ARANG KOMPOS BIOAKTIF : INOVASI TEKNOLOGI UNTUK MENUNJANG PEMBANGUNAN KEHUTANAN
Oleh : GUSMAILINA
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BADAN LITBANG KEHUTANAN. BOGOR
Disampaikan sebagai materi pada acara magang dari Forum Penyuluh Kehutanan Swadaya Nusantara (FPKSN) tanggal 19-29 Oktober 2009 di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Penulis adalah Peneliti Utama, pada Puslitbang Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu, No.5. PO.Box 182. Bogor. Telp/Fax (0251) 8633378 – 8633413;
Email:gsmlina@gmail.com
I. PENDAHULUAN
Arang kompos bioaktif (ARKOBA) adalah gabungan antara arang dan kompos yang dihasilkan melalui teknologi komposting dengan bantuan mikroba lignoselulotik yang tetap bertahan di dalam kompos, mempunyai kemampuan agen hayati sebagai biofungisida untuk melindungi tanaman dari serangan penyakit akar, sehingga disebut bioaktif. Keunggulan lain dari ARKOBA adalah karena keberadaan arang yang menyatu dalam kompos, yang bila diberikan pada tanah ikut andil dan berperan sebagai agent pembangun kesuburan tanah, sebab arang mampu meningkatkan pH tanah sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah. Oleh sebab itu ARKOBA cocok dan tepat dikembangkan secara luas di Indonesia mengingat 2/3 dari lahan pertanian maupun kehutanan berada dalam kondisi masam (pH rendah), kritis dan marjinal akibat menurunnya kandungan bahan organik tanah yang tak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia. Pengembangan produksi ARKOBA saat ini minimal dapat memenuhi konsumsi lokal serta mendongkrak suksesnya program GERHAN yang berlangsung hingga tahun 2009 dan Go Organik 2010, serta yang tidak kalah pentingnya yaitu solusi tepat untuk mengatasi persoalan sampah kota.
Produk ini dibuat atas dasar pemikiran bahwa perlu ditingkatkan optimalisasi dan pemanfaatan limbah di sektor kehutanan yang selama ini menjadi sumber polutan terutama serbuk gergaji pada berbagai industri perkayuan, juga masih tingginya volume limbah pada saat pemanenan hutan. Serbuk gergaji belum dapat digunakan langsung sebagai sumber bahan organik terutama pada tanaman, karena butuh waktu untuk proses degradasi dari bahan komplek menjadi sederhana. Oleh sebab itu sebelum serbuk gergaji digunakan perlu perlakuan terlebih dahulu, antara lain dibuat arang serbuk gergaji (ASG), yang selanjutnya dapat digunakan langsung sebagai PKT (pembangun kesuburan tanah) atau sebagai bahan pembuat arang kompos atau arang kandang. Produk ini merupakan hasil pengembangan dari Puslitbang Teknologi Hasil Hutan) Bogor yang dapat digunakan sebagai pembangun kesuburan tanah (PKT) atau soil conditioning. Dari beberapa hasil penelitian yang diperoleh sangat baik dan mempunyai prospek untuk dikembangkan dan disosialisasikan.
II. MENGENAL ARANG DAN MANFAATNYA DI BIDANG PERTANIAN
A. Arang Serbuk Gergaji (ASG)
Serbuk gergaji merupakan salah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh industri penggergajian dan pengolahan kayu, yang dapat ditemui pada lokasi perindustrian di perkotaan maupun di lokasi penggergajian kayu di sekitar hutan. Limbah serbuk gergaji ini dapat mencemari lingkungan jika dibiarkan menumpuk, karena serbuk gergaji adalah limbah yang membutuhkan waktu lama untuk hancur secara alami, juga akan membutuhkan tempat yang luas apalagi bagi industri skala besar. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan.
Sesuai dengan salah satu kebijakan Departemen Kehutanan yaitu memanfaatkan kayu secara optimal, dengan volume limbah serendah mungkin atau bahkan tanpa limbah (Zero waste). Kebijakan ini berarti bahwa semua industri pengolahan kayu baik besar maupun kecil harus mengusahakan tidak menghasilkan limbah kayu. Namun kenyataan di lapangan umumnya rendemen industri penggergajian kayu masih berkisar antara 50 – 60 %. Sebanyak 15 -20 % terdiri dari serbuk gergaji kayu. Sampai tahun 2001 Indonesia memiliki 300 unit industri penggergajian HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan 2505 unit industri kecil yang membutuhkan log sebanyak 15,6 juta m3. Dari jumlah ini akan dihasilkan limbah sebanyak 7,8 juta m3 termasuk serbuk gergaji sebanyak 0,78 juta m3 (Pari, 200). Untuk industri besar dan terpadu, limbah serbuk gergaji sudah dimanfaatkan menjadi briket arang dan arang aktif yang dijual secara komersial. Namun untuk industri penggergajian kayu skala kecil yang jumlahnya mencapai ribuan unit dan tersebar di pedesaan, limbah ini belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh sebab itu potensi limbah yang besar ini perlu diberdayakan sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku beberapa produk berguna dan mempunyai nilai ekonomis. Dengan demikian pemanfaatan serbuk gergaji dapat ditujukan untuk : mencari peluang strategis dalam peningkatan pengelolaan hasil hutan melalui pemanfaatan kembali limbah serbuk gergaji.
Arang merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung karbon yang berbentuk padat dan berpori. Sebahagian besar dari pori-porinya masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain yang komponennya terdiri dari abu, air, nitrogen dan sulfur. Proses pengarangan akan menentukan dan berpengaruh terhadap kualitas arang yang dihasilkan (Sudradjat dan Soleh, 1994). Arang serbuk yang dihasilkan dapat diolah lebih lanjut menjadi arang kompos, arang kandang, briket arang dan arang aktif. Briket arang serbuk gergaji (BASG) dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif pengganti minyak tanah dan kayu bakar yang harganya semakin naik, sehingga dapat menghemat pengeluaran biaya bulanan. Penggunaan briket arang serbuk gergaji dapat menekan penggunaan kayu bakar, sehingga selanjutnya selain dapat mencegah kerusakan hutan secara fisik, juga pelepasan sebesar 3,5 juta ton CO2/bulan ke atmosfir dapat dicegah (Indonesia). Pada tahun 2000 kebutuhan kayu bakar dunia mencapai 1,70 x 10 9 m 3. Seandainya BASG digunakan sebagai pengganti kayu bakar, maka sekitar 6,07 x 10 9 ton penambahan CO2/tahun ke atmosfir dapat dicegah (Moreira, 1997; Turker and Ayaz, 1997). Briket arang ini pada masa yang akan datang merupakan sumber energi alternatif karena sifatnya yang dapat diperbaharui, mengingat sumber energi yang digunakan oleh hampir semua penduduk saat ini menggunakan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak tanah, bensin dan solar.
B. Manfaat Arang
1. Untuk Pertanian :
• Memeperbaiki kondisi tanah (struktur, tekstur dan pH tanah), sehingga memacu pertumbuhan akar tanaman;
• Meningkatkan perkembangan mikroorganisme tanah (arang sebagai rumah mikroba);
• Meningkatkan kemampuan tanah menahan air/ menjaga kelembaban tanah;
• Menyerap residu pestisida serta kelebihan pupuk di dalam tanah;
• Meningkatkan rasa buah dan produksi.
2. Untuk peternakan:
• Bahan pembuat silase;
• Membantu proses penguraian serta membantu pencernaan ternak;
• Mengurangi dan menghilangkan bau kotoran ternak (dapat dipakai sebagai alas lapisan tempat pembuangan kotoran ternak unggas);
• Mencegah diare;
• Meningkatkan produksi dan kualitas daging dan telur.
3. Untuk keperluan sehari-hari:
• Menghilangkan bau limbah/MCK, bau lemari es, dan penjernihan air minum;
• Menjaga tingkat kelembaban ruangan, gudang, tempat makanan, produksi pertanian, dll.
Arang mempunyai pori yang efektif untuk mengikat dan menyimpan air dan unsur hara tanah. Keuntungan pemberian arang pada tanah sebagai PKT karena arang mempunyai kemampuan dalam memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah, meningkatkan pH tanah sehingga pada akhirnya dapat merangsang dan memudahkan pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman.
Arang selain dapat digunakan langsung sebagai agent pembangun kesuburan tanah, juga digunakan sebagai campuran dalam proses pengomposan. Pembuatan arang kompos merupakan salah satu teknik yang relatif baru dikembangkan oleh P3THH dengan memanfaatkan arang pada proses pengomposan. Tujuan penambahan arang pada proses pengomposan adalah selain meningkatkan kualitas dari kompos tersebut, juga diharapkan dengan adanya arang pada pengomposan dapat menambah jumlah dan aktivitas mikroorganisme yang berperan, sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat. Selain dapat meningkatkan pH tanah, arang kompos dapat memacu perkembangan mikroorganisme (mikoriza) tanah, sehingga cocok digunakan untuk reklamasi lahan yang mempunyai tingkat kesuburan tanah dengan produktivitas yang rendah.
Di sektor kehutanan kandungan bahan organik pada lahan yang dicadangkan untuk hutan tanaman umumnya rendah. Pada pemanenan kayu telah terjadi proses pengeluaran hara secara besar-besaran akibat penggunaan alat pemanenan hutan. Selain itu bahan organik pada lapisan permukaan tanah semakin terancam akibat penyiapan lahan hutan tanaman secara mekanis. Rendahnya bahan organik akan menurunkan produktivitas lahan hutan, terutama pada rotasi berikutnya. Kenyataan juga menunjukkan bahwa program rehabilitasi kerusakan lahan yang masih meninggalkan lahan kritis seluas 7.269.700 ha yang harus dihijaukan, serta hutan seluas 5.830.200 ha yang masih harus dihutankan kembali.
Di sektor pertanian, terjadi penurunan produksi padi jenis IR 36 akibat pemberian pupuk kimia/anorganik secara intensif selama 25 musim tanam (Martodiresi dan Suryanto, 2001). Hal ini akibat menurunnya kandungan bahan organik tanah dari musim ke musim yang tak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia NPK, sehingga kemampuan padi membentuk anakan menurun. Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan stabilitas bahan organik tanah bagi kelestarian produktivitas baik pertanian, perkebunan maupun kehutanan. Bahan organik tanah bukan hanya berfungsi sebagai pemasok hara, tetapi juga berguna untuk menjaga kehidupan biologis di dalam tanah. Oleh sebab itu untuk membangun kembali kesuburan lahan diperlukan suatu teknologi, salah satu teknologi yang dapat diterapkan adalah dengan penambahan arang. Hal ini dimungkinkan karena arang mempunyai pori yang efektif untuk mengikat dan menyimpan hara tanah yang akan dilepaskan secara perlahan sesuai konsumsi dan kebutuhan tanaman (slow release). Selain itu arang bersifat higroskopis sehingga hara dalam tanah tidak mudah tercuci dan lahan berada dalam keadaan siap pakai.
Serbuk gergaji merupakan limbah yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan arang. Dengan demikian pemanfaatan serbuk gergaji sebagai arang dapat ditujukan untuk : mencari peluang strategis dalam peningkatan pengelolaan hasil hutan melalui pemanfaatan kembali limbah serbuk gergaji. Arang serbuk gergaji (ASG) selain dapat digunakan sebagai sumber energi juga dapat dimanfaatkan langsung sebagai pembangun kesuburan tanah (PKT), untuk arang kompos, kompos arang kandang, atau arang kandang.
C. Arang Sebagai PKT (Pembangun Kesuburan Tanah)
Menurut Ogawa (1989), keuntungan pemberian arang sebagai pembangun kesuburan tanah (PKT), pada tanah yaitu karena arang mempunyai kemampuan dalam memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah, sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar serta memberikan habitat yang baik untuk pertumbuhan semai tanaman. Selain dapat meningkatkan pH tanah, arang juga dapat memudahkan terjadinya pembentukan dan peningkatan jumlah spora dari ekto mupun endomikoriza. Suhardi (1998), mengemukakan bahwa pemberian arang pada tanah selain dapat membangun kesuburan tanah, berfungsi sebagai pengikat. Hal ini erat kaitannya dengan isu tentang peranan ekosistem hutan (hutan dan tanah) sebagai potensi rosot dalam penyerapan karbondioksida udara.
Di Jepang, penggunaan arang dapat meningkatkan produksi padi sampai 50 %. Selain itu penggunaan arang dapat menambah jumlah daun serta memperluas tajuk pohon tanaman hutan kota, sehingga efektif untuk mengurangi serta menurunkan polusi dan suhu udara melalui penyerapan CO2 udara (Japan Domestic Fuel Dealers Association/JDFDA, 1994).
Hasil penelitian JDFDA (1994), menunjukkan bahwa pemberian arang dan kalsium posfat secara bersamaan pada beberapa jenis tanaman kehutanan dapat meningkatkan populasi mikoriza 4 kali lebih banyak dibanding tanpa pemberian arang. Pada tanaman Pinus, secara nyata meningkatkan pembentukan cabang dan daun. Demikian juga pada tanaman bambu dapat meningkatkan jumlah anakan. Di Indonesia, Faridah (1996), menyimpulkan bahwa pemberian serbuk arang pada kadar 10 % volume media berpengaruh positif terhadap pertumbuhan awal tinggi semai kapur (Dryobalanops sp). Sunarno dan Faiz (1997) menyarankan pemberian arang sekam padi sebagai bahan utama media semai di dalam pot tray sebagai alternatif pengganti gambut.
Gambar 1. Arang berperan sebagi pembangun kesuburan tanah
D. Komponen hara yang terkandung pada ASG
Kandungan hara yang terdapat pada arang serbuk gergaji bergantung kepada bahan baku serbuk gergaji. Secara umum arang yang dihasilkan dari serbuk gergaji campuran mempunyai kandungan hara N berkisar antara 0,3 sampai 0,6 %; kandungan P total dan P tersedia berkisar antara 200 sampai 500 ppm dan 30 sampai 70 ppm ; kandungan hara K berkisar antara 0,9 sampai 3 meq/100 gram; kandungan hara Ca berkisar antara 1 sampai 15 meq/100 gram; dan kandungan hara Mg berkisar antara 0,9 sampai 12 meq/100 gram (Gusmailina dkk. 1999). Pemberian arang sebagai campuran media semai tanaman secara nyata meningkatkan diameter batang Eucalyptus urophylla (Gambar 2)
Gambar 2. Pengaruh pemberian beberapa jenis arang terhadap pertumbuhan diameter batang tanaman E urophylla (Sumber: Gusmailina, dkk. 1999)
Keterangan :
ASP = arang sekam padi; ASG = arang serbuk gergaji;
AB = arang bambu; Kp = kompos; K = kontrol
Aplikasi arang pada tanah memberikan respon positif, baik terhadap tinggi tanaman maupun diameter batang tanaman Acacia mangium sampai umur 1,5 bulan. Penambahan 20 % beberapa jenis arang menunjukkan bahwa media yang dicampur dengan arang serasah memberikan respon terbaik, kemudian diikuti oleh perlakuan penambahan arang sekam padi. Demikian juga perlakuan penambahan 30 %, menunjukkan bahwa pertumbuhan anakan lebih baik pada media yang dicampur dengan arang serasah. Hasil sementara aplikasi arang pada tanaman Eucalyptus urophylla di lapangan sampai umur 15 bulan menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan tinggi pada perlakuan penambahan arang bambu memberikan hasil yang lebih baik diabanding ASG. Gambaran hasil secara umum hingga saat ini menunjukkan bahwa pemberian arang baik sebagai campuran media, ataupun di lapangan memiliki prospek untuk dikembangkan. Pemberian arang berpengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus urophylla. Serbuk gergaji dan serasah merupakan bahan baku yang potensial dan mempunyai prospek yang baik serta dapat disarankan sebagai arang untuk PKT
E. Penggunaan Arang Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan Populasi
Mikroba Tanah
Umumnya arang dikenal sebagai sumber energi, baik itu arang batu bara, maupun arang kayu. Ketika mendengar nama arang kayu, anggapan selalu tertuju pada sumber energi yang erat kaitannya dengan pedesaan, atau arang untuk membakar sate, bakar ayam, jagung dll. Pada hal arang yang berasal dari kayu ternyata juga sangat baik dan mempunyai peranan yang cukup penting jika diberikan pada tanah, seperti: meningkatkan pH tanah, memperbaiki struktur dan tekstur tanah, membangun kondisi mikroorganisme tanah melalui efek kelembaban yang selalu terjaga, serta meningkatkan nilai KTK tanah. Tentunya arang yang diperuntukkan dengan tujuan perbaikan lahan adalah arang yang berasal dari limbah, karena sangat disayangkan jika menggunakan arang yang berasal dari kayu yang masih mempunyai nilai ekonomis tinggi. Dari beberapa pengamatan ternyata penambahan arang dapat meningkatkan aktivitas mikroba perombak bahan organik tanah, selain juga dapat meningkatkan populasi bakteri pengikat N dalam tanah.
Informasi positif dari pengembangan pengunaan arang untuk soil conditioner yang berdampak pada peningkatan aktivitas dan populasi mikroba tanah. Arang yang digunakan terutama adalah arang yang dibuat dari limbah serbuk gergaji kayu, kulit kayu atau potongan kayu yang tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Penggunaan arang sangat tergantung pada jenis dan kualitas arang. Secara fisik (arang aktif) berguna untuk penyerap radiasi sinar matahari, isolator gelombang elektromagnetik, electrode, filament karbon, air battery. Morfologi arang aktif mempunyai porositas berguna untuk penjernihan air, purifikasi udara, penghisap gas, penyuburan tanah, filter, anti embun, penumbuh mikroorganisme, dll. Secara kimia arang bersifat reaktivitas meliputi penyalaan api, produksi karbon sulfat, gasifikasi, bahan farmasi dan pembuatan baja. Sebagai sumber energi untuk rumah tangga, memasak, dan power supply. Sebagai komponen non organic berguna sebagai pupuk, glasir, mikroelement, serta penggunaan untuk keramik. Manfaat arang secara terpadu di bidang pertanian antara lain: mem-perbaiki dan meningkatkan kondisii tanah, meningkatkan aliran air tanah, mendorong pertumbuhan akar tanaman, menyerap residu pestisida dan kelebihan pupuk dalam tanah, meningkatkan bakteri tanah serta sebagai media mikro-organisme untuk simbiosis, mencegah penyakit tertentu, serta meningkatkan rasa buah dan produksi (Anonimus, 2002).
Di bidang pertanian arang dapat digunakan untuk menaikkan pH tanah dari asam ke tingkat netral biasanya dilakukan dengan menambahkan kapur pertanian yang mengandung senyawa Ca dan Mg ke dalam tanah, sehingga dapat mengurangi dan menetralkan sifat racun dari Al serta akibat buruk lainnya akibat kondisi tanah yang asam
Gambar 4. Jumlah bintil akar soybean meningkat setelah aplikasi arang
F. Potensi Arang + Kotoran Ternak Sebagai Pupuk Organik
Ternak sapi atau kambing disamping penghasil produk utama daging dan susu juga menghasilkan hasil samping berupa kotoran ternak faeses dan urine) yang dengan sentuhan teknologi sederhana dapat diubah menjadi kompos yang sangat bermutu untuk pemeliharaan lingkungan maupun untuk pertanian secara terpadu antara tanaman dengan ternak yang berkelanjutan. Ada 2 aspek penting dalam penggunaan kotoran ternak sebagai pupuk yaitu nilai penggunaannya dan sebagai sumber hara yang dibutuhkan tanaman.
Berkurangnya kandungan bahan organik pada lahan pertanian di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa sebenarnya diperlukan 100% tambahan bahan organik untuk mengembalikan pada keadaan kesehatan tanah yang normal. Hal ini berarti akan diperlukan pupuk organik yang sangat besar untuk membuat keadaan kesehatan tanah menjadi normal kembali.
Dilain pihak menurut Haryanto (2000), seekor sapi dapat menghasilkan kotoran (faeses) sebanyak 8 - 10 kg setiap hari. Apabila kotoran sapi ini diproses menjadi pupuk organik diharapkan dapat menghasilkan 4 - 5 kg per hari. Dengan demikian, satu ekor ternak akan menghasilkan sekitar 7,3 - 11,0 ton pupuk organik per tahun. Sementara itu, penggunaan pupuk organik pada lahan persawahan adalah 2 ton per hektar untuk setiap kali tanam, sehingga potensi pupuk organik yang ada dapat menunjang kebutuhan pupuk organik untuk 1,8 - 2,7 hektar dengan dua kali tanam setahun. Kotoran ternak sebagai limbah dengan penggunaan mikroba dan cacing justru muncul sebagai komoditas baru yang mempunyai keunggulan antara lain :
1) Proses pengomposan dipercepat.
2) Dapat diproduksi secara massal dan dijadikan kemasan ekonomis.
3) Peningkatan kualitas dan penghematan penggunaan.
4) Kompos dapat menjadi cabang usaha dan penyerapan tenaga kerja.
5) Memungkinkan perluasan penggunaan lahan-lahan marginal.
6) Memutus daur ulang kuman/hewan parasit dan kuman patogen yang sering ada di kotoran ternak.
Pulitbang Teknologi Hasil Hutan sejak tahun 2000, telah mensosialisasikan penggunaan arang dan kotoran ternak domba pada beberapa jenis tanaman pertanian dan perkebunan di Pelabuhan ratu, Kabupaten Sukabumi. Percontohan ini dilakukan bekerjasama dengan kelompok tani setempat. Hasil yang diperoleh sungguh memuaskan
III. MENGENAL ARANG KOMPOS BIOAKTIF (ARKOBA)
A. Pengertian Arang Kompos Bioaktif (Arkoba)
Arang kompos bioaktif (Arkoba) adalah gabungan arang dan kompos yang dihasilkan melalui teknologi pengomposan dengan bantuan mikroba lignoselulotik yang tetap hidup di dalam kompos. Apabila diberikan ke tanah mikroba tersebut berperan secara hayati sebagai biofungisida untuk melindungi tanaman dari serangan penyakit akar, sehingga disebut bioaktif. Keunggulan lain Arkoba adalah keberadaan arang yang menyatu dalam kompos, sehingga bila diberikan pada tanah ikut andil dan berperan sebagai agent pembangun kesuburan tanah, sebab arang mampu meningkatkan pH tanah sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah. Oleh sebab itu Arkoba cocok dan tepat dikembangkan secara luas di Indonesia mengingat 2/3 (66,67%) dari lahan pertanian maupun kehutanan berada dalam kondisi masam (pH rendah), kritis dan marjinal akibat menurunnya kandungan bahan organik tanah dimana tidak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia. Pengembangan produksi Arkoba saat ini minimal dapat memenuhi konsumsi lokal serta mendongkrak suksesnya program gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (GERHAN) yang berlangsung hingga tahun 2009 dan Go Organik 2010, serta yang tidak kalah pentingnya adalah solusi tepat mengatasi persoalan limbah dan sampah kota.
Produk Arkoba ini dibuat dengan tujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah di sektor kehutanan dimana selama ini sebagai sumber polutan terutama serbuk gergaji dari industri perkayuan. Selain itu juga karena volume limbah pada saat pemanenan hutan masih tinggi. Oleh sebab itu teknologi Arkoba merupakan salah satu solusi alternatif untuk mengurangi limbah, menaikkan efisiensi dan menurunkan tingkat pencemaran. Selain itu Inovasi produk Arkoba dilatar belakangi oleh perbandingan dari beberapa hasil uji coba pengamatan pertumbuhan tanaman yang ditanam pada beberapa jenis media arang serbuk gergaji. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pertumbuhan tanaman yang ditanam pada media campuran arang serbuk gergaji dan kompos, sehingga sejak tahun 1999 kelompok peneliti Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan (PKEHH) pada Puslitbang Hasil Hutan (P3HH) mulai mengembangkan produk arang kompos dengan bahan baku utama arang adalah serbuk gergaji, sedangkan bahan baku sekunder kompos dapat berasal dari limbah organik pertanian, serasah mangium, serasah tusam, dan serasah campuran dari beberapa jenis pohon.
B. Kualitas dan mutu arang kompos bioaktif
Beberapa jenis arang kompos yang telah dibuat di P3HH mempunyai kandungan unsur hara makro yang bervariasi walaupun dengan kadar yang tidak jauh berbeda. Pengujian mutu dan kualitas arang kompos yang dapat dilakukan di lapangan adalah penampakan secara visual berupa perubahan bentuk, warna, serta penyusutan volume. Bentuk berubah ukuran menjadi lebih halus dan hancur, sedangkan warna menjadi coklat kehitaman sampai hitam, sedangkan volume akan menyusut maksimum 20-30 %, serta tidak memberikan bau yang menyengat. Selain itu pengujian suhu dan pH arang kompos juga dapat dilakukan di lapangan. Suhu konstan berkisar antara 25 - 30 oC, sedang pH netral antara 6-7. Analisis kimia di laboratorium diperlukan sebagai upaya pendukung. untuk mengetahui apakah arang kompos telah dapat digunakan secara benar perlu di diketahui rasio C/N, yaitu perbandingan kadar C (carbon) dan kadar N (nitrogen). Arang kompos dapat digunakan apabila nisbah C/N nya 20, tergantung pada jenis tanaman. Tanaman sayuran dan bunga biasanya membutuhkan kompos dengan C/N yang rendah (dibawah 20), sedangkan tanaman perkebunan, buah-buahan, tanaman kehutanan serta tanaman keras lainnya dapat menggunakan kompos dengan C/N yang berkisar antara 20-30.
Tabel 1 : Analisis kandungan unsur hara makro dari beberapa jenis arang kompos
Jenis unsur hara AKSr camp AKSr mangium AKSR tusam AKSG Ar.komps
l.d.pisang Ar.komps
Lb.jgng
C organik
N total
P total
K
Ca
Mg 30 – 35
1,6 – 1,8
0,6 – 1,2
1,3 – 1,6
0,8 – 1
0,3 – 0,5 30 - 35
1,5 - 1,6
0,5 - 1,2
1 - 1,5
0,5 - 1,2
0,4 - 1 30 – 40
1,5 - 1,8
1 – 1,3
1,4 – 1,7
0,5 - 1,5
0,6 – 1,1 30 – 39
1,4 – 1,7
1 – 1,5
0,5 – 1
1 – 1,8
0,4 – 1,3 30 – 35
1,6 – 2
1 – 1,5
1 – 1,5
0,4 – 1,0
0,5 – 1,1 30 – 37
1,6 – 2
1 – 1,7
0,7 – 1,8
0,5 – 1,8
0,4 – 1,1
Keterangan : AKSR camp = Arang kompos serasah daun campuram
AKSr mangium = Arang Kompos serasah daun Acacia mangium
AKSR tusam = Arang kompos serasah daun tusam ( Pinus merkusii)
AKSG = Arang kompos serbuk gergaji
Ar.komps ld.pisang : Arang kompos dari limbah daun pisang
Ar.komps Lb.jgng : Arang kompos dari limbah kulit jagung
Pembuatan arang kompos cukup mudah dan murah untuk diterapkan, baik skala kecil mupun di lapangan/di areal tegakan hutan. Hanya perlu motivasi dan kesadaran yang tinggi bagi pengelola untuk menyadari pentingnya hal ini dilakukan, sehingga produktivitas lahan menjadi lebih baik dan akhirnya produktivitas tanamanpun akan meningkat.
Aplikasi arang kompos baik di lapangan maupun skala laboratorium memberikan hasil yang baik sekali untuk dikembangkan dalam rangka menunjang system pertanian organik. Karena akhir-akhir ini produk budidaya organik menjadi trend yang cukup mengemuka serta menempati urutan tertinggi dalam permintaan maupun harga, karena kecenderungan konsumen saat ini menginginkan pangan yang bebas dari bahan-bahan kimiawi. Umumnya konsumen produk organik masih terbatas pada kalangan tertentu, seperti pada hotel-hotel berbintang yang sering dikunjungi oleh turis luar negeri. Oleh sebab itu keberadaan pupuk organik di pasaran perlu ditingkatkan, dan pembuatan arang kompos mempunyai prospek yang besar dalam menunjang sistem pertanian dan budidaya organik tersebut. Yang perlu diperhatikan adalah lokasi pembuatan arang kompos sebaiknya tidak jauh dari sumber bahan baku yang akan dibuat, karena hal ini akan berpengaruh terhadap investasi biaya. Oleh sebab itu sebaiknya setiap industri pengolahan kayu mempunyai satu unit peralatan untuk membuat arang kompos, sehingga limbah yang sebelumnya dapat mencemari lingkungan, dapat dimanfaatkan menjadi produk baru yang berguna. Selain itu, membuat arang kompos dari serasah di bawah tegakan hutan tanaman sangat dianjurkan, sebagai salah satu upaya antisipasi kebakaran hutan sekaligus meningkatkan kesuburan tanah dan tanaman.
C. Manfaat Arang kompos bioaktif
Arang kompos bioaktif dapat memacu perkembangan mikroorganisme tanah, meningkatkan nilai kadar tukar kation (KTK) tanah, pH tanah pada tingkat yang lebih sesuai bagi pertumbuhan tanaman, sehingga cocok untuk reklamasi lahan yang mempunyai tingkat kesuburan dan keasaman tanah yang rendah. Arang kompos bioaktif mempunyai sifat yang lebih baik dari kompos konvensional karena keberadaan arang yang menyatu dalam kompos. Morfologi arang yang mempunyai pori sangat efektif untuk mengikat dan menyimpan hara. Hara tersebut dilepaskan secara perlahan sesuai dengan konsumsi dan kebutuhan tanaman (efek slow release). Karenanya hara tersebut tidak mudah tercuci, lahan akan selalu berada dalam kondisi siap pakai. Dari beberapa aplikasi arang kompos yang telah diuji cobakan, baik di laboratorium, maupun di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman yang diberi arang kompos bioaktif meningkat hingga 2 kali lipat dibanding dengan yang tidak diberi arang kompos.
Aplikasi arang kompos bioaktif pada tanaman pak choi, brokoli, dan wortel secara tumpang sari dengan pinus di Ciloto, menunjukkan bahwa hasil dalam satuan luas 400 m persegi, produksi meningkat 1, 5 kwintal, jika dibandingkan dengan pupuk yang yang biasa digunakan oleh petani seperti pupuk bokasi, selain itu juga mengurangi penggunaan pupuk kimia sebesar 40 % (Gambar 5 dan 6).
Gambar 5. Aplikasi Arang Kompos Bioaktif pada tanaman sayuran di bawah tegakan Pinus di Ciloto
Di desa Karyasari, Kabupaten Bogor, produksi arang kompos bio aktif difokuskan untuk memacu produktivitas daun murbei untuk budidaya ulat sutera. Selain itu juga diaplikasikan pada budidaya nilam, pepaya, dan tanaman Melaleuca bracteata. Hasil yang diperoleh sangat meyakinkan, karena hanya dengan memberi arang kompos bioaktif 0,5 kg/rumpun pada tanaman murbei yang berumur sekitar 10 bulan, meningkatkan jumlah daun murbei sebesar lima kali lipat, selain meningkatkan kualitas benang sutera yang dihasilkan.
Gambar 6. Aplikasi Arang Kompos Bioaktif pd tanaman Murbei, nilam, cabai dan pepaya di kampung Cibogo, Desa. Karyasari, Kecamatan. Leuwiliang, Kabupaten. Bogor.
Salah satu daerah yang menggunakan Arang Kompos untuk menunjang program GERHAN 2003-2004 adalah Kabupaten Garut, yang telah mengembangkan arang kompos sebanyak 360 ton sampai dengan bulan April 2004, dan hingga tahun 2008 kelompok ini telah melakukan produksi secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan GERHAN di Kabupaten Garut. Arang kompos yang dihasilkan juga digunakan pada persemaian bibit, serta sebagian juga sudah diaplikasi di lapangan dengan hasil yang memuaskan. Untuk itu bagi daerah-daerah lain yang akan menggunakan arang kompos sebagai sarana penunjang program gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL) dapat mencontoh keberhasilan Kabupaten Garut. Kegiatan tersebut langsung dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Garut bekerja sama dengan Koperasi Lestari Dinas Kehutanan Kabupaten Garut (Gambar 6 dan 7).
Aplikasi arang kompos bioaktif sebagai campuran media tumbuh anakan jati di KRPH Jembolo Utara (Jawa Tengah) selama 4 bulan menunjukkan bahwa pemberian arang kompos bioaktif dari serbuk gergaji dapat meningkatkan tinggi dan jumlah anakan yang hidup sebesar 100 %. Demikian juga pada percobaan penggunaan arang kompos bioaktif pada anakan Gmelina, dimana hasil yang diperoleh dapat meningkatkan pertambahan tinggi dan diamater batang tanaman masing-masing 2,2 dan 1,6 kali lebih baik dibanding kontrol.
D. Pemanfaatan Arang Kompos Bioaktif di kabupaten Garut
Pemanfaatan Arang kompos bioaktif pada tanaman Kol di Cibeureum, menunjukkan hasil yang sangat baik. Hal ini ditunjukkan dengan produksi kol yang lebih besar dan lebih padat dengan kisaran berat 3-5 kg/buah. Padahal biasanya maksimum hanya 2kg/buah (Gambar 7).
Gambar 7. Aplikasi Arang Kompos pada tanaman sayuran kol
Penggunaan arang kompos bioaktif sebagai campuran media tanaman hias (bunga ros/mawar dan algebra) sangat bagus. Efek yang ditunjukkan adalah selain warna bunga dan daun lebih cerah dan tajam, juga lebih tahan (tidak mudah gugur), bahkan jika dibiarkan kelopak bunga sama sekali tidak rontok sampai kering (Gambar 8).
Gambar 8. Aplikasi Arang kompos pada tanaman bunga
Pemanfaatan arang kompos bioaktif di lahan Gerhan di lokasi Ranca Salak, pada tanaman Suren, tahun tanam 2004. Rata-rata tinggi tanaman yang ditanam pakai arang kompos bioaktif sekitar 6 m dengan diameter kl 15-20 cm, sedangkan yang tidak pakai arang kompos baru mencapai 3m.
Gambar 9. Aplikasi arang kompos bioaktif pd lahan Gerhan di
lokasi Ranca Salak, Kab. Garut
Penggunaan arang kompos bioaktif pada tanaman tembakau hasilnya sangat bagus. Tembakau yang ditanam dengan arang kompos bioaktif menghasilkan daun rajangan seberat 7,5 ons, sedangkan yang tidak menggunakan arang kompos hanya mempunyai berat 3 ons. Dengan demikian daun tembakau yang ditanam dengan arang kompos bioaktif menhasilkan daun 2 kali lebih banyak dibanding daun tembakau yang tanpa menggunakan arang kompos bioaktif. Pengeringan daun tembakau yang ditanam dengan menggunakan arang kompos bioaktif juga lebih efisien, yaitu hanya perlu 3-4 hari pengeringan, sedangkan yang tidak menggunakan arang kompos bioaktif memerlukan waktu lebih lama. Demikian juga aroma rajangan daun tembakau yang ditanam dengan arang kompos bioaktif lebih tajam dibanding dengan aroma rajangan daun yang tidak pakai arang kompos bioaktif.
E. Sosialisasi Pembuatan Arang Kompos Bioaktif Dari Gulma (Tumbuhan Pengganggu)
Hasil pembuatan kompos dan arang kompos bioaktif selama seminggu, memberikan hasil yang cukup menjanjikan. Kompos yang terbentuk berwarna cokelat kehitaman dan tidak memberikan aroma bau yang menyengat, walaupun dari bentuk luar keadaan keragaan kompos secara visual masih sama seperti bahan mentahnya (gulma) saat dikomposkan. Ini memang merupakan ciri khas dari aktivator orgadec, karena bioaktivator ini bukan bersifat penghancur bahan/limbah organik akan tetapi bersifat pengurai komponen kimia yang kompleks pada bahan menjadi komponen kimia sederhana yang dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Hasil analisis kandungan unsur hara makro kompos (lokasi 1) dan arang kompos bioaktif (lokasi 2) dari gulma dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis kandungan unsur hara makro kompos dan arang kompos
bioaktif dari gulma/tumbuhan pengganggu
No. Komponen hara Metode Analisis Lokasi 1/ Kadar (%) Lokasi 2/ Kadar (%)
1. N Kjeldahl 1,80 1.92
2. P2O5 Spektrofotometri 0,75 1,05
3. K2O AAS 3,37 3,51
4. CaO AAS 3,09 3,24
5. MgO AAS 1,92 1,68
6. C-Organik Volumetri 32,9 35,8
7. Nisbah C/N (karbon/nitrogen) Perhitungan 18,27 18,6
Keterangan: Dianalisis di laboratorium Natural products, Biotrop Bogor
Lokasi 1: Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo - Jawa Tengah
Lokasi 2 : Karyasari, Kecamatan leuwiliang, Kabupaten Bogor
Sebagai salah satu tolak ukur tingkat kematangan bahan organik yang dikomposkan adalah nisbah C (karbon) dan N (nitrogen). Makin matang tingkat dekomposisi bahan organik, makin rendah nilai C/N-nya. Inbar dkk. (1993) mengemukakan bahwa nilai C/N yang dianggap tidak menggangu proses kimia tanah adalah < 20. Atas dasar batasan ini, pada Tabel 1 terlihat bahwa tingkat kematangan kompos (lokasi 1)dari bahan baku gulma atau tumbuhan pengganggu yang diproses selama seminggu mampu memberikan nilai C/N 18.27% dan diharapkan kompos ini tidak mengganggu berlangsungnya proses kimia yang ada di tanah. Demikian juga dengan arang kompos bioaktif mempunyai nilai C/N sebesar 18,6 dan 18,27
Kandungan terbesar dari kompos adalah bahan organik (dapat mencapai 18%, bahkan ada yang mencapai 59%). Selain bahan organik, kompos juga mengandung unsur-unsur lain (Tabel 2) yang berada dalam jumlah relatif sedikit sekali, yaitu berkisar antara 2-3%. Besarnya persentase dari unsur-unsur tersebut sangat tergantung dari bahan dasar yang digunakan dan teknik pengomposannya.
Dari Tabel 2 terlihat pula bahwa pengaruh dekomposisi gulma atau tumbuhan pengganggu terhadap kadar hara dalam kompos, memberikan nilai yang nyata meskipun tidak dapat dinyatakan meningkat/menurun karena analisis terhadap gulma yang masih segar tidak dilakukan. Meskipun demikian, hasil analisis kimia dari kompos yang diperoleh menunjukkan bahwa gulma yang terdapat disekitar kebun petani yang pada mulanya tidak mempunyai manfaat, apabila diproses lebih lanjut menjadi kompos atau arang kompos dapat memberikan nilai tambah tersendiri dan mempunyai arti penting bagi penggunaan tanaman tersebut dalam mengurangi ketergantungan pupuk kimia dan penyediaan bahan organik untuk kesuburan dan kelestarian tanah.
Meskipun teknologi pengomposan dari gulma atau tumbuhan pengganggu yang sederhana, murah dan cepat telah diperoleh dari kegiatan ini, namun kompos dan arang kompos tersebut belum mempunyai arti bagi kelestarian lingkungan terutama bagi kesuburan tanah dan mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk kimia. Oleh karena itu, pada kegiatan berikutnya kompos yang telah ada akan diuji coba penggunaannya terhadap tanaman kentang dan murbei.
Jika dibandingkan kompos dan arang kompos gulma yang dihasilkan dengan kualitas kompos menurut beberapa standar yang berlaku (Tabel 2), maka kompos dan arang kompos gulma cukup baik, bahkan jika dibanding dengan standar kualitas kompos Perhutani (Perhutani, 1977 dalam Mindawati, 1998), kompos dan arang kompos gulma lebih baik kualitasnya, kecuali untuk unsur CaO. Namun unsur ini jauh kalah penting dibanding unsur hara N (nitrogen), P (fosfor), dan K (kalium). Walaupun kualitas kompos sangat tergantung dari bahan baku yang digunakan, namun jika dibanding dengan Standar kualitas kompos dari Pusri (Radiansyah, 2004), maka kompos dan arang kompos gulma sedikit lebih rendah kualitasnya, terutama untuk unsur hara N dan P, tetapi tidak untuk unsur K, karena kompos dan arang kompos gulma mempunyai kandungan hara K yang lebih tinggi. Akan tetapi untuk meningkatkan kandungan unsur hara N pada kompos dapat diatasi dengan penambahan jerami sebagai bahan baku atau dedaunan dari tumbuhan leguminosae (kacang-kacangan).
Tabel 3. Perbandingan kandungan unsur hara makro gulma dengan beberapa standar
yang berlaku
No. Komponen hara Lokasi 1/ Kadar Lokasi 2/ Kadar Standar Perhutani Standar Pusri
1. N, % 1,80 % 1.92 1,1 ≥ 2, 12
2. P2O5, % 0,75 % 1,05 0,9 ≥ 1, 30
3. K2O, % 3,37 % 3,51 0,6 ≥ 2,00
4. CaO, % 3,09 % 3,24 4,9 ≥ 0,97
5. MgO, % 1,92 % 1,68 0,7 ≥ 3,19
6. C-Organik, % 32,9 % 35,8 19,6 -
7. Nisbah C/N 18,27 % 18,6 10 – 20 -
Keterangan : Lokasi 1: Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo - Jawa Tengah
Lokasi 2: Karyasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor
IV. ARANG KOMPOS BIO AKTIF DARI SAMPAH KOTA
Akhir-akhir ini sampah di perkotaan makin menimbulkan masalah yang cukup serius, karena jumlahnya sangat besar dengan jenis yang bervariasi. Di negara maju, sampah organik yang berasal dari rumah tangga, kebun/perkebunan, pasar, pangkasan taman kota dan lain-lain dikelola secara cermat dan di daur ulang menjadi kompos yang bermanfaat sebagai bahan dasar pupuk organik. Dampak penggunaan kompos/pupuk organik ini, memiliki nilai yang lebih tinggi dari pupuk kimia terutama untuk dikonsumsi manusia sehari-hari karena lebih sehat dan bebas dari bahan beracun akibat kelebihan pemberian bahan-bahan kimia. Oleh sebab itu di negara maju kompos menjadi pilihan utama bagi para petani.
Di Indonesia, sampah masih terasa sebagai beban, baik bagi RT/RW, kelurahan, maupun dinas kebersihan, karena pembuangannya menimbulkan berbagai persoalan antara lain, menyangkut biaya, lahan, sarana transportasi, maupun masalah SDM. Kenyataan juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki kesadaran yang kurang terhadap persoalan sampah, sehingga dapat dilihat bahwa sampah menjadi penyebab timbulnya banjir bila hujan, karena memenuhi selokan/got maupun kali/sungai, sehingga air tidak dapat mengalir sebagaimana mestinya. Di wilayah pedesaan, sampah pertanian dan peternakan lebih berdaya guna, namun pengelolaannya belum optimal dan efisien sehingga manfaatnya belum terasa dibanding potensi yang ada.
Masalah sampah juga masalah bagi seluruh umat manusia, bukan hanya persoalan bagi Dinas Kebersihan, karena dampak pencemaran dari sampah yang tidak dikelola akan menimpa seluruh manusia yang ada. Dengan demikian, selain dituntut peran aktif dan kesadaran yang tinggi dari masyarakat, juga perlu teknologi inovatif yang dapat membantu menyelesaikan masalah sampah, sehingga sampah yang sebelumnya merupakan barang tak berharga, dijadikan sumberdaya hingga menjadi produk yang berharga dan bernilai, baik bagi lingkungan maupun kesehatan.
Pengembangan produksi ARKOBA saat ini minimal dapat memenuhi konsumsi lokal serta mendongkrak suksesnya program GERHAN yang berlangsung hingga tahun 2009 dan Go Organik 2010, sekaligus memberi solusi sistem pengelolaan sampah. Dalam skala kecil cara ini telah diterapkan di TPA 1 kota Palembang dan TPA Bangkonol, Pandeglang, Banten.
V. TPA SEBAGAI EMITTER GRK (Gas Rumah Kaca), SALAH SATU PEMICU PEMANASAN GLOBAL
Untuk mengaitkan sampah dengan Gas Rumah Kaca (GRK), maka perlu dijelaskan bahwa pemanasan global adalah gejala naiknya suhu permukaan Bumi akibat meningkatnya konsentrasi GRK. Enam jenis GRK utama adalah gas karbon dioksida (CO2), Methana (CH4), Nitrat oksida (N2O). Dalam laporan yang disusun oleh International Panel on Climate Change (IPCC) 1988, dilaporkan bahwa rata-rata temperatur global telah meningkat 0,6.% serta dilaporkan bahwa tahun 1990-an adalah dekade terpanas. Meningkatnya suhu bumi diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut. Menyadari besarnya ancaman pemanasan global, disepakati Kyoto Protocol 1997. Negara-negara industri-penyumbang GRK terbesar-berkomitmen menguranginya. Salah satu GRK yang berpengaruh adalah CH4 (methana). Kekuatannya dalam efek pemanasan global 23 kali lebih tinggi dari CO2. Untuk mengejar target pengurangan emisi GRK, produksi gas methana perlu dikendalikan. Berbagai sumber gas methana antara lain adalah rawa, TPA, penambangan gas alam, pembakaran biomassa. Dalam hubungannya dengan persampahan, TPA menjadi sumber gas methana karena adanya proses penguraian sampah oleh jasad renik.
Meningkatnya aktivitas dan jumlah penduduk, maka jumlah sampah juga akan meningkat. Timbunan sampah kota diperkirakan meningkat lima kali lipat tahun 2020. Kalau tahun 1995 jumlah rata-rata produksi sampah perkotaan di indonesia 0,8 kg per kapita per hari, tahun 2000 menjadi 1,0 kg, maka tahun 2020 diperkirakan 2,1 kg per kapita. Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 450 TPA sebagai sumber emisi gas methana. Sebagai contoh, sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah organik 56 persen akan menghasilkan gas methana 21.000 ton setiap tahunnya atau setara dengan CO2 486.500 ton. Masyarakat Eropa sepakat tahun 2005 tidak membuang sampah organiknya langsung ke TPA. Sampah organik diolah terlebih dahulu agar gas tidak diproduksi dalam jumlah besar. Pengolahan dapat berupa insinerasi, pengomposan, dan produksi biogas. Pengomposan adalah proses yang dipilih oleh Global Environment Facility yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia untuk mereduksi produksi GRK sekaligus untuk membantu perbaikan sistem pengelolaan sampah di Indonesia. Dengan demikian penerapan teknologi produksi ARKOBA memberi dampak yang multi use, serta juga demi ”kemaslahatan bumi dan ummat manusia”.
Penerapan teknologi arang kompos bioaktif untuk pengelolaan sampah, dapat dilakukan oleh siapa saja, karena merupakan teknologi inovatif, tepat guna, serta mudah dilakukan oleh masyarakat. Dapat dikelola oleh perorangan, kelompok, badan usaha, atau bahkan skala pabrik. Hanya perlu kesadaran yang tinggi serta ketekunan agar dapat berjalan lancar dan berkesinambungan.
Penerapan teknologi ini sudah diuji cobakan di TPA Bangkonol, Pandeglang, Banten TPA Padang, dan TPA 1. Palembang (Sum-Sel) pada tahun 2004. hasil yang diperoleh telah diaplikan di lahan areal GERHAN baik di Pandeglang, Banten, maupun wilayah Palembang. Selain itu uji coba penggunaan aktivator khusus sampah organik kota juga telah dilakukan di TPA, Btr Gebang.
VI. DISEMINASI ARANG KOMPOS BIOAKTIF
Pembuatan arang kompos cukup mudah untuk terapkan pada masyarakat pedesaan dan sekitar hutan, dengan menggunakan bahan baku yang terdapat di sekitarnya. Sejalan dengan program pengembangan tersebut, Puslitbang Hasil Hutan, sejak tahun 2000 juga telah melaksanakan sosialisasi/diseminasi sekaligus peragaan pembuatan arang kompos di beberapa daerah di Jawa dan Sumatera yang dikemas dalam bentuk acara Gelar Teknologi dan Temu Lapang antara lain di Kabupaten Serang; Ciamis; Tasikmalaya; Garut; Pandeglang; Lw Liang; Ciloto (KPH Cianjur); KRPH Jembolo Utara, Kota Semarang; dan Kabupaten Muaro Jambi, Propinsi Jambi. Sebagian besar dana yang diperoleh untuk menunjang kegiatan ini bersumber dari dana Kerjasama P3THH dengan JIFPRO-Jepang. Kerjasama ini dimulai sejak tahun 2000 hingga tahun 2003/2004, sedang sebagai dana pendamping adalah dana DIK-S DPL. Pada bulan April 2006 kegiatan ini juga dilakukan di desa Karyasari, Kabupaten Lw Liang, Bogor. Produksi arang kompos bio aktif difokuskan untuk memacu produktivitas daun murbei untuk budidaya ulat sutera. Selain itu juga diaplikasikan pada budidaya nilam, pepaya, dan tanaman Melaleuca bracteata.
Salah satu daerah yang menggunakan Arang Kompos untuk menunjang program GNRHL 2003-2004 adalah Kabupaten Garut, yang telah mengembangkan arang kompos sebanyak 750 ton sampai dengan bulan April 2005. Arang kompos yang dihasilkan langsung digunakan pada persemaian bibit, serta sebagian juga sudah diaplikasi di lapangan dengan hasil yang memuaskan. Untuk itu bagi daerah-daerah lain yang akan menggunakan arang kompos sebagai sarana penunjang program GNRHL dapat mencontoh keberhasilan Kabupaten Garut. Kegiatan tersebut langsung dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Garut bekerja sama dengan Koperasi Lestari DISHUT Kab. Garut.
VII. KUALITAS ARANG KOMPOS LIMBAH INDUSTRI KERTAS
Saat ini penanggulangan sludge di beberapa industri pulp dan kertas di Indonesia, sebagian besar hanya dibenamkan ke dalam tanah atau dibakar. Penanggulangan dengan cara ini mempunyai beberapa resiko, yaitu jika dibenamkan ke dalam tanah membutuhkan areal yang luas, sedangkan jika dibakar memerlukan biaya yang cukup besar dan dapat mencemari udara. Sludge masih mempunyai kandungan bahan organik yang cukup tinggi, sehingga sludge dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik (Carter 1983 dan Alton 1991 dalam Rina et.al. 2002). Pengomposan dipandang sebagai alternatif penanganan yang paling baik, karena di samping tidak mencemari lingkungan, juga menghasilkan produk yang bermanfaat dengan investasi yang relatif murah. Karakteristik dari sludgeadalah bersifat menyerap air, sehingga jika sludgeditumpuk pada saat proses pengomposan, rongga udara yang tercipta akan sedikit. Kondisi ini mengganggu proses pengomposan sehingga perlu bahan lain untuk menanggulanginya. Bahan lain sebagai campuran dapat digunakan serbuk gergaji dan atau arang serbuk gergaji. Hasil penelitian Komarayati, dkk (2007) menyimpulkan bahwa Sludge limbah industri pulp dan kertas dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku arang kompos, penambahan arang ke dalam campuran kompos dapat mempercepat proses dekomposisi selama pengomposan serta kualitas arang kompos terbaik adalah arang kompos dengan penambahan arang 30 kg dan Arang kompos hasil penelitian, telah memenuhi standar mutu SNI 19-7030- 2004, kecuali rasio C/N. Penelitian Komarayati dan Gusmailina juga menyimpulkan bahwa pemanfaatan limbah padat industri pulp Untuk pupuk organik menunjukkan kualitas pupuk organik yang dihasilkan antara lain : unsur hara makro N, P dan K masih rendah yaitu 0,38 – 0,85%; 0,47 – 0,65% dan 0,09 – 0,22%. Nisbah C/N 9,00 – 14,00 dan KTK 25,22 – 35,89 meq/100 gr telah memenuhi standar. Logam berat Pb 0,01 – 0,06 ppm dan Cd 0,03 ppm termasuk rendah dan telah memenuhi persyaratan baku mutu. Peningkatan unsur hara N,P dan K pupuk organik dengan mencampur berbagai bahan organik pada perbandingan 10 bagian PO dan 1 bagian ZEOREA menunjukkan terjadi peningkatan N 4,72%; P 2,90% dan K 4,09%. Kadar N,P,K ini telah melebihi standar pupuk organik yang ditetapkan.
Hasil penelitian teknologi inovasi penanganan limbah industri pulp dan kertas menjadi arang kompos bio aktif (Gusmailina & Komarayati, 2008) menyimpulkan bahwa hasil uji coba pembuatan arang kompos bioaktif dari limbah sludge pabrik pulp dan kertas yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa kualitas arang kompos yang dihasilkan lebih baik dengan waktu yang lebih singkat, karena teknologi pengomposan yang diterapkan secara anaerobik, menggunakan aktivator serta bernilai plus apabila dilakukan penambahan bahan baku kotoran ternak. Selain itu kandungan unsur logam yang berbahaya juga menurun tajam, jauh di bawah ambang batas yang diperbolehkan baik skala internasional maupun skala nasional. Dengan demikian limbah sludge pabrik pulp dan kertas layak dipakai dan dikembang luaskan untuk konsumsi kalangan industri sendiri, maupun dijual ke pasar umum, bebas maupun ekspor. Pada Tabel berikut dapat dilihat kualitas arang kompos yang dihasilkan dengan menggunakan bahan baku sludge.
Tabel 4. Kualitas dan kandungan unsur hara Arang kompos hasil uji coba di laboratorium (GA) dibandingkan dengan beberapa kualitas kompos lainnya
No. Parameter Nilai
PT. AA
SK ARANG KOMPOS
GA
**) US EPA (1993) Standar pasar khusus
***)
Lab. PT AA Lab. IPB
1 pH (1 : 1) 7,68 7- 7,15 7,10 - 7
2 Kadar air (Moisture content),% - 26,00 24,5 - ≥20
3 C organik (Organic C),% 14 - 18,03 19 - ≥ 15
4 N total (Total N),% 0,60 - 0,71 1,78 - ≥ 2,30
5 Nisbah C/N (C/N ratio) 26 - 25,60 13,76 - ≥ 15
6 P2O5 total,% 0,11 - 0,58 1,01 - ≥ 1,60
7 CaO total,% 5,57 - 0,28 2,41 - ≥ 1,00
8 MgO total,% 0,26 - 0,19 1,03 - ≥ 3,25
9 K2O total,% 0,29 - 1,42 2,84 - ≥ 2,40
10 KTK (Cation exchange capacity), meq/100 g - - 5,33 - - -
11 Unsur logam
Zn (mg/kg)
Cu mg/kg
Co mg/kg
Mo mg/kg
Se mg/kg
Pb mg/kg
Cr mg/kg
Cd mg/kg
Ni mg/kg
Hg mg/kg
As mg/kg
34,60
76,90
20,00
7,19
<0,003
16,25
20,28
1,33
8,62
<0,01
2,00
40,50
21,10
-
-
-
4,81
18,90
0,24
19,30
-
-
0,01
0,03
23,76
19,92
*
*
*
3,01
-
0,21
-
*
*
7500
4300
-
75
100
840
3000
85
420
57
75
< 400
< 150
≥ 0,10
< 150
< 45
< 3
< 50
< 1
< 10
Keterangan:
1. Batas maksimum konsentrasi unsur dalam sludge yang diizinkan untuk diaplikasikan ke dalam tanah menurut US EPA (1993) dalam Alloway (1995) dalam Anonimus (2003)
2. SK : Analisis kompos Sludge yang dilakukan oleh Komarayati (2007 )
3. GA : Kompos sludge hasil uji coba di laboratorium
4. * : tidak terdeteksi
5. **) : Dianalisis di Lab Natural Products. Biotrop Bogor.
6. ***) : Sumber Radiansyah (2004)
VIII. TEKNIK PEMBUATAN ARANG KOMPOS BIOAKTIF (ARKOBA)
1. Pembuatan Arang : pembuatan arang biasanya dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: menggunakan tungku drum dan tungku semi kontinyu. Tungku drum digunakan untuk membuat arang tempurung kelapa, atau potongan-potongan kayu limbah. Sedangkan untuk membuat arang serbuk gergaji lebih cocok menggunakan tungku semi kontinyu (Gusmailina, dkk., 2002). Arang serbuk gergaji juga dapat digunakan langsung sebagai campuran pada media tumbuh tanaman, baik di dalam polybag maupun pada tanah. Arang serbuk gergaji yang dicampur dengan kotoran ternak (pupuk kandang) akan memberikan hasil yang lebih baik lagi dibanding jika hanya menggunakan arang saja.
2. Pembuatan arang Kompos :
a. Bahan arang : serbuk gergaji, sekam padi, kulit kayu, limbah pertanian/perkebunan (tongkol jagung, tempurung kelapa/kelapa sawit)
b. Bahan kompos : serbuk gergaji, serasah tumbuhan hutan/dedaunan seperti serasah tusam, serasah mangium, atau serasah campuran, limbah organik pertanian, limbah sayuran, jerami, kulit/tongkol jagung, sampah organic pasar dan kotoran hewan
Jika bahan baku yang akan dikomposkan berukuran besar sebaiknya digiling/dicacah dahulu dengan alat giling (chopper), golok atau parang sampai mencapai ukuran 2-3 cm
c. Aktivator : Berguna untuk mempercepat proses pengomposan dengan bahan aktif mikroorganisme. Jenis activator yang digunakan disesuaikan dengan jenis bahan baku yang akan dikomposkan. Untuk limbah yang sulit hancur disarankan menggunakan activator yang mengandung bahan aktif khusus mikroorganisme pengurai lignoselulosa diantaranya yang mengandung mikroorganisme Trichoderma dan Cytophaga sp.
d. Peralatan pengomposan : Proses pengomposan dapat berlangsung pada beberapa macam tempat seperti : kotak kayu dengan ukuran 1m x 1m x 1m, bak semen permanent, kombinasi bak semen dengan penutup kayu, dan kantong plastic jumbo.
Pembuatan arang kompos prinsipnya sama dengan pengomposan biasa yaitu melalui proses fermentasi, langkah-langkah pembuatan arang kompos adalah sbb:
o Pada bahan baku yang sudah dicacah ditambah arang serbuk sebanyak 10-30 % dari berat volume bahan yang akan dikomposkan;
o Tambahkan aktivator sebanyak 0,5-10 % tergantung jenis bahan yang akan dikomposkan,
o Aduk campuran hingga rata; tambahkan air hingga kondisi kadar air campuran bahan berkisar antara 20%-30 %;
o Masukkan ke dalam wadah pengomposan
o Khusus untuk bahan yang sulit hancur seperti limbah kehutanan, sebaiknya pada minggu ke dua, ke tiga dan ke empat dibalik kemudian di aduk ulang, tambahkan air bila kondisi agak kering;
o Pengukuran suhu dilakukan guna mengetahui apakah proses berjalan dengan sempurna. Proses berjalan dengan sempurna apabila pada minggu pertama dan ke dua suhu meningkat hingga mencapai 55 oC - 60 oC, lalu menurun pada minggu-minggu berikutnya. Apabila kondisi suhu sudah stabil berarti proses pengomposan sudah selesai dan kompos dapat dibongkar;
o Proses pengomposan berlangsung antara 2 sampai 10 minggu tergantung bahan baku yang digunakan, untuk limbah sayuran/dedaunan segar pengomposan berlangsung selama 2 minggu, pengomposan serasah dedaunan kering berlangsung selama 1 bulan, sedangkan serbuk gergaji selama 2-3 bulan;
o Secara visual kompos yang sudah matang akan mengalami perubahan warna, sedangkan indikator kompos yang siap pakai yaitu mempunyai nisbah C/N di bawah atau sama dengan 20;
o Untuk menambah daya tarik penampilan, kompos digiling hingga halus kemudian dikemas lalu disimpan ditempat yang kering dan teduh;
o Arang kompos siap digunakan atau dipasarkan.
Pembuatan arang kompos juga dapat dilakukan di areal tegakan hutan. Bahan baku yang dapat digunakan berupa limbah pemanenan hutan. Ranting dan cabang yang tertinggal dijadikan arang kemudian sebagai bahan untuk kompos adalah dedaunan segar atau serasah. Proses pengomposan dapat dilakukan dengan jalan membuat lobang persegi atau lobang sepanjang larikan sedalam 0,5 m. Lobang ini sebelumnya dialas dengan plastik agar proses pengomposan tidak ada kontak langsung dengan tanah, kemudian semua bahan yang akan dikomposkan dimasukkan ke dalam lobang lalu ditutup lagi dengan plastik, kemudian biarkan sampai kompos terbentuk. Kompos yang terbentuk kemudian dapat dibongkar lalu dipindahkan, atau dibiarkan sebagai pengganti pupuk pada penanaman berikutnya.
Gambar 11. Skema pembuatan arang kompos bioaktif
IX. PENGEMBANGAN, EFISIENSI APLIKASI ARANG KOMPOS BIOAKTIF
Aspek teknis yang terpenting pada pertanian maupun kehutanan yang berkelanjutan diantaranya adalah peningkatan efisiensi pupuk. Maksudnya untuk mengurangi volume pemakaian pupuk serta biaya produksi tanpa mempengaruhi produksi. Namun kebutuhan bahan organik maupun pupuk organik untuk mendukung budidaya organik jauh lebih besar dibanding jika menggunakan pupuk kimia, biasanya berkisar antara 2 – 20 ton per hektar. Sehingga menimbulkan masalah bagi petani karena biaya produksi jadi meningkat. Oleh sebab itu pengolahan lanjutan dari bahan/pupuk organik perlu dilakukan agar volume menjadi sedikit serta mudah dalam transportasi tetapi tetap memiliki efek yang sama. Bahan organik seperti kompos, arang kompos, pupuk kandang atau pupuk organik yang berbentuk serbuk, perlu dirobah bentuknya sehingga menjadi lebih padat dengan cara cetak dan press. Pupuk terutama pupuk organik akan lebih efisien jika bentuknya dipadatkan, karena akan lebih mengurangi resiko tercuci/hilang dalam aplikasinya. Selain itu volume akan lebih sedikit jika menggunakan pupuk yang telah dipadatkan, tetapi tidak mengurangi kualitas dari pupuk tersebut, sehingga dalam aplikasi juga tetap akan memberikan respon yang sama.
Tablet, maupun briket media yang dibuat dari arang kompos dan pupuk organik diharapkan dapat menunjang kegiatan GERHAN yang pelaksanaannya hingga tahun 2009. Aplikasi tablet arang kompos dan pupuk organik, diharapkan lebih efisien dan ekonomis jika dibandingkan apabila aplikasinya secara konvensional tanpa dicetak. Aplikasi tablet dan briket media, akan memudahkan penanaman terutama untuk areal target yang sulit dijangkau, sehingga operasionalnya dapat menggunakan alat sistem kabel layang. Briket media yang berisi bibit tanaman dapat disebar secara otomatis yang diatur penempatannya sesuai dengan jarak tanam yang diinginkan, selain itu produk ini juga diperuntukkan untuk media tanaman anggrek.
Gambar 12. Pengembangan dalam rangka efisiensi Arang Kompos Bioaktif
Gambar 13. Briket Media Arang Kompos Bioaktif
X. PENUTUP
Target produksi arang kompos bioaktif yaitu : pertama, meningkatkan efisiensi industri pengolahan kayu melalui pemanfaatan limbah. Ke dua, volume serasah daun di areal hutan tanaman cukup tinggi. Serasah daun tusam (Pinus merkusii) dan mangium (Acacia mangium) masing-masing mencapai 12,56 - 16,65 ton/hektar dan 8-9 ton/hektar. Pada musim kemarau dan kering dapat menjadi pemicu kebakaran hutan. Ke tiga, meningkatnya aktivitas dan jumlah penduduk, maka jumlah sampah juga meningkat. Timbunan sampah kota diperkirakan meningkat lima kali lipat tahun 2020. Kalau tahun 1995 jumlah rata-rata produksi sampah perkotaan di indonesia 0,8 kg per kapita per hari, tahun 2000 menjadi 1,0 kg, maka tahun 2020 diperkirakan 2,1 kg per kapita. Di Indonesia terdapat sekitar 450 TPA sebagai sumber emisi gas CH4 (methana). Sebagai contoh, sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah organik sekitar 56% akan menghasilkan gas methana 21.000 ton setiap tahunnya atau setara dengan CO2 486.500 ton. Kekuatan efek CH4 dalam pemanasan global 23 kali lebih tinggi dari CO2. International Panel on Climate Change (IPCC) 1988, melaporkan bahwa rata-rata temperatur global telah meningkat 0,6.%, dilaporkan bahwa tahun 1998 adalah dekade terpanas. Meningkatnya suhu Bumi diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut.Untuk mengejar target pengurangan emisi GRK, maka produksi gas methana perlu dikendalikan. Komposting merupakan proses yang dipilih oleh Global Environment Facility yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia untuk mereduksi produksi GRK sekaligus untuk membantu perbaikan sistem pengelolaan sampah di Indonesia. Dengan demikian penerapan teknologi produksi ARKOBA memberi dampak yang multi use, dan demi ”kemaslahatan bumi dan ummat manusia”.
XI. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1993. TAPPI Test Method. Atlanta, Georgia.
Anonim. 2000. Pedoman Pengharkatan Hara Kompos. BIOTROP. Bogor.
Anonim. 2002. Pengembangan Industri Pedesaan di Sekitar Hutan Tanaman Industri di Indonesia. Seameo-Biotrop Bogor.
Anonim. 2003. Departemen kehutanan siap laksanakan GN RHL. Siaran Pers No. 1428/II/PIK-1/2003. www. dephut.go.id
Anonim. 2003. Study on utilization of economic instruments to encourage the suistanable use of natural resources and internalize environmental impacts resulting from trade liberalization and expose Growth in the Industrial sector. By prepared. Ministry for Environment Republic of Indonesia. Jakarta. (Unpublished).
Anonim. 2004. Gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan gagal
ribuan jenis pohon mati akibat kekeringan. Cianjur. Pikiran Rakyat Cyber Media Online 24 Juni 2004.
Anonim. 2004. Partisipasi masyarakat dalam GNRHL 15 %. Kolom lingkungan. Media Indonesia Online. 7 Juni 2004
Away, Yufnal, 2003. Uji coba penggunaan bioaktivator “orgadec plus” pada sampah kota di TPA Bantar Gebang. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor
Away, Y., D.H. Goenadi, dan P. Faturarchim. 1997. Pemanfaatan sampah pangkasan tanaman teh sebagai bahan baku kompos bioaktif. Warta Puslit. Biotek. Perkeb., 1997, III(1):33-40. Bogor
Badan Standarisasi Nasional [BSN]. 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. SNI 19-7030-2004.
Dalzell, H.W.,A.J. Biddlestone, K. R. Gray and K. Thurairajan. 1987. Soil Management Compost Production and Use In Tropical and Subtropical Environment. Soil Bulletin.Vol. 56. FAO, Rome.
Gaur, A.C. 1982. A manual of Rural Composting. Food Agriculture Organization of United Nations. Rome.
Gusmailina; G. Pari, and S. Komarayati. 1999. The utilization technology of charcoal and activated charcoal as a soil conditioning on plants. Project Report. Forest products Research Centre. Bogor.
Gusmailina ; G. Pari dan S. Komarayati. 2000. Teknik penggunaan arang sebagai “ Soil Conditioning” pada tanaman. Laporan Proyek Pusat Penelitian Hasil Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Bogor (Tidak diterbitkan).
Gusmailina ; S. Komarayati ; G. Pari dan D. Hendra. 2000. Arang serbuk gergaji memperbaiki kesuburan tanah. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik. Jakarta.
Gusmailina, S. Komarayati, G. Pari dan M. Ali. 2005. Mengenal manfaat arang dan arang kompos. Diskusi Intern BP2HT IBB. 17 Pebruari 2005. Palembang.
Gusmailina ; G. Pari dan S. Komarayati. 2002. Kajian Teknis dan Implementasi Produksi POSG (Pupuk Organik Serbuk Gergaji). Laporan Kerjasama antara P3THH Bogor, JIFPRO Jepang, Dinas Kehutanan Propinsi Tk I Jambi dan Koperasi Sawmill Siginjai, Sengeti – Muaro Jambi, Jambi.
Goenadi, D.H. & Y. Away. 1995. Cytophaga sp., and Trichoderma sp. As activators for composting. Proc. Int. Cong. On Soils of Trop. Forest Ecosystem. 3rd Conf. On Forest Soils (ISSS-AISS-IBG). Poster Session, 8:184-192.
Gusmailina, S.Komarayati dan T. Nurhayati. 1990. Pemanfaatan residu fermentasi padat sebagai kompos pada pertumbuhan anakan Eucalyptus urophylla, Jurnal Penelitian Hasil Hutan. (4):157-163
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2001. Teknik penggunaan arang sebagai soil conditioning pada tanaman. Laporan hasil penelitian (Tidak diterbitkan)
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2001. Laporan kerjasama penelitian Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan – JIPFRO (Jepang) Bogor (tidak diterbitkan)
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2002. Laporan kerjasama penelitian Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan – JIPFRO (Jepang) Bogor
Gusmailina, G. Pari., and S. Komarayati. 2002. Implementation study of compos and charcoal compost production. Laporan Kerjasama P3THH dengan JIFPRO, Jepang .Tahun ke 3. Bogor (Tidak dipublikasi).
Gusmailina, Gustan Pari dan Sri Komarayati. 2002. Pedoman Pembuatan Arang
Kompos. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. ISBN: 979-3132-27
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2002. Implementation study of compost and charcoal compost production. Laporan kerjasama Puslitbang Teknologi Hasil Hutan dengan JIFPRO - Jepang (Tidak diterbitkan)
Gusmailina dan S. Komarayati. Teknologi Inovasi Penanganan Limbah Industri Pulp Dan Kertas Menjadi Arang Kompos Bio Aktif. Seminar Teknologi Pemanfaatan Limbah Industri Pulp dan Kertas Untuk Mengurangi Beban Lingkungan, Bogor 24 November 2008.
Harjadi, W; S. Saeni; H. Adijuwana; E. Djohan. 1974. Penuntun Praktikum Kimia Analitik. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. IPB. Bogor.
Inbar, Y.Y., Chen and H.A.J. Hoitink. 1993. Properties for Establishing Standards for Utulization of Composts in Container Media. In: Science and Engineering of Composting: Design, Environmental, Microbiological and Utilization Aspects. H.A.J. Hoitink & H.M.Keener (Eds.). p.: 668-694. Renaissance Pub. Columbus, OH-USA.
Komarayati, S; Gusmailina; G. Pari. 2002. Pembuatan dan Pemanfaatan Arang Kompos. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI V. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan, tanggal 30 Agustus - 1 September 2002 di Bogor. pp 525 - 530.
Komarayati, S; Gusmailina; G. Pari. 2002. Peranan Arang pada Pembuatan Arang Kompos. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI V. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan, tanggal 30 Agustus - 1 September 2002 di Bogor. pp 521 - 524.
Komarayati, S. dan I. Indrawati. 2003. Isolasi dan Identifikasi Mikroorganisme dalam Arang Kompos. Buletin Penelitian Hasil Hutan. (21) 2: 251-258. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Komarayati, S. ; Gusmailina dan G. Pari. 2001. Pemanfaatan limbah kulit kayu dan serasah tusam untuk kompos dan arang kompos. Laporan Hasil Penelitian. Proyek DIK-S. Sumber Dana Reboisasi. Tahun Anggaran 2001.
Komarayati, S. ; Gusmailina dan G. Pari. 2002. Pembuatan kompos dan arang kompos dari serasah dan kulit kayu tusam. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 20 (3) : 231 – 242. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor.
Komarayati, S. ; Gusmailina dan G. Pari. 2003. Aplikasi arang kompos pada anakan tusam (Pinus merkusii). Buletin Penelitian Hasil Hutan. 21 (1) : 15 – 21. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Komarayati, S. 2004. Penggunaan arang kompos pada media tumbuh anakan mahoni. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 22 (4) : 193 – 203. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Komarayati, S ; Gusmailina dan G.Pari. 2004. Application of compost charcoal on two species of forestry plants. Voluntary paper. Proceeding of The International Workshop on “ Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environment”. 16 -17 Maret 2004 di Bogor.
Leiwakabessy, F.M.; A. Sutandi; Wahyudin. 2003. Diktat Kuliah Kesuburan Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Murbandono, H.S. 2002. Membuat Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta.
Mindawati, N., N.H.L. Tata, Y. Sumarna dan A.S. Kosasih. 1998. Pengaruh beberapa macam limbah organik terhadap mutu dan proses pengomposan dengan bantuan efektif mikroorganisme 4 (EM4). Buletin Penelitian Hutan Bogor. No. 614 : 29-40.
Prihatini T. 2001. Menuju Quality Control Pupuk Organik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Radiansyah, A.D. 2004. Pemanfaatan Sampah Organik menjadi Kompos. Makalah pada stadium Generale Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Rao dkk., 1998 dalam Saad A., 2002. Pembangkitan criteria kesesuaian lahan untuk tanaman duku spesifik lokasi Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi. Unpublished.
Reintjes, C., B. Haverkort., dan W. Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Penerbit Kanisius. Jakarta
Rina, S.S.; S. Purwati; H. Hardiani; A. Surahman. 2002. Pengaruh Kompos dari Limbah Lumpur IPAL Industri Kertas terhadap Tanaman dan Tanah. Prosiding Seminar Teknologi Selulosa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Selulosa, 22 Oktober 2002 di Bandung.
Saeni, S.M. dan D. Latifah. 1990. Panduan Praktikum Kimia Lingkungan. Jurusan Kimia.FMIPA IPB. Bogor.
Saifudin, S. 1989. Fisika Kimia Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Jakarta.
Sukmana, S. 1983. Evaluation of Unite Process in the Composting of City Waste. Fakulteit Van de Landbouwwetenschafen Laboratory Voor Bodenu Fysica. Boden condionering an Tuinbouwbodem kunde.
Supriyanto, A. 2001. Aplikasi Wastewater Sludge untuk Proses Pengomposan Serbuk gergaji. http://sinergy- forum.net/zoa/paper/html/paperAgusSupriyanto.html [2 Agustus 2005].
Steel, R.G.D. dan Torrie, J.H. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika (Terjemahan) PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
mau yang asik ? adu ayam
BalasHapus