i.e. Dr. Ir. Ari Darmawan Pasek, with the conditions of the final garbage-dumping site at Babakan to handle 200 tons of garbage per day, then the garbage-based electricity station affords to generate electricity of 300-500 KW which is approximately adequate to provide electricity for about 500 houses and for daily operation activities of the electricity station itself. Further, it is stated that the existing garbage in Bandung affords the calorific value of 1,500-2,500 kilocal per kg with 25% efficiency in electricity conversion. The electricity energy generated from the garbage can reach 18-30 KW per day. Another advantage acquired from the garbage conversion is that it can mitigate greenhouse gas emission as much as 120,000 tons of CO2 per year and reduce residues from garbage processing about 2-3%.
IV. STATE PROGRAM TO ACHIEVE 2,000 ENERGY-SUFFICIENT VILLAGES
Energy-sufficient villages imply the villages that provide energy and use it for themselves. Therefore, this will afford job opportunity, reduce poverty, and offer productive activities. Energy-sufficient villages can also signify a model in renewable-energy uses. Those comprise two kinds energy sources, i.e. the villages which develop energy from non-biomass sources, such as micro hydropower, solar energy, and biogas; and the villages that use biomass-based energy, e.g. biofuel. The Minister of Energy and Mining Resources (EMR) stated that the Indonesia’s government under the President Sosilo Bambang Yudoyone’s rule (2004-2009) targets to achieve 2,000 energy-sufficient villages (Yusdiantoro, 2007). Those attempts are based on the President speech in the limited meeting-assembly that the number of energy-sufficient villages be increased from 140 in 2007 to 200 villages in 2008, and ultimately to 2,000 villages in 2009. For latest case, the details are 1,000 villages should develop non-biomass energy sources, while the 1,000 use biomass-based energy sources. The EMR Minister also emphasized that the energy-sufficient villages do not imply as those that lag behind; instead, the villages expectedly can be self-sufficient in energy needs and sell the energy excess to other parties. The intent of developing energy-sufficient villages is among others reducing poverty level and concurrently providing job opportunity as well as substituting for fossil-oil fuel.
As of this occasion, there are 100 energy-sufficient villages due to the efforts by EMR Ministry, Agriculture Ministry, Man Power and Transmigration Ministry, and the State Minister of Less-Developed Villages, State-Owned Enterprises, and Sea-Related Ministry. The accounts of those villages are 81 regencies that use non-biomass fuel energy and 40 energy-sufficient villages that develop biomass-based energy sources.
V. CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS
Research and Development should strive for an effective breakthrough that render green and renewable energy sources significantly usable. Those breakthroughs should incorporate research policies, development and implementation of technology for renewable energy sources which are easily applicable and cheap in price. Biomass-based energy sources are different from those of fossil-oil fuel, e.g. renewable, not polluting environments, secured in continuity, and able to drive economy of the community. This situation renders the biomass-based energy sources quite relevant and urgently realized for their development. Consequently, the biomass-based energy sources deserve thorough attention and emphasizes.
In addition, the development of green energy from the renewable biomass-based sources which is immediately implemented can bring about many expectations for farmers as well as overcome the abundantly generated organic wastes through the zero-waste attempt. In this way, conversion of energy from biomass wastes can run well, and energy supply more secured as well as cheap in price. Therefore, consumption of fossil-oil fuel is effectively reduced, thereby mitigating emissions. Besides, strong motivation and enforcement by the government is urgently needed to realize the development of biomass-based energy sources. Conversely, without clear political supports, whatever development technology for such will run into difficulty. Therefore, it is necessary to improve the government vision regarding paradigm of technology development in Indonesia which is rich in natural resources and concurrently prediction on environment impacts.
LITERTURES CITED
Anonim. 2005a. Bioetanol as alternative for fossil-oil fuel, which is competitive. February 14, 2005, pg. 10. Kompas Newpaper, Jakarta (Title and Text in Indonesian).
Anonim. 2005b. New and renewable energi. October 24, 2005, pg. 35. Kompas Newpaper, Jakarta (Title and Text in Indonesian).
Anonim. 2008. Harvesting vegetation-biomass-based fuels from the sea. September 5, 2008, pg. 14. Kompas Newpaper, Jakarta (Title and Text in Indonesian).
Anonimus. 2007. PLTS : Pembangkit Listrik Tenaga Sampah rekayasa ITB siap operasi tahun 2008. Majalah Profesi. Forum dinamika sain dan teknologi. Kamis 23 Agustus 2007.
Anonimus. 2008. Dampak kenaikan harga BBM, Perhutani bantu masyarakat melalui energi biomassa. Humas Perum Perhutani. Warta Perhutani. Senin, 09 Juni 2008
Daugherty E.C, 2001, Biomass Energy Systems Efficiency:Analyzed through Life Cycle Assessment, Lund Univesity.
Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2004, Potensi energi terbaharukan di Indonesia, Jakarta
Gatot Irawan & Khomarul Hidayat. 2004. Prospek Biodiesel Cerah.
Instruksi Presiden, Instruksi Preiden No 1 tahun 2006 tertanggal 25 januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels), sebagai energi alternative, Jakarta.
Presiden Republik Indonesia, 2006, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, Jakarta
Purnomo Yusgiantoro. 2007. Pemerintah Targetkan 2.000 Desa Mandiri Energi. Pidato Presiden. Antara News. 14/02/07 20:3i. Jakarta
Pambudi. A. 2008. Pemanfaatan Biogas Sebagai Energi Alternatif. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Tim Nasional Pengembangan BBN, 2007, BBN, Bahan Bakar Alternatif dari Tumbuhan Sebagai Pengganti Minyak Bumi
Wahono Sumaryono .Deputi bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT
Widodo Eddie. 2007. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Mulai Dibangun. Wawancara eksklusif Tempo interaktif dengan Direktur Utama PLN Eddie Widiono. Jum'at, 28 September 2007.
Langganan:
Postingan (Atom)