SOSIALISASI PEMBUATAN ARANG KOMPOS
BIOAKTIF DARI GULMA DI DESA KARYASARI DAN WONOSOBO
Oleh :
Gusmailina 1)
- Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Telp : (0251) 8633378, Fax: (0251)
8633413
ABSTRAK
Gulma merupakan bahan
yang cukup potensial karena sering dijumpai dimana saja, keberadaannya
mengganggu tanaman budidaya, sehingga harus disingkirkan dan dibuang.
Memanfaatkan gulma menjadi kompos atau arang kompos adalah solusi yang tepat
untuk diterapkan, sebab gulma mudah diolah dan dapat dikembalikan ke lahan
sebagai suplai bahan organik atau pembenah tanah. Sosialisasi pemanfaatan gulma
menjadi kompos dan arang kompos telah di lakukan di dua lokasi yaitu di desa
Karyasari, Kecamatan Leuwiliang Bogor dan Desa Angestitani, Kecamatan Kejajar,
Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
Tulisan ini menyajikan
sosialisasi pembuatan kompos dan arang kompos bioaktif dengan memanfaatkan
gulma atau tumbuhan pengganggu sebagai bahan baku utama. Tujuannya untuk memperkenalkan dan
menjelaskan teknik pengadaan kompos dan arang kompos dengan menggunakan bahan
yang ada disekitarnya langsung pada masyarakat khususnya petani. Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa
gulma sebagai tumbuhan pengganggu yang berasal
dari kebun petani dapat dijadikan kompos atau arang kompos secara sederhana,
murah, cepat dengan kandungan unsur hara cukup baik, dengan waktu pengomposan
satu minggu.
Kata Kunci:
Sosialisasi, arang kompos bioaktif, gulma, potensi
LEMBAR ABSTRAK
SOSIALISASI PEMBUATAN ARANG
KOMPOS BIOAKTIF DARI GULMA
DI DESA KARYASARI DAN WONOSOBO
Gulma merupakan tumbuhan
pengganggu yang sering dijumpai dan keberadaannya mengganggu tanaman budidaya, oleh karena itu harus disingkirkan dan
dibuang. Memanfaatkan gulma menjadi kompos dan arang kompos merupakan solusi yang
tepat, karena lahan budidaya akan bebas dari tumbuhan pengganggu. Di samping
itu juga akan diperoleh produktivitas lahan berkualitas
secara mudah, murah dan cepat. Tulisan
ini menyajikan tentang kegiatan sosialisasi pembuatan kompos dan arang kompos
dari gulma di dua lokasi kelompok masyarakat tani (Karyasari dan Wonosobo).
Kata Kunci:
Sosialisasi, arang kompos bioaktif, gulma, potensi
ABSTRACT SHEET
SOCIALIZATION ON THE MANUFACTURE OF
COMPOST AND BIOACTIVE COMPOST CHARCOAL FROM WILD WEEDS AT KARYASARI AND
WONOSOBO
Wild weeds are
often described as disturbing plants and therefore unwelcome. Consequently, those weeds should be
eradicated and discarded. Utilization of
disturbing weeds into compost and bioactive charcoal compost is regarded as one
solution. This because this endeavor can
clear their former growth areas free of disturbances, and in addition allow to
acquire area productivity with high quality easily, cheaply, and fast. In relevant, this article deals with
activities of manufacturing compost and bioactive charcoal compost from wild
weeds taking place on two locations of farmer groups (Karyasari and Wonosobo).
Keyword: Socialization, wild
and disturbing weeds, compost and ,bioactive charcoal compost, useful,
products.
I. PENDAHULUAN
Sebelum
pupuk kimia, pestisida, dan zat pengatur tumbuh
ditemukan, kebanyakan petani di berbagai negara umumnya menanam tumbuhan
yang berfungsi sebagai pupuk hijau. Selain
dibuat kompos, juga digunakan pupuk kandang dengan mengembalikan sisa panen ke
dalam tanah sehingga kadar bahan organik tetap terpelihara. Seiring dengan meningkatnya pertambahan
penduduk, para ahli dan praktisi pertanian berusaha keras meningkatkan produksi
pertanian dengan jalan menanam benih unggul, memperkenalkan pupuk kimia, pemberian zat pengatur tumbuh, dan penggunaan pestisida.
Di samping itu ada yang sama sekali tidak mengembalikan sisa panen ke dalam
tanah sebagai bahan organik, sehingga kadar C-organik tanah semakin merosot.
Dampak
dari kebiasaan tersebut akan terjadi perubahan pola pikir petani terhadap
aplikasi pupuk kimia, pestisida, dan zat pengatur tumbuh dalam dosis dan ketergantungannya
yang tinggi. Para
petani konvensional beranggapan bahwa suatu produk pertanian tidak mungkin
dihasilkan tanpa memakai pupuk kimia, pestisida dan zat pengatur tumbuh. Petani
telah lupa bahwa untuk menghasilkan produksi tidak hanya tergantung pada pupuk,
pestisida dan zat pengatur tumbuh saja namun juga harus diperhitungkan
kecukupan bahan organik dalam tanah. Hingga saat ini perhatian petani dalam
memanfaatkan pupuk organik masih sangat rendah, bahkan sering dijumpai
kebiasaan memusnahkan bahan organik melalui cara pembakaran. Pemusnahan bahan
organik ini, akan mempercepat berkurangnya bahan organik tanah dan berakibat
negatif terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang sangat diperlukan bagi
kesuburan tanah.
Untuk
mengaplikasikan bahan organik ke areal yang luas juga membutuhkan persediaan
bahan organik yang sangat besar, sebagai contoh untuk meningkatkan hasil jagung
sebesar 1.292 kg/ha diperlukan kompos sebanyak 30.4 ton/ha (Anonim, 1987 dalam Away, et al., 1997). Jika
dibandingkan dengan menggunakan pupuk kimia peningkatan hasil sebesar itu
mungkin hanya menggunakan beberapa ratus kilogram pupuk kimia per hektar
saja. Sejalan dengan pemakaian bahan
organik yang sangat besar tersebut, ada kendala lain yang juga dirasakan oleh
petani yaitu pada saat bahan organik diaplikasikan ke suatu areal penanaman membutuhkan
biaya pengangkutan yang besar pula. Namun apapun alasannya kecukupan bahan
organik akan memberikan kondisi baik untuk mempertahankan atau meningkatkan
kesuburan tanah. Kesuburan tanah bisa menurun akibat pemupukan kimia yang tidak
seimbang dengan tingkat keberadaan bahan organik di tanah. Apalagi tidak diikuti
dengan adanya pemberian bahan organik ke dalam tanah, struktur tanah akan
menjadi semakin rusak.
Masalah
utama yang dihadapi saat ini adalah bagaimana caranya menyediakan bahan organik dalam jumlah besar (1-20
ton/ha), sementara tanah yang akan dibudidayakan jumlahnya lebih dari seratus
ribu hektar. Tentunya diperlukan suatu
konsep penyediaan bahan organik secara sederhana dan murah agar petani mampu
memenuhi kebutuhannya sendiri. Jika
konsep swasembada bahan organik dapat diterapkan oleh petani secara luas,
dengan sendirinya penerapan sistem pertanian dengan biaya rendah dan ramah
lingkungan akan dapat segera terwujud secara berkesinambungan.
Gulma
atau tumbuhan liar dalam suatu kawasan budidaya biasanya selalu dibuang atau di
bakar, karena mengganggu tanaman yang diusahakan dan akan menimbulkan kompetisi
dalam pengambilan unsur hara dalam tanah dengan tanaman pokok. Akibatnya pertumbuhan tanaman pokok bisa kalah bersaing dan menjadi kerdil. Oleh sebab
itu kepada petani disarankan agar gulma dimanfaatkan menjadi kompos atau arang
kompos sebagai penyedia bahan organik bagi lahan budidaya. Potensi gulma cukup banyak, beragam dan
hampir selalu ada di lingkungan baik di perumahan, kebun, sawah, atau perkebun
hutan rakyat, sehingga para petani tidak sulit untuk mendatangkan bahan baku. Jenis tumbuhan gulma bervariasi tergantung
lokasi, biasanya dari jenis rumput-rumputan (Graminae), ilalang, sejenis
tumbuhan menjalar, Ageratum sp, ki
pait, bahkan dedaunan seperti pisang juga dapat dijadikan sebagai bahan
utama. Oleh sebab itu gulma atau
tumbuhan liar adalah bahan baku
yang cukup potensial dan dapat dimanfaatkan petani untuk dibuat kompos maupun arang
kompos pengganti pupuk kimia.
Salah satu prinsip pelestarian
lingkungan hidup dalam menunjang pertanian dan kehutanan yang berkelanjutan, adalah
memanfaatkan sumberdaya yang sebelumnya tidak dimanfaatkan. Oleh sebab itu perlu dilakukan beberapa aktivitas
dengan tujuan untuk mensosialisasikan teknologi penyediaan kompos dan arang kompos
dengan menggunakan bahan baku
utamanya gulma dengan cara peragaan dan demontrasi. Diharapkan tulisan ini dapat memberi inspirasi bagi
petani atau masyarakat lainnya yang berminat untuk melakukan kegiatan tersebut.
II. BAHAN DAN METODE
A.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah gulma, aktivator pengomposan, arang
serbuk gergaji, arang sekam, jerami, kotoran hewan, daun pisang tua, dan
seresah beberapa jenis tanaman kehutanan.
Sedangkan alat yang dipakai adalah
karung plastik, sekop dan cangkul untuk mencampur atau mengaduk.
B.
Lokasi Kegiatan
Pembuatan kompos dari gulma dilaksanakan di desa Angestitani, Kecamatan
Kejajar, Kabupaten Wonosobo (Jawa Tengah), sedangkan pembuatan arang kompos
bioaktif dari gulma dilakukan di Desa Karyasari, Kecamatan Leuwiliang,
Kabupaten Bogor (Jawa Barat). Di desa
ini gulma diolah menjadi arang kompos bioaktif yang selanjutnya diaplikasikan
pada tanaman Murbei.
C. Prosedur Pelaksanaan
1.
Pembuatan kompos dari gulma di Desa Angestitani (lokasi 1).
Di desa ini gulma hanya
diolah menjadi kompos saja dengan menggunakan aktivator orgadec. Gulma diperoleh
dari sekitar kebun petani dan dicacah secara manual dengan golok/parang menjadi
berukuran 2.5 - 5.0 cm. Aktivator orgadec digunakan sebagai biang untuk
mempercepat proses pengomposan dengan dosis 0.5% (b/b) atau 5 kg OrgaDec
per 1 ton gulma. Cara pencampuran
dilakukan dengan menaburkan bioaktivator pada
tumpukan cacahan bahan kemudian diaduk
dengan cangkul/garpu sampai merata. Selanjutnya disiram dengan air guna
memperoleh kelembaban yang cukup (35 - 50%).
Bahan kompos secara bertahap ditempatkan dalam wadah plastik sambil
dipadatkan sampai wadah terisi penuh dengan bahan kompos (kurang lebih 1 meter)
kemudian ditutup. Wadah kompos dibiarkan seminggu dan diusahakan jangan sampai langsung
kena air hujan (Gambar 1 dan 2).
2. Pembuatan arang kompos bioaktif dari gulma di
Desa Karyasari (lokasi 2).
Di lokasi ini banyak ditemukan limbah serbuk gergaji
atau sekam, sehingga disarankan membuat arang kompos bioaktif. Selain
gulma juga ditambahkan jerami dan
kotoran hewan kambing dan ayam. Pembuatan
arang kompos bioaktif gulma juga menggunakan aktivator orgadec sebagai pemacu pengomposan (Goenadi dan Away, 1995). Proses diawali dengan membuat arang dari serbuk
gergaji atau dari sekam, kemudian arangnya digunakan sebagai campuran pada pembuatan
kompos dengan dosis 10 % dari total volume bahan. Teknik pembuatan arang kompos bioaktif mengacu pada prosedur yang dilakukan di Pusat
Litbang Hasil Hutan, Bogor (Gusmailina et
al., 2002).
a b c
Gambar 1. Tahapan proses
pembuatan kompos dari gulma (tumbuhan pengganggu) di desa Angestitani, Kecamatan
Kejajar, Kabupaten Wonosobo - Jawa Tengah
Keterangan
gambar : a penyiapan bahan baku gulma, b memasukkan ke dalam wadah pengomposan,
dan c. penutupan wadah kompos
a b c
Gambar 2. Proses pembuatan arang
kompos bioaktif dari gulma (tumbuhan pengganggu) di desa Karyasari, kecamatan
Leuwiliang, Kabupaten Bogor
Keterangan gambar a: proses penyediaan
arang serbuk/sekam, b gulma sebagai bahan utama, dan c proses pengomposan
3. Pengamatan
Parameter untuk mengetahui proses pengomposan
berjalan sempurna sebagai berikut:
a. Terjadi penyusutan bahan yang dikomposkan yang
ditandai dengan longgar atau turunnya tinggi permukaan pada wadah kompos.
b. Pada akhir pengomposan terlihat perubahan warna dan hilangnya bau yang menyengat.
c. Untuk mengetahui kualitas hasil yang diperoleh
dan kandungan unsur haranya dilakukan analisis laboratorium.
d. Jika selama
pengomposan tidak terjadi penurunan tinggi pada permukaan wadah perlu dilakukan
pengudaraan atau aerasi dengan cara
mengaduk kembali tumpukan kompos secara manual. Jika selama pengomposan berlangsung (+
seminggu) terjadi penurunan tinggi permukaan wadah atau terlihat longgar, pengudaraan
atau aerasi tidak perlu dilakukan (biasanya tinggi permukaan tersebut turun
berkisar antara 20 dan 30 cm).
4. Analisis kompos dan arang kompos
di lakukan di laboratorium Natural products, Biotrop
Bogor
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pembuatan kompos
dan arang kompos bioaktif selama seminggu, memberikan hasil yang cukup
menjanjikan. Kompos yang terbentuk
berwarna cokelat kehitaman dan tidak memberikan aroma bau yang menyengat,
walaupun keadaan kompos secara visual masih sama seperti bahan mentahnya. Ini
merupakan ciri khas dari aktivator orgadec, karena bioaktivator yang
dipakai bukan bersifat penghancur bahan/limbah organik (Goenadi et.al., 1997 dan Goenadi dan Away, 1995; Away, 2003).
Bioaktivator tersebut bersifat sebagai
pengurai komponen kimia yang kompleks pada bahan menjadi komponen kimia
sederhana yang langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Hasil analisis
kandungan unsur hara makro kompos (lokasi 1) dan arang kompos bioaktif (lokasi
2) dari gulma dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis kandungan unsur hara makro
kompos dan arang kompos bioaktif dari gulma/tumbuhan pengganggu
No.
|
Komponen hara
|
Metode analisis
|
Kadar (%)
|
|
Lokasi 1
|
Lokasi 2
|
|||
1.
|
N
|
Kjeldahl
|
1,80
|
1.92
|
2.
|
P2O5
|
Spektrofotometri
|
0,75
|
1,05
|
3.
|
K2O
|
AAS
|
3,37
|
3,51
|
4.
|
CaO
|
AAS
|
3,09
|
3,24
|
5.
|
MgO
|
AAS
|
1,92
|
1,68
|
6.
|
C-Organik
|
Volumetri
|
32,9
|
35,8
|
7.
|
Nisbah C/N (karbon/nitrogen)
|
Perhitungan
|
18,27
|
18,6
|
Keterangan:
Dianalisis di laboratorium Natural products, Biotrop Bogor
Lokasi 1: Angestitani,
Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo - Jawa Tengah
Lokasi
2 : Karyasari, Kecamatan leuwiliang, Kabupaten Bogor
Sebagai salah satu tolok ukur
tingkat kematangan bahan organik yang dikomposkan adalah nisbah C (karbon) dan
N (nitrogen). Makin matang tingkat
dekomposisi bahan organik, makin rendah nilai C/N-nya. Inbar et
al. (1993) mengemukakan
bahwa nilai C/N yang dianggap tidak menggangu proses kimia tanah adalah <
20. Tabel 1 menunjukkan bahwa
tingkat kematangan kompos di lokasi 1 dari
bahan baku gulma
yang diproses selama seminggu memberikan nilai C/N 18.27% sehingga kompos ini
tidak mengganggu proses kimia yang ada di tanah. Demikian juga arang kompos bioaktif di lokasi
2 mempunyai nilai C/N sebesar 18,6 dan 18,27. Kandungan terbesar bahan organik
dari kompos mencapai 18% hingga 59%. Selain itu kompos juga mengandung
unsur-unsur lain seperti posfor, kalium, calsium, dan magnesium yang relatif
sedikit berkisar antara 2-3%. Besarnya persentase dari unsur-unsur tersebut
sangat tergantung dari bahan dasar yang digunakan dan teknik pengomposannya.
Dari
Tabel 1 terlihat pula bahwa pengaruh
dekomposisi gulma terhadap kadar hara
dalam kompos memberikan nilai yang nyata antara lokasi 1 dengan lokasi 2 meskipun
analisis terhadap gulma yang masih segar tidak dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa gulma di sekitar
kebun petani jika diproses menjadi kompos atau arang kompos dapat memberikan
nilai tambah dalam penyediaan bahan organik.
Dengan demikian dapat menjamin kesuburan, kelestarian tanah dan mengurangi
ketergantungan pupuk kimia.
Kegiatan berikutnya kompos yang telah ada akan diuji coba penggunaannya
terhadap tanaman kentang dan murbei. Jika dibandingkan dengan kualitas kompos
menurut beberapa standar yang berlaku seperti pada Tabel 2, ternyata kedua kompos
tersebut cukup baik. Kompos dan arang
kompos gulma lebih baik kualitasnya jika disbanding dengan standar kualitas
kompos Perhutani (Perhutani, 1977 dalam
Mindawati et al., 1998), kecuali untuk unsur CaO. Namun demikian unsur ini jauh kalah penting
dibanding unsur hara N (nitrogen), P (fosfor), dan K (Kalium). Jika dibanding dengan Standar kualitas kompos
dari Pusri (Radiansyah, 2004), kompos dan arang kompos gulma sedikit lebih
rendah, terutama unsur hara N dan P, sedangkan unsur K lebih tinggi dibanding
standar. Kualitas kompos sangat
tergantung dari bahan baku yang digunakan.
Oleh karena itu untuk meningkatkan kandungan unsur hara N pada kompos
dapat diatasi dengan penambahan jerami sebagai bahan baku atau dedaunan dari
tumbuhan leguminosae (kacang-kacangan).
Tabel 2.
Perbandingan kandungan unsur hara makro kompos gulma di lokasi 1
dan arang
kompos bioaktif gulma di lokasi 2 dengan beberapa standar
No.
|
Komponen hara
|
Kadar (%)
|
Standar Perhutani, (%) *)
|
Standar Pusri, (%) **)
|
|
Lokasi 1
|
Lokasi 2
|
||||
1.
|
N,
%
|
1,80
|
1.92
|
1,1
|
≥ 2, 12
|
2.
|
P2O5,
%
|
0,75
|
1,05
|
0,9
|
≥ 1, 30
|
3.
|
K2O,
%
|
3,37
|
3,51
|
0,6
|
≥ 2,00
|
4.
|
CaO,
%
|
3,09
|
3,24
|
4,9
|
≥ 0,97
|
5.
|
MgO,
%
|
1,92
|
1,68
|
0,7
|
≥ 3,19
|
6.
|
C-Organik,
%
|
32,9
|
35,8
|
19,6
|
-
|
7.
|
Nisbah
C/N
|
18,27
|
18,6
|
10 – 20
|
-
|
Keterangan
: Lokasi 1: Angestitani, Kecamatan
Kejajar, Kabupaten Wonosobo - Jawa Tengah
Lokasi 2: Karyasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten
Bogor
*) Sumber :
Perhutani, 1977 dalam Mindawati et
al., 1998
**) Sumber :
Radiansyah, 2004
KESIMPULAN
Dari
hasil peragaan dan demontrasi teknologi pengomposan dan pembuatan arang kompos
bioaktif dengan bahan baku
gulma dapat disimpulkan antara lain :
1. Tanaman pengganggu yang berasal dari
kebun petani dapat dijadikan kompos atau arang kompos dengan bioaktivator sebagai
pemacu pengomposan secara sederhana, murah, dan cepat.
2. Untuk mendapatkan kompos dan arang
kompos bioaktif dari gulma dengan kandungan hara yang relatif cukup baik,
dibutuhkan waktu pengomposan satu minggu
3. Masyarakat tani di desa, baik secara
berkelompok maupun perorangan mampu membuat
kompos dan arang kompos sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Away, Y., D.H. Goenadi, dan P.
Faturarchim. 1997. Pemanfaatan sampah pangkasan tanaman teh sebagai bahan baku kompos bioaktif. Warta
Puslit. Biotek. Perkeb.III(1):33-40. Pusat Penelitian Biotek Perkebunan, Bogor
Away, Y, 2003. Uji coba penggunaan bioaktivator “orgadec
plus” pada sampah kota
di TPA Bantar Gebang. Laporan. Balai Penelitian
Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor
Goenadi, D.H. & Y. Away. 1995. Cytophaga
sp., and Trichoderma sp. as
activators for composting. Proc. Int.
Cong. On Soils of Trop.
Forest Ecosystem. 3rd
Conf. On Forest Soils (ISSS-AISS-IBG). Poster Session, 8:184-192. Kyoto University.
Kyoto Japan.
Gusmailina, G. Pari dan S.
Komarayati. 2002. Pedoman Pembuatan
Arang Kompos.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Inbar, Y.Y., Chen and H.A.J. Hoitink.
1993. Properties for Establishing Standards for Utulization of Composts in
Container Media. In: Science and
Engineering of Composting: Design, Environmental, Microbiological and Utilization
Aspects. H.A.J. Hoitink & H.M.Keener
(Eds.). p.: 668-694. Renaissance Pub. Columbus,
OH-USA.
Mindawati, N., N.H.L. Tata, Y. Sumarna dan A.S. Kosasih. 1998.
Pengaruh beberapa macam limbah organik terhadap mutu dan proses pengomposan
dengan bantuan efektif mikroorganisme 4 (EM4). Buletin Penelitian Hutan Bogor. No. 614 : 29-40.
Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Radiansyah, A.D. 2004. Pemanfaatan sampah organik menjadi
Kompos. Makalah pada stadium Generale
Fakultas Kehutanan IPB, 4 juli 2004. Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Klik dulu baru bisa rasakan ayam bangkok
BalasHapus