Senin, 07 Maret 2016

ARANG DAN ARANG KOMPOS ALTERNATIF PILIHAN UNTUK MENGATASI DEGRADASI LAHAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM



 ARANG DAN ARANG KOMPOS ALTERNATIF PILIHAN UNTUK MENGATASI DEGRADASI LAHAN DAN  MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

Oleh ;  Gusmailina

(Peneliti pada Pusat Litbang Hasil Hutan, Balitbang Kehutanan)
Jalan Gunung Batu No. 5.  Bogor; Telp/Fax : (0251) 8633378-8633413



RINGKASAN

Meningkatnya harga pupuk kimia serta tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hara tanah baik pertanian, perkebunan ataupun kehutanan merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian.  Demikian juga dengan peningkatan kualitas lingkungan hidup sudah menjadi program pembangunan nasional lintas sektoral. Degradasi lahan diakibatkan perilaku dan sikap manusia  berubah dari konsumsi organis menjadi non organis (anorganik), yaitu mengandalkan penggunaan bahan kimia atau pupuk anorganik.  Ketergantungan terhadap pupuk instan (anorganik) dari tahun ke tahun semakin meningkat. Konsumsi pupuk anorganik meningkat dari 0.6 juta ton pada tahun 1976 menjadi 7 juta ton pada tahun 2006, yang berarti dalam kurun waktu 30 tahun meningkat lebih dari 1100%.   Rendahnya kandungan bahan organik lahan pertanian di Indonesia, mengindikasikan bahwa pertanian di Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh perubahan iklim global.
Pemberian bahan organik utamanya yang berasal dari berbagai jenis limbah organik, seperti  limbah serbuk gergaji yang apabila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah lingkungan, seperti pengotoran lingkungan, sumber penyakit, serta  akan menjadi sumber pemicu kebakaran dan emisi.  Serbuk gergaji belum dapat digunakan langsung sebagai sumber bahan organik terutama pada tanaman, sehingga perlu perlakuan terlebih dahulu, antara lain dibuat arang serbuk gergaji (ASG), yang selanjutnya dapat digunakan langsung sebagai PKT (pembangun kesuburan tanah) atau sebagai bahan pembuat arang kompos bioaktif (Arkoba). Produk ini merupakan hasil pengembangan dari Puslitbang Hasil Hutan, Bogor yang dapat digunakan sebagai PKT atau soil conditioning.  Dari beberapa hasil penelitian yang diperoleh sangat baik dan mempunyai prospek untuk dikembangkan dan disosialisasikan.  Produksi arang maupun arang kompos selain dapat dijadikan sebagai pembenah tanah, juga dapat menekan emisi gas-gas rumah kaca penyebab pemanasan global yang berdampak terhadap perubahan iklim.  Demikian juga dapat berfungsi sebagai pengikat, erat kaitannya dengan isu tentang peranan ekosistem hutan dan tanah sebagai potensi rosot dalam penyerapan karbondioksida udara. 

Kata kunci : arang, arang kompos,  pembangun kesuburan tanah, degradasi lahan, pemanasan  
                    global


I.  PENDAHULUAN


Kandungan bahan organik pada lahan yang dicadangkan untuk hutan tanaman umumnya rendah.  Pada pemanenan kayu telah terjadi proses pengeluaran hara secara besar-besaran akibat penggunaan alat pemanenan hutan. Selain itu bahan organik pada lapisan permukaan tanah semakin terancam akibat  penyiapan lahan  hutan tanaman secara mekanis.  Rendahnya bahan organik akan menurunkan produktivitas lahan hutan, terutama pada rotasi berikutnya.  Kenyataan juga menunjukkan bahwa program rehabilitasi kerusakan lahan yang masih meninggalkan lahan kritis seluas 7.269.700 ha yang harus dihijaukan, serta hutan seluas 5.830.200 ha yang masih harus dihutankan kembali.
            Di sektor pertanian, terjadi penurunan produksi padi jenis IR 36 akibat pemberian pupuk kimia/anorganik  secara intensif selama 25 musim tanam (Martodiresi dan Suryanto, 2001).  Hal ini akibat menurunnya kandungan bahan organik tanah dari musim ke musim yang tak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia NPK, sehingga kemampuan padi membentuk anakan menurun.  Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan stabilitas bahan organik tanah bagi kelestarian produktivitas baik pertanian, perkebunan maupun kehutanan.  Bahan organik tanah bukan hanya berfungsi sebagai pemasok hara, tetapi juga berguna untuk menjaga kehidupan biologis di dalam tanah. Oleh sebab itu untuk membangun kembali kesuburan lahan diperlukan suatu teknologi, salah satu teknologi yang dapat diterapkan adalah dengan penambahan arang. Hal ini dimungkinkan karena arang mempunyai pori yang efektif untuk mengikat dan menyimpan hara tanah yang akan dilepaskan secara perlahan sesuai konsumsi dan kebutuhan tanaman (slow release).  Selain itu arang bersifat  higroskopis sehingga hara dalam tanah tidak mudah tercuci dan lahan berada dalam keadaan siap pakai.
     Degradasi lahan diakibatkan perilaku dan sikap manusia  berubah dari konsumsi organis menjadi non organis (anorganik), yaitu mengandalkan penggunaan bahan kimia atau pupuk anorganik.  Ketergantungan terhadap pupuk instan (anorganik) dari tahun ke tahun semakin meningkat. Konsumsi pupuk anorganik meningkat dari 0.6 juta ton pada tahun 1976 menjadi 7 juta ton pada tahun 2006, yang berarti dalam kurun waktu 30 tahun meningkat lebih dari 1100% (Alimoeso, 2007). Selama kurun waktu tersebut, penggunaan pupuk organik sama sekali ditinggalkan, kecuali untuk bberapa jenis tanaman sayuran. Akibatnya kesehatan dan daya dukung lahan terus menurun. Kandungan bahan organik di dalam tanah di Indonesia saat ini rata-rata hanya 2% sedangka yang ideal lahan pertanian produktif mempunyai kandungan bahan organik sekitar 4% (Alimoeso, 2007) atau lebih baik jika 5% seperti yang dikemukakan di atas. Rendahnya kandungan bahan organik lahan pertanian di Indonesia, mengindikasikan bahwa pertanian di Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh perubahan iklim global.  
Arang merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung karbon yang berbentuk padat dan berpori.  Sebagian besar porinya masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain yang komponennya terdiri dari abu, air, nitrogen dan sulfur. Menurut Ogawa (1989), keuntungan pemberian arang pada lahan sebagai pembangun kesuburan tanah (PKT), yaitu karena arang mempunyai kemampuan dalam memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah, sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar serta memberikan habitat yang baik untuk pertumbuhan tanaman.  Selain dapat meningkatkan pH tanah, arang juga dapat memudahkan terjadinya pembentukan dan peningkatan jumlah spora dari ekto mupun endomikoriza. Suhardi (1998),  mengemukakan bahwa pemberian arang pada tanah selain dapat membangun kesuburan tanah, berfungsi sebagai pengikat.  Hal ini erat kaitannya dengan isu tentang peranan ekosistem hutan (hutan dan tanah) sebagai potensi rosot dalam penyerapan karbondioksida udara, sehingga saat ini dikenal juga dengan istilah ”biochar”.
Arang kompos bioaktif (Arkoba) adalah campuran arang dan kompos hasil proses pengomposan dengan bantuan mikroba lignoselulotik yang tetap hidup di dalam kompos. Mikroba tersebut mempunyai kemampuan  sebagai biofungisida, yaitu melindungi tanaman dari serangan penyakit akar sehingga disebut bioaktif.  Keunggulan lain dari Arkoba adalah sebagai agent pembangun kesuburan tanah, karena arang yang menyatu dalam kompos mampu meningkatkan pH tanah  sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah (Gusmailina dan Komarayati, 2008).  Merupakan produk lanjutan dari arang yang dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai masalah penurunan tingkat kesuburan tanah atau produktivitas lahan di Indonesia.   Tulisan ini merupakan tinjauan tentang prospek arang dan arang kompos sebagai alternatif pilihan untuk mengatasi kerusakan lahan sekaligus mitigasi perubahan iklim, yang didasari  oleh beberapa hasil percobaan yang telah dilakukan di Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor

II.  ARANG SEBAGAI  PKT (Pembangun Kesuburan Tanah)

A.    Arang, fungsi dan manfaatnya
     Arang merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung karbon yang berbentuk padat dan berpori.  Sebagian besar porinya masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain yang komponennya terdiri dari abu, air, nitrogen dan sulfur.  Proses pengarangan akan menentukan dan berpengaruh terhadap kualitas arang yang dihasilkan (Sudradjat dan Soleh, 1994).  Proses pembuatan arang dilakukan dengan cara memanaskan dalam suatu tempat tertutup (kiln) tanpa kontak dengan udara langsung pada suhu 400 – 600 oC.  Kiln dapat terbuat dari bata, logam, atau tanah liat.  Pembuatan arang pada prinsipnya hampir sama di beberapa negara (Pari dan Nurhayati, 1997).  Perbedaannya hanya pada  disain dan model tungku yang digunakan, namun tujuannya sama yaitu untuk mendapatkan arang yang berkualitas tinggi.  Di Jepang arang kayu dibedakan dalam 2 kategori yaitu, arang keras dan arang lunak.  Arang keras dibuat pada temperatur 1000oC. Dengan sifat keras karena mengalami suatu masa karbonisasi sama.  Sedangkan arang tidak keras terbentuk dari proses pembakaran 400 – 700 oC, lebih lembut dari arang keras dengan masa karbonisasi yang tidak sama.  Untuk penggunaan di bidang pertanian, adalah arang yang tidak keras.  Untuk itu bahan yang digunakan sebagai bahan baku biasanya berasal dari limbah.
           Arang mempunyai pori yang jika diberikan ke dalam tanah sangat efektif untuk mengikat dan menyimpan hara tanah.  Kemudian akan dilepaskan secara perlahan sesuai konsumsi dan kebutuhan tanaman (slow release).  Selain itu arang bersifat  higroskopis sehingga hara dalam tanah tidak mudah tercuci dan lahan berada dalam keadaan siap pakai.  Manfaat arang secara terpadu di bidang pertanian antara lain: mem-perbaiki dan meningkatkan kondisii tanah, meningkatkan aliran air tanah, mendorong pertumbuhan akar tanaman, menyerap residu pestisida dan kelebihan pupuk dalam tanah, meningkatkan bakteri tanah serta sebagai media mikro-organisme untuk simbiosis, mencegah penyakit tertentu, serta meningkatkan rasa buah dan produksi  (Anonimus, 2002).  Di bidang pertanian arang dapat digunakan untuk menaikkan pH tanah dari asam ke tingkat netral yang biasanya dilakukan dengan  menambahkan kapur pertanian yang mengandung senyawa Ca dan Mg ke dalam tanah, sehingga dapat mengurangi dan menetralkan sifat racun dari Al serta akibat buruk  lainnya akibat kondisi tanah yang asam.  Karena sifatnya juga arang dapat digunakan sebagai agen untuk meningkatkan pH tanah, oleh sebab itu arang baik digunakan untuk lahan-lahan marginal yang tersebar luas di Indonesia.  Selain itu arang dapat memperbaiki struktur, tekstur, serta aerasi dan drainase tanah, sehingga  dapat memacu perkembangan mikroorganisme penting dalam tanah.  Dengan demikian pemberian arang pada tanah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.  Jika struktur dan tekstur tanah baik, maka kehidupan mikroorganisme tanah yang berperan juga akan berkembang lebih baik, sehingga memudahkan pembentukan dan peningkatan jumlah spora dari ekto mupun endomikoriza.    
JDFDA (1994), melaporkan bahwa pemberian arang dan kalsium posfat secara bersamaan pada beberapa jenis tanaman kehutanan dapat meningkatkan populasi mikoriza 4 kali lebih banyak dibanding tanpa pemberian arang. Di Jepang, penggunaan arang dapat meningkatkan produksi padi sampai 50 %.  Selain itu penggunaan arang dapat menambah jumlah daun serta memperluas tajuk pohon tanaman hutan kota, sehingga efektif untuk mengurangi serta menurunkan polusi dan suhu udara melalui penyerapan CO2 udara (Japan Domestic Fuel Dealers Association/JDFDA, 1994).  Pada tanaman Pinus, secara nyata meningkatkan pembentukan cabang dan daun.  Demikian juga pada tanaman bambu dapat meningkatkan jumlah anakan.  Di Indonesia,  Faridah (1996), menyimpulkan bahwa pemberian serbuk arang pada kadar 10 % volume media berpengaruh positif terhadap pertumbuhan awal tinggi semai kapur (Dryobalanops sp).    Sunarno dan Faiz  (1997) menyarankan pemberian arang sekam padi sebagai bahan utama media semai di dalam pot tray sebagai alternatif pengganti  gambut.
           Menurut para ahli, miliaran ton karbon yang lepas dari penguraian biomassa sisa pertanian, perkebunana dan kehutanan dapat di simpan dalam tanah di dunia. Karbon yang tersimpan di dalam pori arang atau saat ini lebih dikenal dengan ”BIOCHAR”, merupakan alternatif penting untuk mengatasi emisi gas rumah kaca.  Biochar muncul untuk mengunci karbon dalam waktu lebih lama, dapat selama 15 sampai 20 tahun, bahkan informasi terakhir mengemukakan bahwa biochar dapat menjadi store dalam tanah setidaknya 100 tahun, bahkan beberapa ahli mengatakan lebih dari 5000 tahun (http://www.airterra.ca/biochar).
Gambar Arang dengan pori-pori pada permukaan yang berfungsi sebagai penjerap dan penyerap (sequester) CO2 dan gas rumah kaca lainnya di dalam tanah, serta berfungsi  juga sebagai ‘soil amandement’
 
charcoal-pores-1 


Komponen hara yang terkandung pada ASG (Arang Serbuk Gergaji)
    
           Komposisi arang umumnya terdiri dari air, volatile matter, tar dan cuka kayu, abu, dan karbon terikat.  Komposisi tersebut tergantung dari jenis bahan baku, dan metode pengarangan, namun tetap memiliki keunggulan komparatif pada setiap penggunaan.  Misalnya pada pertanian kesemua unsur sangat diperlukan, namun di bidang industri kandungan air diharapkan seminimal mungkin (Anonimus, 2002).     Kandungan hara yang terdapat pada arang serbuk gergaji bergantung kepada bahan baku serbuk gergaji.  Secara umum arang yang dihasilkan dari serbuk gergaji campuran mempunyai kandungan hara N berkisar antara 0,3 sampai 0,6 %; kandungan P total dan P tersedia berkisar antara 200 sampai 500 ppm dan 30 sampai 70 ppm ; kandungan hara K berkisar antara 0,9 sampai 3 meq/100 gram; kandungan hara Ca berkisar antara 1 sampai 15 meq/100 gram; dan kandungan hara Mg berkisar antara 0,9 sampai 12 meq/100 gram (Gusmailina dkk. 1999). 
Tabel 1.  Komposisi dan kualitas ASG
No
Karakteristik
Jumlah
1
Rendemen,  %
24,5 
2
Kadar air,  %
2,78
3
Kadar abu,  %
5,74
4
Kadar zat terbang,  %
20,10
5
Kadar karbon,  %
74,16
6
Derajat keasaman  (pH)
10,20

Kandungan unsur hara,  ppm

7
Nitrogen  (N)
5397,60
8
Fosfor  (P)
1476,0
9
Kalium  (K)
783,13
10
Natrium  (Na)
313,69
11
Kalsium  (Ca)
1506,03
12
Magnesium  (Mg)
1234,0
13
Besi  (Fe)
1617,6
14
Tembaga  (Cu)
103,64
15
Seng  (Zn)
62,32
16
Mangan  (Mn)
112,95
17
Belerang  (S)
528,92


B.     Meningkatkan pH tanah dan aktivitas mikrorganisme tanah

Kondisi lahan yang rusak (kritis) mempunyai pH yang masam (rendah), keadaan ini tidak memungkinkan bagi aktif dan berkembangnya mikroorganisme tanah, sehingga lahan menjadi mati dan unsur hara tidak tersedia bagi tumbuhan.  Pemberian arang pada tanah dapat meningkatkan pH tanah menjadi normal sehingga aktivitas mikroorganisme tanah dapat hidup dan berkembang kembali.  Pada Gambar 1 dapat dilihat pengaruh penambahan arang terhadap peningkatan pH tanah dan aktivitas mikroorganisme di dalam tanah.








 










                                    A                                                                     B

Gambar 1.  Pengaruh penambahan arang terhadap peningakatan pH tanah (A) dan perkembangan     
                   mikroorganisme tanah  (B)
Keterangan :  AKT = Arang kulit tusam ; AKM = Arang kulit mangium
                      (SB= soil bacteria; NFB = Nitrogen Fixing bacteria)

C.    Arang memacu pertumbuhan anakan

Aplikasi arang memberikan respon positif, baik terhadap tinggi tanaman maupun diameter batang tanaman Acacia mangium sampai umur 1,5 bulan (Gambar 2 ).  Pemberian arang sebagai campuran media semai tanaman secara nyata meningkatkan diameter batang Eucalyptus urophylla.

           Cm   
           
Gambar 2.  Pengaruh pemberian beberapa jenis arang terhadap pertumbuhan diameter batang                          
                                       tanaman E urophylla  (Sumber:  Gusmailina, dkk. 1999)
                   Keterangan :  ASP = arang sekam padi; ASG =  arang serbuk gergaji;  AB =  arang bambu
                                                  ASR = Arang serasah daun;  AJ = Arang limbah jati; K =  control
Penambahan 20 % beberapa jenis arang menunjukkan bahwa media yang dicampur dengan arang serasah memberikan respon terbaik, kemudian diikuti oleh perlakuan  penambahan arang sekam padi.  Demikian juga perlakuan penambahan 30 %, menunjukkan bahwa pertumbuhan anakan lebih baik pada media yang dicampur dengan arang serasah.      Hasil sementara aplikasi arang pada tanaman Eucalyptus urophylla di lapangan sampai umur 15 bulan  menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan tinggi pada perlakuan penambahan arang isban memberikan hasil yang lebih baik dibanding ASG.  Gambaran hasil secara umum hingga saat ini menunjukkan bahwa pemberian arang baik sebagai campuran media, ataupun di lapangan memiliki prospek untuk dikembangkan.  Pemberian arang berpengaruh  baik terhadap pertumbuhan tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus urophylla.  Serbuk  gergaji dan serasah merupakan bahan baku yang potensial dan mempunyai prospek yang baik serta dapat disarankan sebagai arang untuk PKT.

III.  PENERAPAN TEKNOLOGI ARKOBA (ARANG KOMPOS BIOAKTIF) SAMPAH KOTA DI TPA; SUATU ALTERNATIF REDUKSI EMISI DAN PEMANASAN GLOBAL


A.  Arkoba (Arang Kompos Bioaktif)

Arang kompos bioaktif (Arkoba) adalah campuran arang dan kompos hasil proses pengomposan dengan bantuan mikroba lignoselulotik yang tetap hidup di dalam kompos. Mikroba tersebut mempunyai kemampuan  sebagai biofungisida, yaitu melindungi tanaman dari serangan penyakit akar sehingga disebut bioaktif.  Keunggulan lain dari Arkoba adalah sebagai agent pembangun kesuburan tanah, karena arang yang menyatu dalam kompos mampu meningkatkan pH tanah  sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah (Gusmailina dan Komarayati, 2008).  Merupakan produk lanjutan dari arang yang dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai masalah penurunan tingkat kesuburan tanah atau produktivitas lahan di Indonesia.   

B.  Pemanasan Global 
Pemanasan global merupakan kondisi yang diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi GRK (gas rumah kaca) di atmosfir yang diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia.  Selain itu pertambahan populasi penduduk dan pesatnya pertumbuhan teknologi dan industri juga memberikan kontribusi besar pada pertambahan GRK.  Salah satu GRK yang berasal dari tempat pembuangan sampah akhir (TPA) dengan sistem landfill adalah CH4   (metana) yang dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik sampah secara alami. Sekalipun keberadaannya di atmosfir lebih sedikit dibanding dengan CO2  (karbondioksida) tetapi memiliki potensi pemanasan global 21 kali lebih besar dari pada CO2.  Sehingga pengomposan merupakan salah satu alternatif untuk mengendalikan emisi gas metana dari TPA.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan pada tahun 2004 telah melakukan kegiatan pembuatan Arang kompos bioaktif (Arkoba) di TPA  Bangkonol, Pandeglang.  Arkoba yang dihasilkan selanjutnya diaplikasikan di beberapa lokasi lahan Gerhan (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan). 

Di Indonesia, GRK yang berasal dari aktivitas manusia dapat dibedakan atas beberapa hal.  Pada Tabel 1 dapat dilihat sumber penghasil GRK dari beberapa aktivitas  antara lain: (1) kerusakan hutan termasuk perubahan tata guna lahan, (2) pemanfaatan energi fosil, (3) pertanian dan peternakan, serta (4) sampah.  Pertanian, peternakan serta sampah berperan sebagai penyumbang GRK berupa gas metana (CH4) yang  memiliki potensi pemanasan global 21 kali lebih besar dari pada gas karbondioksida/CO2 (Suprihatin, dkk., 2003).  Emisi CH4 dari sampah berasal dari proses dekomposisi bahan organik sampah secara alami di lokasi tempat pembuangan sampah akhir (TPA).  Sehingga pengomposan merupakan salah satu alternatif untuk mengendalikan emisi gas metana dari TPA.

Tabel 2.  Gas rumah kaca penting, sumber dan kontribusinya terhadap peningkatan efek rumah kaca

Senyawa

Sumber
Kontribusi relative terhadap efek gas rumah kaca, %
Hanks (1996)
Porteus (1992)
CO2
Pembakaran bahan bakar fosil, penebangan hutan
60
50
CH4
Peternakan. dekomposisi sampah, lahan persawahan, gambut, dan lain-lain
15
20
NOx
Industri pupuk
5
5 (mencakup uap air)
CFC
AC, refrigerator, busa aerosol
12
15
O3
Konversi polutan otomobil oleh sinar matahari
8
10
Sumber Suprihatin, dkk., (2003)

C.  TPA Sebagai Emitter GRK, Salah Satu Pemicu Pemanasan Global
 
             Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 450 TPA yang berpotensi sebagai sumber emisi gas metana. Sebagai contoh, sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah organik 56 persen akan menghasilkan gas metana 21.000 ton setiap tahunnya atau setara dengan CO2 486.500 ton.  Masyarakat Eropa sepakat bahwa pada tahun 2005 tidak membuang sampah organiknya langsung ke TPA. Sampah organik diolah terlebih dahulu agar gas tidak diproduksi dalam jumlah besar. Pengolahan dapat berupa insinerasi, pengomposan, dan produksi biogas.  Pengomposan adalah proses yang dipilih oleh Global Environment Facility yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia untuk mereduksi produksi GRK sekaligus untuk membantu perbaikan sistem pengelolaan sampah di Indonesia.  
Pada tahun 2008 produksi sampah di Indonesia diperkirakan mencapai 167 ribu ton/hari yang dihasilkan dari 220 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia atau sama dengan 800 gram/hari/orang (Laksono, 2008). Dari volume sampah tersebut diperkirakan akan menghasilkan gas metana sebanyak 8.800 ton/hari. Volume tersebut dapat meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca sebesar 745,2Gg (giga gram).  Jika produksi rata-rata gas metana adalah 235 L per kg sampah, dimana 80 persen sampah ditimbun di TPA, maka sebanyak 0,5 juta ton metana (setara 12,8 juta ton CO2) dihasilkan dari TPA. Akan tetapi meskipun konstribusinya  terhitung kecil, daya rusak gas metana terhadap lapisan ozon 21 kali lebih kuat dibandingkan dengan karbondioksida/CO2 (Houghton, et al.,1990).
Berdasarkan data dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH),  pada tahun 2008 sampah yang diolah menjadi kompos hanya sekitar 5 persen atau 12.800 ton/hari.  Apabila dikelola dengan baik maka sampah akan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan Negara (Laksono, 2008)

D.  Estimasi Emisi Metana di TPA

Di TPA, bahan organik terdekomposisi secara alami menjadi CH4, karbon dioksida (CO2), dan sejumlah kecil N2, H2, H2S, H2O (Morissoy and John, 1998). Saat ini belum banyak penelitian yang mendalam tentang reaksi perombakan sampah. Estimasi pembentukan gas sebagai fungsi dari waktu sering dilakukan dengan bantuan model matematis. Karena struktur landfill di TPA tidak homogen, sehingga model tersebut  hanya merupakan dasar matematis.  Suatu model dari Abwasser Technische Vereinigung (ATV) (Anonim, 1989) sering digunakan untuk untuk menduga produksi gas metana dari sludge yaitu :
            Ge = 1.868Co(0,014T+0,28)
dengan Ge = volume gas yang terbentuk (m3),
            Co = karbon organik (kg/t sampah, tipikal 200 kg/t), dan
              T = temperatur (oC, tipikal 40 oC untuk kondisi landfill).
Abwasser Technische Vereinigung (ATV) (Anonimus, 1989) juga mengemukakan model lain yang dipercaya dan cukup handal untuk keperluan praktis yaitu :
              Gt = Ge(1 – 10 –k . t) dalam m3 gas/t sampah
dengan Gt = volume gas yang terbentuk m3 gas/t sampah 
              k = konstanta degradasi (tipikal untuk landfill: 0,03 - 0,06), dan
               t = waktu (tahun).
Dikemukakan bahwa struktur model tersebut masih memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk verifikasi, terutama berkaitan dengan kondisi riil proses dekomposisi sampah. Dengan bantuan model tersebut dapat dilakukan estimasi produksi gas dengan menggunakan berbagai parameter.  Pada Gambar 1 dapat dilihat estimasi emisi metana dari sampah di beberapa landfill TPA se Jabotabek (Suprihatin, dkk., 2003).


Gambar 3.  Estimasi emisi metana pada berbagai tingat persentase sampah yang ditimbun di landfill TPA di Jabotabek (Suprihatin, dkk., 2003).

Di dalam Abwasser Technische Vereinigung (ATV) (Anonimus, 1989) menjelaskan bahwa jumlah dan komposisi gas yang dihasilkan sangat ditentukan oleh karakteristik sampah. Sebagai contoh, produksi gas spesifik teoritis untuk karbohidrat adalah 0,8 Nm3/kg dengan kandungan CH4 50 %, sedangkan untuk lemak dan protein masing-masing 0,7 and 1,2 Nm3/kg dengan kandungan CH4 70 dan 67 %. Karena komposisi sampah pada dasarnya tidak seragam, produksi gas spesifik dan komposisi gas dari suatu landfill di TPA dapat berbeda dari TPA lainnya. Di sebutkan juga bahwa potensi pembentukan gas dari dekomposisi sampah di TPA berkisar antara 150 dan 250 m3 gas/t (Anonimus, 1989) atau 0 – 300 m3 CH4/t sampah (Yusrizal, 2000).
Menurut Henry and Heinke (1996), estimasi produksi gas teoritis dapat mencapai 200-270 L CH4 per kg sampah, tergantung pada karakteristik sampah dan kondisi fisik TPA, temperatur dan kelembaban. Sebagi contoh jika digunakan nilai produksi gas spesifik rata-rata 235 L CH4/kg sampah dan 80 % sampah di Jabotabek dibuang ke TPA, maka sebanyak 0,5 juta ton metana per tahun akan terbentuk di TPA. Jumlah produksi metana ini akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan jumlah produksi sampah. Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa perkiraan emisi metana pada tahun 2015 mencapai 1,3 ton metana/tahun, jika tidak dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian.  

E.  Potensi Kontribusi Pengomposan Sampah Terhadap Reduksi Emisi CH4

Pengomposan sampah merupakan salah satu target alternatif untuk mereduksi emisi metana dari TPA.  Jika produksi kompos sebesar 100.000 ton per tahun, maka dapat mereduksi emisi gas rumah kaca sebesar 600.000 ton karbon dioksida ekuivalen per tahun (Anonimus, 1989).  Menurut Henry and Heinke (1996), dari pengomposan 1,9 ton sampah dapat dihasilkan satu ton kompos, sedangkan satu ton sampah jika ditimbun di landfill dapat menghasilkan 0,20-0,27 m3 CH4. Metana memiliki densitas 0,5547 g/L. Dengan demikian, dengan menghasilkan satu ton kompos, emisi gas rumah kaca sebesar 0,21- 0,29 ton CH4 atau 5-7 ton CO2 ekuivalen dapat dicegah. Hubungan antara emisi metana dan produksi kompos dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 4. Hubungan antara reduksi emisi metana dan tingkat produksi kompos
(Suprihatin, dkk., 2003)


Jika 2 ton sampah dikonversi menjadi 1 ton kompos, maka emisi sebesar 0,2-0,3 ton CH4 dapat dicegah. Nilai ini setara dengan 5-7 ton CO2. Dengan kata lain produksi kompos telah mereduksi emisi CH4 sebesar 0,2-0,3 ton atau setara dengan 5-7 ton CO2. 

F.  Reduksi CH4 Dari Pembuatan Arang Kompos Bioaktif Di Tpa Bangkonol, Pandeglang

Pembuatan arang kompos bioaktif di TPA Bangkonol, Pandeglang menggunakan sampah organik pasar.  Hampir 60 persen terdiri dari bahan-bahan organik seperti sampah sayuran, buah, pangkasan pohon lindung dari penghijauan kota.  Volume sampah per hari rata-rata mencapai 5-10 ton.  Dalam proses pengomposan volume penyusutan mencapai 50 %,  karena sebagian besar bahan yang digunakan terdiri dari sampah dengan kadar air yang tinggi. Dari 12 ton sampah yang dikomposkan volume akhir menjadi sekitar 6 ton kompos/bulan (mulai proses awal).  Selanjutnya arang kompos dikemas dalam karung sebanyak 110 karung dengan bobot masing-masing karung berkisar antara 50 – 55 kg (Gusmailina, dkk., 2005).   Jika menggunakan persamaan dan estimasi menurut Anonimus (1989), maka dari 6 ton arang kompos yang dihasilkan di TPA Pandeglang, telah mencegah emisi CH4 dari TPA sebesar 6 x 0,3 ton = 1,8 ton CH4, atau setara dengan 30 – 42 ton CO2 atau seharga dengan US $ 150 – 210/bulan (harga minimal), karena pada Protokol Kyoto 1997 salah satunya adalah mengatur kerangka kerja konvensi pada perubahan iklim global, dimana emisi gas rumah kaca dapat diperdagangkan, meskipun reduksi emisi gas rumah kaca memerlukan verifikasi dan sertifikasi. Harga reduksi emisi tersebut berkisar US$ 5 to 20 per ton CO2 (Soemarwoto, 2001).
Jika di TPA Bangkonol, Pandeglang kontinyu menghasilkan minimal kompos 6 ton per bulan, maka akan dihasilkan kompos 72 ton kompos per tahun.  Berarti dari TPA, Bangkonol Pandeglang dapat mencegah emisi metan sebesar 21,6 ton CH4, atau setara dengan 108 – 151,2 ton CO2.  Maka volume ini dapat menghasilkan nilai ER (Emissions Reduction) minimal per tahun sebesar US $ 540 – 756.  Nilai ER ini kemudian dapat digunakan sebagai sumber dana untuk menjamin kesinambungan pengelolaan sampah yang baik (sustainable municipal solids waste management).

G.  Analisis Kandungan Unsur Hara Arang Kompos Bioaktif (ARKOBA)
            Dari beberapa percobaan yang telah dilakukan, kualitas Arkoba bervariasi tergantung dari bahan baku yang dipakai, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2 berikut yang dibandingkan dengan kompos biasa.
Tabel 3. Kandungan unsur hara kompos (K), Arkoba serbuk gergaji, dan arkoba serbuk gergaji + jerami padi sebagai campuran media tumbuh anakan bulian (E. Zwageri) dan  gaharu (A. Malaccensis)
No.
Parameter
Nilai
Standar
 *)
Kompos
ASG
ASGJ
1
pH  (1 : 1,25)
7,10
7,30
7,20
7,30
2
Kadar air , %
19,63
23,03
24,13
24,90

3
C organik, %
11,46
32,45
34,98
19,60
4
Nitrogen total, %
0,6
1,53
1,78
1,10
5
Nisbah C/N (C/N ratio)
19,1
21,20
19,65
10-20
6
P2O5 total, %
0,23
2,12
2,16
1,80
7
CaO total, %
0,43
0,97
0,83
2,70
8
MgO total, %
0,37
1,67
1,61
1,60
9
K2O total, %
0,51
2,19
2,34
1,40
10
KTK, meq/100 gr
21,32
36,42
36,61
30,00







Keterangan (Remarks): ASG Arkoba serbuk gergaji (sawdust bioactive charcoal compost ); ASGJ Arkoba serbuk gergaji + jerami padi (sawdust +rice straw bioactive charcoal compost);  *) Anonim (2000)

Pada Tabel 1 diketahui bahwa secara umum kualitas arkoba ASGJ sedikit lebih baik dari arkoba ASG dan kompos.  Hal ini dapat dilihat dari total kandungan C-organik, Nitrogen, Posfat (P2O5), Kalium (K2O) dan KTK. Kandungan  C-organik ASGJ, ASG, kompos dan standar secara berurut masing-masing 34,98%, 32,45%, 11,46% dan 19,60%.  Jumlah C-organik dalam tanah menunjukkan banyaknya bahan organik yang terkandung, dan itu dapat menentukan tingkat interaksi antara komponen abiotik dan biotik dalam ekosistem tanah.  Menururt Hanafiah et al., (2005), kandungan bahan  organik dalam bentuk C-organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang dari 2 persen. Agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun akibat proses dekomposisi (mineralisasi), penambahan harus diberikan setiap tahun, yaitu pada waktu pengolahan tanah. Selain itu kandungan bahan organik juga berkaitan erat dengan Kapasitas Tukar Kation (KTK), sehingga tanpa penambahan bahan organik tanah akan mengalami degradasi kimia, fisik, dan biologi menyebabkan agregat tanah  merusak  dan menjadi padat  (Anonim 1991). 

IV.  PENUTUP

Penggunaan arang tidak hanya sebagai bahan bakar alternatif, namun secara inovatif dapat diaplikasikan di bidang pertanian, peternakan, maupun pada kehidupan sehari-hari.  Walaupun bukan sebagai pupuk, arang dapat membangun kualitas kondisi tanah baik secara fisik, kimia dan biologi tanah.  
Aplikasi arang pada tanah yang berasal dari limbah sangat sesuai dengan pola pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, karena dapat menbantu menyelesaikan masalah limbah sekaligus memperbaiki lahan-lahan masam dan kritis, serta membuat tanah dalam keadaan stabil.  Karakteristik arang berguna sebagai agent bagi pembangun, penyubur sekaligus  menjaga stabilitas tanah, sehingga arang mempunyai peran sebagai pemberi kehidupan berjangka panjang pada tanah dan tanaman yang tumbuh di atasnya.
     Arang yang bersifat alkalis dapat meningkatkan pH tanah yang masam, mempunyai daya serap yang tinggi terhadap residu pestisida dan sisa pupuk kimia yang berada di dalam tanah, mengandung mineral yang berguna bagi pertumbuhan tanaman, serta mempunyai pori-pori yang luas, sehingga memberikan kondisi yang baik bagi perkembangan mikroorganisme tanah yang diperlukan oleh tanaman.
     Aplikasi arang pada tanah sangat diperlukan di masa sekarang dan masa datang, mengingat sifat dan perannya yang cukup penting.  Oleh sebab itu arang jangan dipandang sebagai komoditi energi dan ekonomi saja, namun memiliki nilai ekologis yang tinggi.  Karena Arang atau ”BIOCHAR” dapat menjadi sumberdaya potensial untuk mitigasi perubahan iklim, karena dapat berfungsi sebagai sequester yang tahan lama, bahkan ratusan tahun. Dengan demikian perlu dikembangkan model pertanian/peternakan dan kehutanan berbasis teknologi arang secara terpadu, sebagai model percontohan inovatif, selain untuk memperbaiki kerusakan lahan juga sebagi komoditi biochar untuk mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global.
Arang kompos bioaktif (Arkoba) adalah campuran arang dan kompos hasil proses pengomposan dengan bantuan mikroba lignoselulotik yang tetap hidup di dalam kompos. Mikroba tersebut mempunyai kemampuan  sebagai biofungisida, yaitu melindungi tanaman dari serangan penyakit akar sehingga disebut bioaktif.  Keunggulan lain dari Arkoba adalah sebagai agent pembangun kesuburan tanah, karena arang yang menyatu dalam kompos mampu meningkatkan pH tanah  sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah (Gusmailina dan Komarayati, 2008).  Merupakan produk lanjutan dari arang yang dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai masalah penurunan tingkat kesuburan tanah atau produktivitas lahan di Indonesia.  Dari 6 ton arang kompos yang telah dihasilkan di TPA Bangkonol Pandeglang, telah dapat mencegah emisi CH4 dari TPA sebesar 1,8 ton/bulan, atau setara dengan 30 – 42 ton CO2 atau seharga dengan US $ 150 – 210/bulan (harga minimal). 
Jika di TPA Bangkonol, Pandeglang kontinyu menghasilkan minimal kompos 6 ton per bulan, maka akan dihasilkan kompos 72 ton per tahun.  Berarti dari TPA, Bangkonol Pandeglang dapat mencegah emisi CH4 sebesar 21,6 ton/tahun, atau setara dengan 108 – 151,2 ton CO2/tahun  Nilai ini dapat menghasilkan ER (Emissions Reduction) minimal per tahun sebesar US $ 540–756, yang kemudian dapat digunakan sebagai sumber dana untuk menjamin kesinambungan pengelolaan sampah yang baik.  Nilai ini tentu akan bertambah lagi dengan hasil penjualan arang kompos bioaktifnya.
Teknologi arang kompos bioaktif dari sampah tidak hanya memberikan keuntungan teknis, tetapi juga memiliki implikasi ekonomis. Hal ini dimungkinkan melalui mekanisme perdagangan gas rumah kaca dengan harga reduksi emisi sebesar US$ 5–20 per ton karbon.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus.  2007.  Climate Change.  The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Summary for Policymakers.  Diakses pada 2 Februari 2007.

Anonimus, 1989.  Abwasser Technische Vereinigung (ATV), Recovery, Processing and Utilization of Biogas,  Korrespondenz Abwasser, 36 (13), pp. 153 – 164, 1989.

Anonim, 2000. Pedoman pengharkatan hara kompos. Laboratorium Natural Products, SEAMEO – BIOTROP. Bogor.
Anonim,  2009.  Siklus mineral. Bahan Kuliah Biotani.  Fakultas MIPA, Universitas Lampung.  Lampung
Clark, W.C.  1990.  Usable knowledge for managing global climate change.  Report.  The Stockholm Environment Institute.  Stockholm.

Gusmailina, G. Pari dan S. Komarayati. 2000. Teknik penggunaan arang sebagai “ Soil Conditioning” pada tanaman. Laporan Proyek Pusat Penelitian Hasil Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Bogor (Tidak diterbitkan).

Gusmailina, G. Pari dan Sri Komarayati. 2002 (a).  Pedoman Pembuatan Arang
             Kompos. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Badan
             Penelitian dan  Pengembangan Kehutanan. Bogor.  ISBN: 979-3132-27

Gusmailina, S. Komarayati ; G. Pari dan D. Hendra. 2002. Arang serbuk gergaji memperbaiki kesuburan tanah. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik. Badan Litbang pertanian.  Jakarta. 2-3 Juli. Hal 43.

Gusmailina, G. Pari dan S. Komarayati. 2002 (b). Kajian Teknis dan Implementasi Produksi POSG (Pupuk Organik Serbuk Gergaji). Laporan Kerjasama antara P3THH Bogor, JIFPRO Jepang, Dinas Kehutanan Propinsi Tk I Jambi dan Koperasi Sawmill Siginjai, Sengeti – Muaro Jambi, Jambi. (Tidak diterbitkan)

Gusmailina, S. Komarayati, G. Pari dan M. Ali. 2005. Mengenal manfaat arang dan arang kompos. 17 Pebruari 2005. Diskusi Intern BP2HT-IBB, Palembang.

Gusmailina, Saepulloh, Mahpudin, dan S. Komarayati.  2006.  Aplikasi dan diseminasi arang kompos bio aktif;  Teknologi inovatif untuk mendukung gerhan dan pembangunan kehutanan yang berkesinambungan.  Gelar Teknologi, Cianjur 13 Desember 2006.  Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Cianjur. 

Gusmailina,  2007.  Mengeliminasi Kemungkinan Kegagalan GERHAN Melalui teknologi
            dan Aplikasi Arang Kompos Bioaktif.  Buku panduan dalam rangka Pelatihan
            Peningkatan Pelatihan peningkatan Kualitas arang Kompos Bioaktif di Kabupaten
            Garut.  12 Desember 2007.  Kerjasama Dinas Kehutanan Kabupaten Garut dengan
            KopKar GEPAK Wira Satria Sejati.

Gusmailina,  2007.  Pembuatan arang dan arang kompos dari limbah PLTB.  Makalah
            pada  Acara Gelar Teknologi Penyiapan Lahan Tanpa Bakar (PLTB).  Palembang 29
            Nopember Kerjasama. Puslitbang Hutan Tanaman dan Balai Penelitian Kehutanan
            Palembang.

Gusmailina dan S. Komarayati.  2008.  Teknologi inovasi penanganan limbah industri pulp
           dan kertas menjadi arang kompos bioaktif.  Prosiding seminar Teknologi Pemanfaatan
           Limbah Industri Pulp dan Kertas Untuk Mengurangi Beban Lingkungan.  Bogor
           24 November. Pusat Penelitian  dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Hal:18-30

Gusmailina,  2009.  Arang kompos bioaktif;  inovasi teknologi pemanfaatan limbah dalam
            rangka menunjang pembangunan kehutanan  yang berkesinambungan.Makalah Gelar
           Teknologi Palembang, 4 Mei 2009.  Kerjasama Puslitbang Hutan Tanaman dan Balai
           Penelitian Kehutanan Palembang. Muara Enim, Palembang.

Gusmailina, S. Komarayati dan G. Pari.  2005.  Pengembangan pembuatan arang kompos dalam rangka menunjang Gerhan  (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) Di  Pandeglang,   Prop. Banten.  Laporan Hasil Penelitian.  Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

Hanks, S., 1996.  Ecology and the Biosphere Journal.  St. Luice Press, Florida, pp. 108-110, 1996.

Henry, J. G., 1996.  Solid wastes (Chapter 14). Environmental Science and Engineering, ed. J. G. Henry and G.W. Heinke, Prentice-Hall International: New Jersey, pp. 567-619,

Houghton, J.T., G.J. Jenkins and J.J. Epharaums, 1990.  Climate change.  The IPCE Scientific Assessment Cambridge University Press.  New York.
Hakim N, M.Y. Nyakpa, A.M Lubis, S.G Nogroho, M.R. Saul, M.A. Diha, Go Bang Hong, H.H. Bailey, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Tanah , Penerbit Universitas Lampung, Lampung

Hanafiah, K. A.,  A. Napoleon, N Ghofur. 2005.  Biologi Tanah Ekologi & Mikrobiologi Tanah.  Penerbit Rajawali Pers. pp184.  Jakarta

Hardjowigeno, 2003, Klasifikasi Tanah Dan Pedogenesis. Penerbit Akademika Presindo,  Jakarta

JDFDA.  1994.  Example of New utilization of charcoal.  Japan Domestic Fuel Dealers   Association.

Komarayati, S., Gusmailina dan G. Pari. 2001. Pemanfaatan limbah kulit kayu dan serasah tusam untuk kompos dan arang kompos. Laporan Hasil Penelitian. Proyek DIK-S. Sumber Dana Reboisasi. Tahun Anggaran 2001. 

Komarayati, S., Gusmailina dan G. Pari. 2002. Pembuatan kompos dan arang kom-pos dari serasah dan kulit kayu tusam. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 20 (3) : 231 – 242. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor.

Komarayati, S., Gusmailina dan G. Pari. 2003. Aplikasi arang kompos pada anakan tusam (Pinus merkusii). Buletin Penelitian Hasil Hutan. 21 (1) : 15 – 21. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

Komarayati, S. 2004. Penggunaan arang kompos pada media tumbuh anakan mahoni. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 22 (4) : 193 – 203. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

Komarayati, S., Gusmailina dan G.Pari. 2004. Application of compost charcoal on two species of forestry plants. Voluntary paper. Proceeding of The International Workshop on “ Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environment” Bogor. 16 -17 Maret.  Pusat Litbang Hasil Hutan dan JIFPRO.


Laksono, T.S.  2009.  Asdep Pengendalian Limbah Domestik Kementrian Negara LH, Jakarta.  (Diskusi langsung).  

Morissoy, W. A. and John, R. J. 1998. Global Climate Change. CRS Issue Brief for Congress. The Committee for the national Institute for the Environmental.  Washington, D. C.

Ogawa, M.  1989.  Mycorrhizza and their utilization in forestry.  Report of Shortterm  Research Cooperation.  The Tropical Rain Forest Research Project JTA-9A (137).  JICA.  Japan.

Porteous, A. 1992. Dictionary of Environmental Science and Technology, 2nd ed. John Wiley and Sons, New York

Soemarwoto, O. 2001. Peluang Berbisnis Lingkungan Hidup Di Pasar Global untuk Pembangunan Berkelanjutan. Makalah Seminar “Kebijakan Perlindungan Lingkungan dan Pembangunan berkelanjutan Indonesia di Era Reformasi dalam Menghadapai KTT Rio. Jakarta, 8 Februari 2001

Suprihatin, N.S. Indrasti dan M. Romli.  2003.  Potensi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca melalui Pengomposan Sampah di Wilayah Jabotabek.  Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Environmental Of Research Center. PPLH-IPB. Bogor

Yusrizal, Z., 2000.  Estimation of methane emission from landifill site Bantar Gebang, Bekasi. Thesis at the Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Bogor Agricultural University (IPB), Bogor. 

1 komentar: