INOVASI CARBON
FARMING DALAM MENGHADAPI BERBAGAI ANCAMAN DAN TANTANGAN GLOBAL *)
Oleh : Gusmailina &
Sri Komarayati**)
Email : gsmlina@gmail.com
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil
Hutan (PUSTEKOLAH), Badan Litbang Kehutanan, Jalan Gunung Batu No. 5. Telp/Fax
(0251) 8633378; 8633413. Bogor.
Email : gsmlina@gmail.com
RINGKASAN
Salah satu cara untuk mendukung
tercapainya berbagai tantangan global, diperlukan inovasi dan pengembangan sistem
budidaya (farming) yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan rendah emisi.
Sistem tersebut selain harus mampu mendukung peningkatan produksi padi, juga
bisa memantapkan ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan, yang berujung
pada meningkatnya kesejahteraan petani dan kelestarian sumberdaya, menurunkan
emisi GRK (gas rumah kaca) sekaligus mengembangkan energi terbarukan. Carbon farming merupakan
metode kultivasi atau budidaya (pertanian, perkebunan atau kehutanan) dengan
cara mengurangi atau menangkap
emisi Gas Rumah Kaca, sekaligus menyimpan tanpa melepaskan
carbon dari tanaman dan tanah. Dalam hal ini termasuk pengelolaan air,
lahan, tumbuhan dan hewan secara terpadu untuk menghadapi tantangan
restorasi, perubahan iklim dan ketahanan pangan dalam mengurangi emisi pada proses produksinya,
sekaligus meningkatkan produksi dan
produktivitas serta penyerapan karbon dalam sistim
lansekap areal budidaya. Aplikasi biocham (biochar soil amandement) atau
biochar pembangun kesuburan tanah atau juga dengan kata lain arang sebagai
pembangun kesuburan tanah, merupakan cara peningkatan kualitas tanah secara
permanen. Banyak studi yang telah
dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri menunjukkan bahwa biochar/arang
merupakan aktor penting untuk mengatasi berbagai krisis secara mudah dan murah. Pustekolah sejak tahun 1998 telah melakukan
serangkain penelitian dan uji coba serta sosialisasi di lapangan baik
perorangan maupun secara kelompok tentang aplikasi arang (karbon) pada berbagai
jenis tumbuhan. Hasil yang diperoleh
menyimpulkan bahwa peranan arang dalam rangkaian sistem kultivasi/farming
(budidaya) sangat signifikan dalam meningkatkan produksi dan produktivitas
lahan.
Kata kunci : karbon, arang,
farming, tantangan global, inovasi
==============================================================================
*) Disampaikan
sebagai makalah poster pada Seminar Hasil Penelitian dan Presentasi
Teknisi 26-27 November 2014 di Ball Room
IPB, International Convention Center (IICC) ”Botani Square” Bogor.
**) Peneliti pada PUSTEKOLAH (Pusat Litbang
Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan), Badan Litbang Kehutanan, Kementerian
Kehutanan. Jalan Gunung Batu
No. 5. Telp/Fax (0251) 8633378; 8633413. Bogor.
Email : gsmlina@gmail.com
I. PENDAHULUAN
Komitmen bangsa Indonesia yang disampaikan oleh presiden RI pada acara G-20
Leaders Summit di Pittsburgh (USA), serta saat COP-15 di Copenhagen, Denmark
akan berupaya menurunkan emisi nasional sebesar 26% dengan kemampuan sendiri
serta dengan dukungan dunia internasional maka Indonesia mampu menurunkan 41%
emisi nasional pada tahun 2020 (Sugardiman, 2013). Lebih lanjut dikemukakan bahwa ternyata
pembangunan Indonesia masih bertumpu pada penggunaan (alih) lahan dimana mengkonversi
tutupan hutan menjadi bukan tutupan hutan.
Berbeda dengan kondisi emisi total dunia yang bersumber dari
energi/power sebesar 24%, industri 14%, transportasi 14%, sedangkan perubahan lahan
hanya 14%. Berdasarkan Peraturan Presiden
RI nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca (RAN-GRK), bahwa target penurunan emisi dari sektor kehutanan dan lahan
gambut sebesar 0,672 gg ton CO2 atau 87,60%, sementara emisi sektor
kehutanan dan lahan gambut pada Indonesia Second National Communication tahun
2010 hanya 59,60%. Sehingga sesungguhnya
besar peran kehutanan untuk nasional karena mampu membantu menurunkan emisi
nasional secara nyata melalui penyerapan atau sink (sequestration).
Carbon farming adalah sistim pengelolaan
lahan dan budidaya tanaman berbasis carbon.
Carbon dalam bentuk arang dihasilkan dari proses karbonisasi yang juga dikenal
dengan istilah biochar atau disebut juga biochar soil amandement (biocham).
Biocham jika diaplikasikan ke dalam tanah mempunyai peran yang sangat besar
dalam membangun kesuburan lahan dan mitigasi emisi. Bahkan di beberapa negara, selain untuk
membangun kesuburan lahan, juga menjadi solusi dalam mengentaskan kemiskinan
dan kesehatan masyarakat, yang berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Sistim carbon farming dapat meningkatkan
ketersediaan kation utama dan fosfor, total nitrogen, dan kapasitas tukar
kation tanah. Ketersediaan hara yang cukup bagi tanaman merupakan dampak dari
bertambahnya nutrisi secara langsung dari aplikasi biochar dan meningkatnya
retensi hara, di samping perubahan dinamika mikroba tanah. Keuntungan jangka
panjang dari carbon farming bagi ketersediaan hara tanaman berhubungan dengan
stabilisasi karbon organik yang lebih tinggi dibanding bahan organik yang biasa
digunakan dalam budi daya tanaman. Sebagai deposit karbon di tanah,
biochar bekerja dengan cara mengikat dan menyimpan CO2 dari udara
agar mencegah terlepas ke atmosfir. Kandungan karbon yang terikat dalam tanah
jumlahnya besar dan tersimpan hingga waktu yang lama, diperkirakan ratusan
hingga ribuan tahun. Para ilmuwan
menyatakan bahwa untuk area 250 ha mampu mengikat 1900 ton CO2 dalam
setahun.
II. ANCAMAN DAN TANTANGAN GLOBAL
Indonesia
sangat rentan terhadap naiknya permukaan air laut dan banjir, dengan pola cuaca
yang tidak menentu tersebut tentu akan berdampak pada produksi pertanian,
perkebunan, perikanan bahkan kehutanan yang menjadi penopang hidup masyarakat. sementra pada saat yang bersamaan, Indonesia juga
menjadi kontributor emisi global gas rumah kaca yang cukup signifikan. Di sektor pertanian, Indonesia dihadapkan
pada tantangan meningkatkan produksi, memantapkan ketahanan pangan,
meningkatkan kesejahteraan petani, keberlanjutan (sustainability), kelestarian sumberdaya,
dan tercapainya MDG’s (penurunan angka kemiskinan, pengangguran dan rawan
pangan). Pada skala global, sektor budidaya (farming) terutama pertanian
dituntut untuk meningkatkan kepedulian terhadap ancaman pemanasan global
melalui usaha adaptasi dan mitigasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Untuk mendukung tercapainya tantangan
tersebut, diperlukan pengembangan sistem budidaya (farming) yang berkelanjutan,
ramah lingkungan, dan rendah emisi. Sistem tersebut harus mampu mendukung
peningkatan produksi padi, dapat memantapkan ketahanan pangan nasional yang
berkelanjutan, yang berujung pada meningkatnya kesejahteraan petani dan
kelestarian sumberdaya, menurunkan emisi GRK serta mengembangkan pengembangan
energi terbarukan.
A. Ancaman dan Tantangan
Karbon
yang terlepas (carbon
emision) di udara bebas akan mengakibatkan suhu permukaan laut
meningkat. Peningkatan suhu muka air laut ini akan meningkatkan
pencairan es kutub. Pada abad 20 diperkirakan permukaan air laut naik sebesar
0,17 m, dan pada tahun 2100 diperkirakan akan naik sebesar 0,18 – 0,59 m.
Besarnya kenaikan muka air laut tersebut tergantung dari kecepatan pencairan es
di kutub selatan / utara (Bindoff et al, 2007).
Untuk menanggulangi global
warming berdasarkan Protokol Kyoto, menempatkan beban tanggung
jawab paling banyak kepada negara-negara maju untuk membatasi emisi karbon,
dimana golongan tersebut kemudian disebut sebagai golongan Annex I. Untuk
Negara-negara berkembang, yang selanjutnya di sebut golongan Non Annex I tidak
dikenai kewajiban untuk membatasi emisi karbon, sehingga kebijakan ini
diharapkan tetap dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara
berkembang. Pembatasan tingkat emisi karbon pada suatu negara kemudian
dituangkan dalam bentuk sertifikat dimana ilustrasi konsepnya, apa bila setiap
orang diperbolehkan maksimal merokok lima batang maka setiap orang mendapatkan
sertifikat / ijin untuk lima batang rokok tersebut. Namun apa bila ada orang
yang mau merokok lebih dari lima batang, maka dia diwajibkan membeli sertifikat
dari pihak lain. Dengan membeli sertifikat tersebut maka pembeli sertifikat
dapat merokok lebih dari lima batang, sedangkan pihak yang telah dibeli
sertifikatnya tidak boleh merokok sebanyak lima batang, atau berkurang sebesar
nilai sertifikat yang dijualnya.
Jual
beli karbon ini juga diperbolehkan untuk kawasan hutan, khususnya hutan
produksi. Suatu negara dapat membeli tegakan hutan (sertifikat karbon dari
hutan) agar tidak ditebang (diambil kayunya), sehingga hutan tersebut tidak
melepaskan karbon ke udara bebas. Kesulitan yang paling besar adalah penentuan
nilai atau harga karbon yang terkandung di dalamnya. Salah satu cara untuk
mengestimasi nilai kandungan karbon adalah dengan melakukan penaksiran terhadap
shadow price
tegakan hutan apabila dipakai sebagai penghasil kayu. Hal ini karena apabila hutan
produksi tidak ditebang, maka tidak dapat menghasilkan kayu sehingga pendapatan
nasional dari sub sektor kehutanan akan terhenti, karena semua proses
penebangan dan efek domino dari hasil pengolahan kayu tidak berjalan lagi.
Shadow
Price dari hutan produksi yaitu berupa biaya akibat dari
kesempatan yang hilang apabila hutan tersebut digunakan oleh pengusaha sebagai
penghasil kayu hutan. Konsep Shadow
Price yang dimaksudkan sama dengan biaya kesempatan yang hilang (Opportunity Cost),
dimana suatu usaha harus mempertimbangkan pada alternatif peruntukan lain,
sebagai nilai biaya suatu usaha tersebut. Untuk itu, seharusnya nilai / harga
karbon yang dihasilkan dari hutan produksi akan dihargai berbeda dengan nilai /
harga karbon yang berasal dari tempat lain seperti dari hutan desa /hutan adat,
atau dari areal pertanian yang sengaja dibiarkan untuk menyerap karbon. Hal ini
karena adanya perbedaan biaya kesempatan yang hilang dari masing-masing kondisi
wilayah tersebut.
Nilai
jual karbon di masing-masing wilayah berbeda-beda, tergantung dari negosiasi
antara pembeli dan penjualnya. Sebagai contohnya, studi di Harda, India,
menyebutkan bahwa dalam sebuah desa yang wilayahnya mempunyai areal hutan
kering campur seluas 11.000 Ha, mempunyai potensi penyerapan karbon sebesar 3,4
ton tiap hektar. Setiap ton karbon dihargai dengan nilai 10 dolar US. Studi
lain, menyebutkan sebuah proyek yang terjadi di Mexico. Proyek tersebut
melibatkan 400 petani yang kegiatannya adalah merubah kebun campur menjadi
tanaman kayu yang diperhitungkan mampu menyerap karbon sebesar 17.000 ton,
dengan kisaran harga 10-12 dolar AS per ton.
Peralihan
fungsi hutan dari tujuan penghasil kayu menjadi penyerap karbon akan memberikan
beberapa dampak, khususnya kepada pendapatan yang selama ini diterima oleh
pemerintah, berupa pungutan (iuran) hasil hutan, dan sektor swasta khususnya
sektor industri kehutanan serta masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan
hutan tersebut. Apabila hutan digunakan untuk penangkap karbon, maka hutan
tidak boleh ditebang, atau ada pembatasan jumlah tebangan sehingga pendapatan
sub sektor kehutanan akan terhenti khususnya dari proses penebangan kayu
tersebut sampai dengan industri hilirnya, yang pada akhirnya dapat dijadikan shadow price dari
penjualan tegakan hutan sebagai areal penyimpan karbon. Permasalahan yang
timbul adalah belum diketahuinya kandungan karbon pada tegakan Hutan Produksi
dan besarnya nilai shadow
price/opportunity cost pada tegakan tersebut.
B. Indonesian carbon efficient farming
(ICEF)
Indonesia perlu mengembangkan sistem Indonesian
carbon efficient farming atau pertanian efisien karbon atau sama juga dengan
pertanian hijau (green farming) yaitu sistem pertanian yang memanfaatkan secara
optimal karbon yang dikandung oleh bahan organik sisa tanaman dan limbah ternak
sehingga memberikan nilai tambah berupa peningkatan produktivitas, pendapatan, dan efisiensi energi serta penurunan emisi gas
rumah kaca serta perbaikan lingkungan. Komponen utama ICEF adalah pemanfaatan
hasil samping (by product)
pertanian, perkebunan maupun kehutanan serta mengintegrasikan beberapa sub
sistem untuk meningkatkan nilai tambah tersebut menjadi pupuk organik, pembenah
tanah (arang atau kompos), pakan ternak dan bahan bakar terbarukan. Sistem ini
perlu dikembangkan lebih jauh karena saat ini hanya baru mulai dikembangkan pada
sistem pertanian, namun perlu dikembangkan juga pada perkebunan dan kehutanan.
III. INOVASI CARBON FARMING
A. Carbon farming
Carbon farming merupakan metode kultivasi atau budidaya
(pertanian, perkebunan atau kehutanan) berbasis karbon (arang) dengan tujuan
untuk mengurangi atau menangkap
emisi Gas Rumah Kaca, sekaligus menyimpan tanpa melepaskan
carbon dari tanaman dan tanah. Dalam hal ini termasuk pengelolaan air,
lahan, tumbuhan dan hewan secara terpadu untuk menghadapi tantangan
restorasi, perubahan iklim serta ketahanan pangan dalam mengurangi emisi pada
proses produksinya, sekaligus
meningkatkan produksi dan produktivitas serta penyerapan
karbon dalam sistim lansekap areal budidaya.
Aplikasi
biocham (biochar soil amandement) atau biochar pembangun kesuburan tanah atau
juga dengan kata lain arang sebagai pembangun kesuburan tanah, merupakan cara
peningkatan kualitas tanah secara permanen.
Banyak studi yang telah dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri
menunjukkan bahwa biochar/arang merupakan aktor penting untuk mengatasi
berbagai krisis secara mudah dan murah.
Sesungguhnya Carbon farming
itu pertanian simpel, hanya bertani
dengan mengandalkan carbon/arang lalu selanjutnya akan
memberikan dampak terhadap pengurangan emisi atau menangkap GRK kemudian tersimpan pada vegetasi dan tanah. Sistem ini akan berpengaruh terhadap sistem
pengelolaan lahan, air, tumbuhan dan hewan untuk menjawab 3 tantangan
(Triple challenge) yaitu : restorasi lansekap, perubahan iklim dan ketahanan
pangan. Carbon farming Ini berusaha untuk mengurangi emisi dalam proses produksinya,
sekaligus meningkatkan produksi dan
penyerapan karbon dalam lansekap.
Merupakan sistem budidaya terpadu yang menggabungkan praktek memaksimalkan penangkapan
karbon sekaligus pengurangan emisi, hanya dengan satu aksi yaitu menyertakan
carbon/arang dalam proses budidaya/silvikultur atau proses produksi. Aplikasi
arang sangat menarik karena arang mampu meningkatkan kesuburan tanah, karena
sebagai produk yang porous (berpori) akan mampu untuk menahan air dan nutrien
tanah dari pencucian. Selain itu arang mengandung mikroelement sebagai nutrisi
yang dibutuhkan tanaman, sehingga produktivitas lahan dan produktivitas tanaman
meningkat berkali lipat. Hal inilah yang
menjadikan carbon sebagai solusi terbaik saat ini sekaligus menjawab berbagai
tantangan masa datang.
Prospek dan manfaat carbon farming
diantaranya adalah dapat menekan atau mereduksi emisi karbon (melalui
pemanfaatan limbah), mengurangi erosi, memperbaiki struktur, tekstur, fisik,
kimia dan biologi tanah, meningkatkan kesuburan tanah, mengurangi salinitas
tanah, tanah sehat dan siap pakai, meyuburkan vegetasi, meningkatkan keanekaragaman hayati, penyangga terhadap kekeringan
dan efisiensi air, serta manfaat
lainnya.
B. Potensi biomasa sebagai sumber carbon
Dasar dari carbon farming adalah memanfaatkan limbah biomassa sebagai sumber
carbon. Limbah biomassa jumlahnya sangat melimpah, sehingga kalau tidak
dikelola berpotensi mencemari lingkungan dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Luas area hutan Indonesia pada tahun 2005 sebesar 88,50 juta ha, dengan ekspor
kayu gergajian pada tahun 2002 sebesar 0,39 juta m3/Cu M, maka limbah berupa
sawdust yang dihasilkan akan sangat besar, dan saat ini banyak dibuang ke
sungai sehingga mencemari lingkungan sekitar. Sedangkan sekam padi yang
komposisinya 20-23% dari gabah. Pada tahun 2009, dengan produksi gabah sekitar
63,84 juta ton menghasilkan sekam lebih dari 14,6 juta ton. Di Indonesia setiap tahun terdapat ratusan juta ton
limbah produk pertanian, peternakan, perkebunan, dan perhutanan. Sebagai gambaran, dari 50-an juta ton produksi padi
setiap tahun dihasilkan sekitar 60 juta ton limbah berupa jerami dan sekam.
Bahan organik ini mengandung karbon yang dapat diproses menjadi carbon, arang
atau biochar (Gani, 2009).
Dari sektor perkebunan, cangkang sawit dan serat pada pabrik pengolahan
kelapa sawit digunakan untuk bahan bakar boiler, tetapi jumlahnya berlebih dan
sisanya menjadi limbah. Indonesia sebagai produsen kelapa sawit nomor satu
didunia pada tahun 2009 tercatat dengan produksi sekitar 22 juta ton dengan
luas lahan 7 juta ha, dengan produktivitas lahan rata-rata 30 ton TBS/ha. Maka
produksi kelapa sawit diperkirakan 140 juta ton. Dan cangkang sawit dihasilkan
sebesar 9,1 juta ton, dengan sebagian misalnya 50% digunakan sebagai bahan
bakar boiler di pabrik, maka limbah cangkang sawit masih sangat besar yakni
4,55 juta ton. Selanjutnya Indonesia
memiliki 3,712 juta hektar kelapa (31,4% luas kebun kelapa dunia) dan merupakan
perkebunan kelapa terbesar di dunia. Dengan produksi kelapanya menduduki urutan
no. 2 setelah Filipina, dengan produksi 12,915 milyar butir (24,4% produksi
dunia). Dengan berat sebuah kelapa rata-rata 1,5 kg, maka potensi tempurung kelapa
Indonesia yaitu 2,3 juta ton/tahun. Dan masih banyak limbah biomassa dari
pengolahan limbah agroindustri lainnya yang berpeluang sebagai sumber carbon
atau arang (JFE Project, 2011).
C. Penerapan Carbon Farming
Secara sederhana penerapan carbon farming dimulai dengan penyediaan unit
produksi biochar skala kecil yang murah dan mudah untuk dioperasionalkan. Hasil
yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk meningkatkan produktivitas
perkebunan, pertanian maupun kehutanan.
Pada proses pembuatan biochar, energi panas yang dihasilkan dapat
digunakan untuk memasak, pengeringan kayu, atau biji-bijian. Jika memungkinkan
dengan penambahan suatu mesin atau turbin, selanjutnya sistem ini dapat
menghasilkan energi kinetik untuk
penggilingan bibji-bijian (spt padi) atau pembangkit listrik. Asap yang terbentuk pada proses produksi
biochar, dikondensasikan hingga terbentuk cairan asap. Cairan asap dapat digunakan untuk berbagai
keperluan, mulai dari rumah tangga hingga menunjang dalam sistim kultivasi,
baik sebagai biopestisida maupun sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Oleh sebab
itu jelas sekali bahwa proses ini dapat
mengeliminasi emisi hampir 90 persen.
Pada sektor peternakan, emisi GRK dilepaskan dari limbah yang terbentuk. Penggunaan biochar/arang selain dapat menekan
pelepasan emisi ke udara, juga membuat lingkungan kandang dan ternak semakin
sehat, karena arang yang porous dapat menyerap emisi, sekaligus memerangkap
mikroba patogen penyebab penyakit pada ternak.
Arang juga dapat dicampurkan sbagai campuran makanan ternak. Pada ternak sapi arang yang mengandung karbon
dapat melancarkan proses fermentasi yang berlangsung dalam rumen ternak,
sehingga kotoran yang keluar tidak bau. Pada ternak unggas campuran arang pada
makanan ternak selain membuat ternak makin sehat juga membuat telur lebih awet,
dan tahan pecah. Selain itu penggunaan
arang pada lantai kandang ternak unggas akan membuat lingkungan kandang semakin
hangat dan akan mengurangi bau.
Sewaktu-waktu arang yang bercampur dengan kotoran ini dapat langsung
digunakan sebagai pengganti pupuk kimia yang mulai mahal dan sulit diperoleh,
apalagi untuk daerah yang sulit terjangkau.
Dengan demikian carbon farming ini merupakan jawaban terhadap berbagai
ancaman dan tantangan bagi pertanian, perkebunan dan kehutanan Indonesia.
IV. PENUTUP
Penelitian dan pengembangan biochar telah menarik banyak komunitas ilmiah
baik dalam maupun luar negeri.
Perspektif menarik tentang pengelolaan limbah biomassa bagi
pembanguan perekonomian dan swasembada pangan. Sistem ini terIntegrasi dalam
pembangunan berkelanjutan dengan pengelolaan limbah ke dalam suatu pendekatan
penggunaan biochar ke dalam sistem usaha tani, perkebunan maupun kehutanan.
Sehingga menjadikan usaha pengelolaan limbah menjadi sumber daya yang memiliki
peluang besar. Berbagai literatur, penelitian, seminar, pelatihan dan ujicoba di seluruh
dunia telah membuktikan bahwa biochar atau agrichar yakni
arang yang dihasilkan dari proses pirolisis memberi manfaat yang besar bagi kesuburan
tanah sehingga produktivitas tanaman semakin meningkat. Jepang adalah salah satu
Negara yang dikenal pengguna biochar untuk lahan pertanian selama puluhan
tahun. Hal tersebut membuat sejumlah wilayah Asia Tenggara juga terimbas untuk
menggunakan biochar untuk memperbaiki kualitas tanahnya. Indonesia,
Malaysia,
Thailand,
Vietnam,
Kamboja,
Laos
dan Philipina
adalah sejumlah negara di Asia Tenggara yang mencoba mengaplikasikan biochar
tersebut. Aktivitas ini memberikan
hasil yang menggembirakan karena memberi hasil positif dan mengurangi pencemaran
lingkungan karena menggunakan bahan baku berbagai jenis limbah biomasa. Harapannya
aktivitas penggunaan biochar ini terus meningkat dalam skala lebih besar dan
berkelanjutan
Tanaman akan selalu membutuhkan pupuk sebagai nutrisinya dalam jumlah tertentu
untuk pertumbuhan dan produktivitas buahnya. Sehingga menjamin pupuk sebagai
sumber nutrisi yang memadai bagi tanaman tersebut adalah hal prinsip yang harus
diupayakan. Pada kenyataannya untuk menyediakan jumlah yang memadai tersebut
memerlukan biaya yang besar, karena berbagai faktor lingkungan spesifik lokasi
tanaman itu berada. Pupuk pada umumnya akan banyak tercuci / leaching
(rata-rata 50 persen) sehingga menimbulkan banyak pemborosan yang merugikan.
Hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus dan perlu segera solusi untuk
mengatasinya. Carbon farming melalui aplikasi carbon/biochar adalah salah
satu solusi jitu untuk hal tersebut. Limbah biomasa berlebih akan sangat
potensial digunakan untuk bahan baku biochar. Produksi biochar dengan pirolisis
mampu untuk mengolah jumlah limbah biomasa tersebut. Selain menghasilkan
biochar juga akan dihasilkan asap cair
yang bisa digunakan untuk memacu pertumbuhan tanaman, mencegah hama
tertentu serta dapat berfungsi sebagai anti bakteri.
Carbon farming dengan produk arang/biochar akan
memiliki peran yang besar untuk meningkatkan kesuburan tanah termasuk mereduksi
kebutuhan pupuk kimia pada perkebunan/ hutan tanaman dan dengan
biochar ini ibarat sekali merengkuh
dayung dua tiga pula terlampaui, masalah limbah padat kehutanan atau perkebunan seperti
sawit bisa diatasi, mendapat sumber energi dan perbaikan kesuburan tanah. Arang
selain mampu menyuburkan tanah juga mampu menangkap gas karbondioksida dari
atmosfer sehingga merupakan mekanisme carbon negative, Dengan demikian
carbon farming merupakan sistem budidaya yang dapat menjawab berbagai tantangan
global Indonesia di masa mendatang.
VII. DAFTAR BACAAN
Center for International
Forestry Research. (2003). Perdagangan Karbon, Berita
Warta Kebijakan No.8 Pebruari, Bogor
Climate Change Secretariat (UNFCCC).
(2007). Climate Change: Impacts,
Vurnerabilities and Adaptation in Developing Countries. Martin-Luther-ing-Strasse 8,53175 Bonn,
Germany.
Gani,
A. (2009). Aplikasi Sistem Biochar di Pedesaan dan Negara
Berkembang. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Warta Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian, vol 31 no 6.
JFE. (2011). Pengolahan Limbah Biomassa Menjadi Produk-Produk Bermanfaat Bernilai Ekonomi Tinggi . 11th November 2011.
Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate
Change. (1997). United
Nations, Tokyo, Japan.
Kompas. (2007). Perdagangan Karbon Makin Menarik. Kompas, 23 Agustus, Jakarta.
Lasco, R.D. dkk., (2006). Carbon Stocks Assessment on a
Selectively Logged Dipterocarp Forest and Wood Processing Mill in The
Philippines. Journal of Tropical Forest Science 18(4): 166-172
Nugroho, N., P., (2006). Estimate Carbon Sequestration in
Tropical Rainforest Using Integrated Remote Sensing and Ecosystem Productivity
Modelling, International
Institute for Geo-Information Science and Earth Observation Enschede,
Netherlands.
Republika.
(2007). Era
Perdagangan Karbon Dimulai. Republika,
1 Desember, Jakarta.
Ruddell,
S., Walsh, M.J., Kanakasabai. (2006). Forest Carbon Trading and Marketing
in the United States. United States.
Rebecca
Ryals and Whendee L. Silver 2013. Effects of organic matter amendments on net
primary productivity and greenhouse gas emissions in annual grasslands. University
of California, Berkeley, Department of Environmental Science, Policy, and
Management. Ecological Applications 23:46–59
, , . (2013) Effects of organic and inorganic fertilizers on greenhouse gas (GHG) emissions in tropical forestry.
ayam tarung
BalasHapus