Selasa, 08 Maret 2016

INOVASI CARBON FARMING DALAM MENGHADAPI BERBAGAI ANCAMAN DAN TANTANGAN GLOBAL



  INOVASI CARBON FARMING DALAM MENGHADAPI BERBAGAI ANCAMAN DAN TANTANGAN GLOBAL *)


Oleh :  Gusmailina & Sri Komarayati**)
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH), Badan Litbang Kehutanan, Jalan Gunung Batu No. 5. Telp/Fax (0251) 8633378; 8633413. Bogor.
Email : gsmlina@gmail.com




RINGKASAN

Salah satu cara untuk mendukung tercapainya berbagai tantangan global, diperlukan inovasi dan pengembangan sistem budidaya (farming) yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan rendah emisi. Sistem tersebut selain harus mampu mendukung peningkatan produksi padi, juga bisa memantapkan ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan, yang berujung pada meningkatnya kesejahteraan petani dan kelestarian sumberdaya, menurunkan emisi GRK (gas rumah kaca) sekaligus mengembangkan energi terbarukan.  Carbon farming merupakan metode kultivasi atau budidaya (pertanian, perkebunan atau kehutanan) dengan cara mengurangi atau menangkap emisi Gas Rumah Kaca, sekaligus menyimpan tanpa melepaskan carbon dari tanaman dan tanah. Dalam hal ini termasuk pengelolaan air, lahan, tumbuhan dan hewan secara terpadu untuk menghadapi tantangan restorasi, perubahan iklim dan ketahanan pangan dalam mengurangi emisi pada proses produksinya, sekaligus meningkatkan produksi dan produktivitas serta penyerapan karbon dalam sistim lansekap areal budidaya. Aplikasi biocham (biochar soil amandement) atau biochar pembangun kesuburan tanah atau juga dengan kata lain arang sebagai pembangun kesuburan tanah, merupakan cara peningkatan kualitas tanah secara permanen.  Banyak studi yang telah dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri menunjukkan bahwa biochar/arang merupakan aktor penting untuk mengatasi berbagai krisis secara mudah dan murah.  Pustekolah sejak tahun 1998 telah melakukan serangkain penelitian dan uji coba serta sosialisasi di lapangan baik perorangan maupun secara kelompok tentang aplikasi arang (karbon) pada berbagai jenis tumbuhan.  Hasil yang diperoleh menyimpulkan bahwa peranan arang dalam rangkaian sistem kultivasi/farming (budidaya) sangat signifikan dalam meningkatkan produksi dan produktivitas lahan.

Kata kunci : karbon, arang, farming, tantangan global, inovasi

==============================================================================
*)    Disampaikan sebagai makalah poster pada Seminar Hasil Penelitian dan Presentasi Teknisi  26-27 November 2014 di Ball Room IPB, International Convention Center (IICC) ”Botani Square” Bogor.
**)       Peneliti pada PUSTEKOLAH (Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan), Badan    Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan.  Jalan Gunung Batu No. 5. Telp/Fax (0251) 8633378; 8633413. Bogor.  Email : gsmlina@gmail.com

I.  PENDAHULUAN

Komitmen bangsa Indonesia yang disampaikan oleh presiden RI pada acara G-20 Leaders Summit di Pittsburgh (USA), serta saat COP-15 di Copenhagen, Denmark akan berupaya menurunkan emisi nasional sebesar 26% dengan kemampuan sendiri serta dengan dukungan dunia internasional maka Indonesia mampu menurunkan 41% emisi nasional pada tahun 2020 (Sugardiman, 2013).  Lebih lanjut dikemukakan bahwa ternyata pembangunan Indonesia masih bertumpu pada penggunaan (alih) lahan dimana mengkonversi tutupan hutan menjadi bukan tutupan hutan.  Berbeda dengan kondisi emisi total dunia yang bersumber dari energi/power sebesar 24%, industri 14%, transportasi 14%, sedangkan perubahan lahan hanya 14%.  Berdasarkan Peraturan Presiden RI nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), bahwa target penurunan emisi dari sektor kehutanan dan lahan gambut sebesar 0,672 gg ton CO2 atau 87,60%, sementara emisi sektor kehutanan dan lahan gambut pada Indonesia Second National Communication tahun 2010 hanya 59,60%.  Sehingga sesungguhnya besar peran kehutanan untuk nasional karena mampu membantu menurunkan emisi nasional secara nyata melalui penyerapan atau sink (sequestration).
Carbon farming adalah sistim pengelolaan lahan dan budidaya tanaman berbasis carbon.  Carbon dalam bentuk arang dihasilkan dari proses karbonisasi yang juga dikenal dengan istilah biochar atau disebut juga biochar soil amandement (biocham). Biocham jika diaplikasikan ke dalam tanah mempunyai peran yang sangat besar dalam membangun kesuburan lahan dan mitigasi emisi.  Bahkan di beberapa negara, selain untuk membangun kesuburan lahan, juga menjadi solusi dalam mengentaskan kemiskinan dan kesehatan masyarakat, yang berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sistim carbon farming dapat meningkatkan ketersediaan kation utama dan fosfor, total nitrogen, dan kapasitas tukar kation tanah. Ketersediaan hara yang cukup bagi tanaman merupakan dampak dari bertambahnya nutrisi secara langsung dari aplikasi biochar dan meningkatnya retensi hara, di samping perubahan dinamika mikroba tanah. Keuntungan jangka panjang dari carbon farming bagi ketersediaan hara tanaman berhubungan dengan stabilisasi karbon organik yang lebih tinggi dibanding bahan organik yang biasa digunakan dalam budi daya tanaman. Sebagai deposit karbon di tanah, biochar bekerja dengan cara mengikat dan menyimpan CO2 dari udara agar mencegah terlepas ke atmosfir. Kandungan karbon yang terikat dalam tanah jumlahnya besar dan tersimpan hingga waktu yang lama, diperkirakan ratusan hingga ribuan tahun. Para  ilmuwan menyatakan bahwa untuk area 250 ha mampu mengikat 1900 ton CO2 dalam setahun.

II.  ANCAMAN DAN TANTANGAN GLOBAL
Indonesia sangat rentan terhadap naiknya permukaan air laut dan banjir, dengan pola cuaca yang tidak menentu tersebut tentu akan berdampak pada produksi pertanian, perkebunan, perikanan bahkan kehutanan yang menjadi penopang hidup masyarakat.  sementra pada saat yang bersamaan, Indonesia juga menjadi kontributor emisi global gas rumah kaca yang cukup signifikan.   Di sektor pertanian, Indonesia dihadapkan pada tantangan meningkatkan produksi, memantapkan ketahanan pangan, meningkatkan kesejahteraan petani, keberlanjutan (sustainability), kelestarian sumberdaya, dan tercapainya MDG’s (penurunan angka kemiskinan, pengangguran dan rawan pangan). Pada skala global, sektor budidaya (farming) terutama pertanian dituntut untuk meningkatkan kepedulian terhadap ancaman pemanasan global melalui usaha adaptasi dan mitigasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).  Untuk mendukung tercapainya tantangan tersebut, diperlukan pengembangan sistem budidaya (farming) yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan rendah emisi. Sistem tersebut harus mampu mendukung peningkatan produksi padi, dapat memantapkan ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan, yang berujung pada meningkatnya kesejahteraan petani dan kelestarian sumberdaya, menurunkan emisi GRK serta mengembangkan pengembangan energi terbarukan. 
A.  Ancaman dan Tantangan
Karbon yang terlepas (carbon emision) di udara bebas akan mengakibatkan suhu permukaan laut meningkat. Peningkatan suhu muka air laut ini akan meningkatkan pencairan es kutub. Pada abad 20 diperkirakan permukaan air laut naik sebesar 0,17 m, dan pada tahun 2100 diperkirakan akan naik sebesar 0,18 – 0,59 m. Besarnya kenaikan muka air laut tersebut tergantung dari kecepatan pencairan es di kutub selatan / utara (Bindoff et al, 2007).  Untuk menanggulangi global warming berdasarkan Protokol Kyoto, menempatkan beban tanggung jawab paling banyak kepada negara-negara maju untuk membatasi emisi karbon, dimana golongan tersebut kemudian disebut sebagai golongan Annex I. Untuk Negara-negara berkembang, yang selanjutnya di sebut golongan Non Annex I tidak dikenai kewajiban untuk membatasi emisi karbon, sehingga kebijakan ini diharapkan tetap dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Pembatasan tingkat emisi karbon pada suatu negara kemudian dituangkan dalam bentuk sertifikat dimana ilustrasi konsepnya, apa bila setiap orang diperbolehkan maksimal merokok lima batang maka setiap orang mendapatkan sertifikat / ijin untuk lima batang rokok tersebut. Namun apa bila ada orang yang mau merokok lebih dari lima batang, maka dia diwajibkan membeli sertifikat dari pihak lain. Dengan membeli sertifikat tersebut maka pembeli sertifikat dapat merokok lebih dari lima batang, sedangkan pihak yang telah dibeli sertifikatnya tidak boleh merokok sebanyak lima batang, atau berkurang sebesar nilai sertifikat yang dijualnya.
Jual beli karbon ini juga diperbolehkan untuk kawasan hutan, khususnya hutan produksi. Suatu negara dapat membeli tegakan hutan (sertifikat karbon dari hutan) agar tidak ditebang (diambil kayunya), sehingga hutan tersebut tidak melepaskan karbon ke udara bebas. Kesulitan yang paling besar adalah penentuan nilai atau harga karbon yang terkandung di dalamnya. Salah satu cara untuk mengestimasi nilai kandungan karbon adalah dengan melakukan penaksiran terhadap shadow price tegakan hutan apabila dipakai sebagai penghasil kayu. Hal ini karena apabila hutan produksi tidak ditebang, maka tidak dapat menghasilkan kayu sehingga pendapatan nasional dari sub sektor kehutanan akan terhenti, karena semua proses penebangan dan efek domino dari hasil pengolahan kayu tidak berjalan lagi.
Shadow Price dari hutan produksi yaitu berupa biaya akibat dari kesempatan yang hilang apabila hutan tersebut digunakan oleh pengusaha sebagai penghasil kayu hutan. Konsep Shadow Price yang dimaksudkan sama dengan biaya kesempatan yang hilang (Opportunity Cost), dimana suatu usaha harus mempertimbangkan pada alternatif peruntukan lain, sebagai nilai biaya suatu usaha tersebut. Untuk itu, seharusnya nilai / harga karbon yang dihasilkan dari hutan produksi akan dihargai berbeda dengan nilai / harga karbon yang berasal dari tempat lain seperti dari hutan desa /hutan adat, atau dari areal pertanian yang sengaja dibiarkan untuk menyerap karbon. Hal ini karena adanya perbedaan biaya kesempatan yang hilang dari masing-masing kondisi wilayah tersebut.
Nilai jual karbon di masing-masing wilayah berbeda-beda, tergantung dari negosiasi antara pembeli dan penjualnya. Sebagai contohnya, studi di Harda, India, menyebutkan bahwa dalam sebuah desa yang wilayahnya mempunyai areal hutan kering campur seluas 11.000 Ha, mempunyai potensi penyerapan karbon sebesar 3,4 ton tiap hektar. Setiap ton karbon dihargai dengan nilai 10 dolar US. Studi lain, menyebutkan sebuah proyek yang terjadi di Mexico. Proyek tersebut melibatkan 400 petani yang kegiatannya adalah merubah kebun campur menjadi tanaman kayu yang diperhitungkan mampu menyerap karbon sebesar 17.000 ton, dengan kisaran harga 10-12 dolar AS per ton.
Peralihan fungsi hutan dari tujuan penghasil kayu menjadi penyerap karbon akan memberikan beberapa dampak, khususnya kepada pendapatan yang selama ini diterima oleh pemerintah, berupa pungutan (iuran) hasil hutan, dan sektor swasta khususnya sektor industri kehutanan serta masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan hutan tersebut. Apabila hutan digunakan untuk penangkap karbon, maka hutan tidak boleh ditebang, atau ada pembatasan jumlah tebangan sehingga pendapatan sub sektor kehutanan akan terhenti khususnya dari proses penebangan kayu tersebut sampai dengan industri hilirnya, yang pada akhirnya dapat dijadikan shadow price dari penjualan tegakan hutan sebagai areal penyimpan karbon. Permasalahan yang timbul adalah belum diketahuinya kandungan karbon pada tegakan Hutan Produksi dan besarnya nilai shadow price/opportunity cost pada tegakan tersebut.
B.  Indonesian carbon efficient farming (ICEF)
Indonesia perlu mengembangkan sistem Indonesian carbon efficient farming atau pertanian efisien karbon atau sama juga dengan pertanian hijau (green farming) yaitu sistem pertanian yang memanfaatkan secara optimal karbon yang dikandung oleh bahan organik sisa tanaman dan limbah ternak sehingga memberikan nilai tambah berupa peningkatan produktivitas, pendapatan,  dan efisiensi energi serta penurunan emisi gas rumah kaca serta perbaikan lingkungan. Komponen utama ICEF adalah pemanfaatan hasil samping (by product) pertanian, perkebunan maupun kehutanan serta mengintegrasikan beberapa sub sistem untuk meningkatkan nilai tambah tersebut menjadi pupuk organik, pembenah tanah (arang atau kompos), pakan ternak dan bahan bakar terbarukan. Sistem ini perlu dikembangkan lebih jauh karena saat ini hanya baru mulai dikembangkan pada sistem pertanian, namun perlu dikembangkan juga pada perkebunan dan kehutanan.
III.  INOVASI CARBON FARMING
A.  Carbon farming
Carbon farming merupakan metode kultivasi atau budidaya (pertanian, perkebunan atau kehutanan) berbasis karbon (arang) dengan tujuan untuk mengurangi atau menangkap emisi Gas Rumah Kaca, sekaligus menyimpan tanpa melepaskan carbon dari tanaman dan tanah. Dalam hal ini termasuk pengelolaan air, lahan, tumbuhan dan hewan secara terpadu untuk menghadapi tantangan restorasi, perubahan iklim serta ketahanan pangan dalam mengurangi emisi pada proses produksinya, sekaligus meningkatkan produksi dan produktivitas serta penyerapan karbon dalam sistim lansekap areal budidaya.
Aplikasi biocham (biochar soil amandement) atau biochar pembangun kesuburan tanah atau juga dengan kata lain arang sebagai pembangun kesuburan tanah, merupakan cara peningkatan kualitas tanah secara permanen.  Banyak studi yang telah dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri menunjukkan bahwa biochar/arang merupakan aktor penting untuk mengatasi berbagai krisis secara mudah dan murah.
Sesungguhnya Carbon farming itu pertanian simpel, hanya bertani dengan mengandalkan carbon/arang lalu selanjutnya akan memberikan dampak terhadap pengurangan emisi atau menangkap GRK kemudian tersimpan pada vegetasi dan tanah.  Sistem ini akan berpengaruh terhadap sistem pengelolaan lahan, air, tumbuhan dan hewan untuk menjawab 3 tantangan (Triple challenge) yaitu : restorasi lansekap, perubahan iklim dan ketahanan pangan. Carbon farming Ini berusaha untuk mengurangi emisi dalam proses produksinya, sekaligus meningkatkan produksi dan penyerapan karbon dalam lansekap. Merupakan sistem budidaya terpadu yang menggabungkan praktek memaksimalkan penangkapan karbon sekaligus pengurangan emisi, hanya dengan satu aksi yaitu menyertakan carbon/arang dalam proses budidaya/silvikultur atau proses produksi. Aplikasi arang sangat menarik karena arang mampu meningkatkan kesuburan tanah, karena sebagai produk yang porous (berpori) akan mampu untuk menahan air dan nutrien tanah dari pencucian. Selain itu arang mengandung mikroelement sebagai nutrisi yang dibutuhkan tanaman, sehingga produktivitas lahan dan produktivitas tanaman meningkat berkali lipat.  Hal inilah yang menjadikan carbon sebagai solusi terbaik saat ini sekaligus menjawab berbagai tantangan masa datang.
Prospek dan manfaat carbon farming diantaranya adalah dapat menekan atau mereduksi emisi karbon (melalui pemanfaatan limbah), mengurangi erosi, memperbaiki struktur, tekstur, fisik, kimia dan biologi tanah, meningkatkan kesuburan tanah, mengurangi salinitas tanah, tanah sehat dan siap pakai, meyuburkan vegetasi, meningkatkan keanekaragaman hayati, penyangga terhadap kekeringan dan efisiensi air, serta manfaat lainnya.

B.  Potensi biomasa sebagai sumber carbon

Dasar dari carbon farming adalah memanfaatkan limbah biomassa sebagai sumber carbon. Limbah biomassa jumlahnya sangat melimpah, sehingga kalau tidak dikelola berpotensi mencemari lingkungan dan belum dimanfaatkan secara optimal. Luas area hutan Indonesia pada tahun 2005 sebesar 88,50 juta ha, dengan ekspor kayu gergajian pada tahun 2002 sebesar 0,39 juta m3/Cu M, maka limbah berupa sawdust yang dihasilkan akan sangat besar, dan saat ini banyak dibuang ke sungai sehingga mencemari lingkungan sekitar. Sedangkan sekam padi yang komposisinya 20-23% dari gabah. Pada tahun 2009, dengan produksi gabah sekitar 63,84 juta ton menghasilkan sekam lebih dari 14,6 juta ton. Di Indonesia setiap tahun terdapat ratusan juta ton limbah produk pertanian, peternakan, perkebunan, dan perhutanan. Sebagai gambaran, dari 50-an juta ton produksi padi setiap tahun dihasilkan sekitar 60 juta ton limbah berupa jerami dan sekam. Bahan organik ini mengandung karbon yang dapat diproses menjadi carbon, arang atau biochar (Gani, 2009).
Dari sektor perkebunan, cangkang sawit dan serat pada pabrik pengolahan kelapa sawit digunakan untuk bahan bakar boiler, tetapi jumlahnya berlebih dan sisanya menjadi limbah. Indonesia sebagai produsen kelapa sawit nomor satu didunia pada tahun 2009 tercatat dengan produksi sekitar 22 juta ton dengan luas lahan 7 juta ha, dengan produktivitas lahan rata-rata 30 ton TBS/ha. Maka produksi kelapa sawit diperkirakan 140 juta ton. Dan cangkang sawit dihasilkan sebesar 9,1 juta ton, dengan sebagian misalnya 50% digunakan sebagai bahan bakar boiler di pabrik, maka limbah cangkang sawit masih sangat besar yakni 4,55 juta ton.  Selanjutnya Indonesia memiliki 3,712 juta hektar kelapa (31,4% luas kebun kelapa dunia) dan merupakan perkebunan kelapa terbesar di dunia. Dengan produksi kelapanya menduduki urutan no. 2 setelah Filipina, dengan produksi 12,915 milyar butir (24,4% produksi dunia). Dengan berat sebuah kelapa rata-rata 1,5 kg, maka potensi tempurung kelapa Indonesia yaitu 2,3 juta ton/tahun. Dan masih banyak limbah biomassa dari pengolahan limbah agroindustri lainnya yang berpeluang sebagai sumber carbon atau arang (JFE Project, 2011).

C.  Penerapan Carbon Farming
Secara sederhana penerapan carbon farming dimulai dengan penyediaan unit produksi biochar skala kecil yang murah dan mudah untuk dioperasionalkan. Hasil yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan, pertanian maupun kehutanan.  Pada proses pembuatan biochar, energi panas yang dihasilkan dapat digunakan untuk memasak, pengeringan kayu, atau biji-bijian. Jika memungkinkan dengan penambahan suatu mesin atau turbin, selanjutnya sistem ini dapat menghasilkan energi kinetik untuk  penggilingan bibji-bijian (spt padi) atau pembangkit  listrik.   Asap yang terbentuk pada proses produksi biochar, dikondensasikan hingga terbentuk cairan asap.  Cairan asap dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari rumah tangga hingga menunjang dalam sistim kultivasi, baik sebagai biopestisida maupun sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu jelas sekali bahwa proses ini  dapat mengeliminasi emisi hampir 90 persen. 
Pada sektor peternakan, emisi GRK dilepaskan dari limbah yang terbentuk.  Penggunaan biochar/arang selain dapat menekan pelepasan emisi ke udara, juga membuat lingkungan kandang dan ternak semakin sehat, karena arang yang porous dapat menyerap emisi, sekaligus memerangkap mikroba patogen penyebab penyakit pada ternak.  Arang juga dapat dicampurkan sbagai campuran makanan ternak.  Pada ternak sapi arang yang mengandung karbon dapat melancarkan proses fermentasi yang berlangsung dalam rumen ternak, sehingga kotoran yang keluar tidak bau. Pada ternak unggas campuran arang pada makanan ternak selain membuat ternak makin sehat juga membuat telur lebih awet, dan tahan pecah.  Selain itu penggunaan arang pada lantai kandang ternak unggas akan membuat lingkungan kandang semakin hangat dan akan mengurangi bau.  Sewaktu-waktu arang yang bercampur dengan kotoran ini dapat langsung digunakan sebagai pengganti pupuk kimia yang mulai mahal dan sulit diperoleh, apalagi untuk daerah yang sulit terjangkau.  Dengan demikian carbon farming ini merupakan jawaban terhadap berbagai ancaman dan tantangan bagi pertanian, perkebunan dan kehutanan Indonesia.

IV.  PENUTUP

Penelitian dan pengembangan biochar telah menarik banyak komunitas ilmiah baik dalam maupun luar negeri.  Perspektif menarik tentang pengelolaan limbah biomassa bagi pembanguan perekonomian dan swasembada pangan. Sistem ini terIntegrasi dalam pembangunan berkelanjutan dengan pengelolaan limbah ke dalam suatu pendekatan penggunaan biochar ke dalam sistem usaha tani, perkebunan maupun kehutanan. Sehingga menjadikan usaha pengelolaan limbah menjadi sumber daya yang memiliki peluang besar. Berbagai literatur, penelitian, seminar, pelatihan dan ujicoba di seluruh dunia telah membuktikan bahwa biochar atau agrichar yakni arang yang dihasilkan dari proses pirolisis memberi manfaat yang besar bagi kesuburan tanah sehingga produktivitas tanaman semakin meningkat. Jepang adalah salah satu Negara yang dikenal pengguna biochar untuk lahan pertanian selama puluhan tahun. Hal tersebut membuat sejumlah wilayah Asia Tenggara juga terimbas untuk menggunakan biochar untuk memperbaiki kualitas tanahnya.  Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos dan Philipina adalah sejumlah negara di Asia Tenggara yang mencoba mengaplikasikan biochar tersebut.   Aktivitas ini memberikan hasil yang menggembirakan karena memberi hasil positif dan mengurangi pencemaran lingkungan karena menggunakan bahan baku berbagai jenis limbah biomasa. Harapannya aktivitas penggunaan biochar ini terus meningkat dalam skala lebih besar dan berkelanjutan
Tanaman akan selalu membutuhkan pupuk sebagai nutrisinya dalam jumlah tertentu untuk pertumbuhan dan produktivitas buahnya. Sehingga menjamin pupuk sebagai sumber nutrisi yang memadai bagi tanaman tersebut adalah hal prinsip yang harus diupayakan. Pada kenyataannya untuk menyediakan jumlah yang memadai tersebut memerlukan biaya yang besar, karena berbagai faktor lingkungan spesifik lokasi tanaman itu berada. Pupuk pada umumnya akan banyak tercuci / leaching (rata-rata 50 persen) sehingga menimbulkan banyak pemborosan yang merugikan. Hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus dan perlu segera solusi untuk mengatasinya. Carbon farming melalui aplikasi carbon/biochar adalah salah satu solusi jitu untuk hal tersebut. Limbah biomasa berlebih akan sangat potensial digunakan untuk bahan baku biochar. Produksi biochar dengan pirolisis mampu untuk mengolah jumlah limbah biomasa tersebut. Selain  menghasilkan biochar juga akan dihasilkan asap cair  yang bisa digunakan untuk memacu pertumbuhan tanaman, mencegah hama tertentu serta dapat berfungsi sebagai anti bakteri.
Carbon farming dengan produk arang/biochar akan memiliki peran yang besar untuk meningkatkan kesuburan tanah termasuk mereduksi kebutuhan pupuk kimia  pada perkebunan/ hutan tanaman dan dengan biochar ini ibarat sekali merengkuh dayung dua tiga pula terlampaui, masalah limbah padat kehutanan atau perkebunan seperti sawit bisa diatasi, mendapat sumber energi dan perbaikan kesuburan tanah. Arang selain mampu menyuburkan tanah juga mampu menangkap gas karbondioksida dari atmosfer sehingga merupakan mekanisme carbon negative,   Dengan demikian carbon farming merupakan sistem budidaya yang dapat menjawab berbagai tantangan global Indonesia di masa mendatang.


VII.  DAFTAR BACAAN

Center for International Forestry Research. (2003). Perdagangan Karbon, Berita Warta Kebijakan No.8 Pebruari, Bogor
Climate Change Secretariat (UNFCCC). (2007). Climate Change: Impacts, Vurnerabilities and Adaptation in Developing Countries.  Martin-Luther-ing-Strasse 8,53175 Bonn, Germany.
Gani, A.  (2009).   Aplikasi Sistem Biochar di Pedesaan dan Negara Berkembang.  Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, vol 31 no 6.

JFE. (2011).  Pengolahan Limbah Biomassa Menjadi Produk-Produk Bermanfaat Bernilai Ekonomi Tinggi .  11th November 2011.

Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change. (1997). United Nations, Tokyo, Japan.
Kompas. (2007). Perdagangan Karbon Makin Menarik.  Kompas, 23 Agustus, Jakarta.
Lasco, R.D. dkk., (2006). Carbon Stocks Assessment on a Selectively Logged Dipterocarp Forest and Wood Processing Mill in The Philippines.   Journal of Tropical Forest Science 18(4): 166-172
Nugroho, N., P., (2006). Estimate Carbon Sequestration in Tropical Rainforest Using Integrated Remote Sensing and Ecosystem Productivity Modelling,  International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation Enschede, Netherlands.
Republika. (2007).  Era Perdagangan Karbon Dimulai.  Republika, 1 Desember, Jakarta.
Ruddell, S., Walsh, M.J., Kanakasabai.  (2006).  Forest Carbon Trading and Marketing in the United States.  United States.
Rebecca Ryals and Whendee L. Silver 2013. Effects of organic matter amendments on net primary productivity and greenhouse gas emissions in annual grasslands. University of California, Berkeley, Department of Environmental Science, Policy, and Management.  Ecological Applications 23:46–59

Danilo Ignacio de Urzedo, Mariana Pires Franco, Leonardo Machado Pitombo, Janaina Braga do Carmo. (2013) Effects of organic and inorganic fertilizers on greenhouse gas (GHG) emissions in tropical forestry. Forest Ecology and Management 310, 37-44.

1 komentar: