Senin, 07 Maret 2016

SOSIALISASI PEMBUATAN ARANG KOMPOS BIOAKTIF DARI GULMA DI DESA KARYASARI DAN WONOSOBO



SOSIALISASI PEMBUATAN ARANG KOMPOS BIOAKTIF DARI GULMA DI DESA KARYASARI DAN WONOSOBO


 
Oleh :  Gusmailina 1)

  1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Telp : (0251) 8633378, Fax: (0251) 8633413



ABSTRAK


Gulma merupakan bahan yang cukup potensial karena sering dijumpai dimana saja, keberadaannya mengganggu tanaman budidaya, sehingga harus disingkirkan dan dibuang. Memanfaatkan gulma menjadi kompos atau arang kompos adalah solusi yang tepat untuk diterapkan, sebab gulma mudah diolah dan dapat dikembalikan ke lahan sebagai suplai bahan organik atau pembenah tanah. Sosialisasi pemanfaatan gulma menjadi kompos dan arang kompos telah di lakukan di dua lokasi yaitu di desa Karyasari, Kecamatan Leuwiliang Bogor dan Desa Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. 
Tulisan ini menyajikan sosialisasi pembuatan kompos dan arang kompos bioaktif dengan memanfaatkan gulma atau tumbuhan pengganggu sebagai bahan baku utama. Tujuannya untuk memperkenalkan dan menjelaskan teknik pengadaan kompos dan arang kompos dengan menggunakan bahan yang ada disekitarnya langsung pada masyarakat khususnya petani.  Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa gulma  sebagai tumbuhan pengganggu yang berasal dari kebun petani dapat dijadikan kompos atau arang kompos secara sederhana, murah, cepat dengan kandungan unsur hara cukup baik, dengan waktu pengomposan satu minggu.


Kata Kunci: Sosialisasi, arang kompos bioaktif, gulma, potensi

LEMBAR  ABSTRAK


SOSIALISASI PEMBUATAN ARANG KOMPOS BIOAKTIF DARI GULMA 
DI DESA KARYASARI DAN WONOSOBO


Gulma merupakan tumbuhan pengganggu yang sering dijumpai dan  keberadaannya mengganggu tanaman budidaya,  oleh karena itu harus disingkirkan dan dibuang. Memanfaatkan gulma menjadi kompos dan arang kompos merupakan solusi yang tepat, karena lahan budidaya akan bebas dari tumbuhan pengganggu. Di samping itu   juga akan diperoleh produktivitas lahan berkualitas secara mudah, murah dan cepat.  Tulisan ini menyajikan tentang kegiatan sosialisasi pembuatan kompos dan arang kompos dari gulma di dua lokasi kelompok masyarakat tani (Karyasari dan Wonosobo).

Kata Kunci: Sosialisasi, arang kompos bioaktif, gulma, potensi

 
ABSTRACT  SHEET


SOCIALIZATION ON THE MANUFACTURE OF COMPOST AND BIOACTIVE COMPOST CHARCOAL FROM WILD WEEDS AT KARYASARI AND WONOSOBO


Wild weeds are often described as disturbing plants and therefore unwelcome.  Consequently, those weeds should be eradicated and discarded.  Utilization of disturbing weeds into compost and bioactive charcoal compost is regarded as one solution.  This because this endeavor can clear their former growth areas free of disturbances, and in addition allow to acquire area productivity with high quality easily, cheaply, and fast.  In relevant, this article deals with activities of manufacturing compost and bioactive charcoal compost from wild weeds taking place on two locations of farmer groups (Karyasari and Wonosobo).


Keyword: Socialization, wild and disturbing weeds, compost and ,bioactive charcoal compost, useful, products.



 I.  PENDAHULUAN

            Sebelum pupuk kimia, pestisida, dan zat pengatur tumbuh  ditemukan, kebanyakan petani di berbagai negara umumnya menanam tumbuhan yang berfungsi sebagai pupuk hijau.  Selain dibuat kompos, juga digunakan pupuk kandang dengan mengembalikan sisa panen ke dalam tanah sehingga kadar bahan organik tetap terpelihara.  Seiring dengan meningkatnya pertambahan penduduk, para ahli dan praktisi pertanian berusaha keras meningkatkan produksi pertanian dengan jalan menanam benih unggul, memperkenalkan pupuk kimia,  pemberian zat pengatur tumbuh, dan penggunaan pestisida. Di samping itu ada yang sama sekali tidak mengembalikan sisa panen ke dalam tanah sebagai bahan organik, sehingga kadar C-organik tanah semakin merosot.  
            Dampak dari kebiasaan tersebut akan terjadi perubahan pola pikir petani terhadap aplikasi pupuk kimia, pestisida, dan zat pengatur tumbuh dalam dosis dan ketergantungannya yang tinggi.  Para petani konvensional beranggapan bahwa suatu produk pertanian tidak mungkin dihasilkan tanpa memakai pupuk kimia, pestisida dan zat pengatur tumbuh. Petani telah lupa bahwa untuk menghasilkan produksi tidak hanya tergantung pada pupuk, pestisida dan zat pengatur tumbuh saja namun juga harus diperhitungkan kecukupan bahan organik dalam tanah. Hingga saat ini perhatian petani dalam memanfaatkan pupuk organik masih sangat rendah, bahkan sering dijumpai kebiasaan memusnahkan bahan organik melalui cara pembakaran. Pemusnahan bahan organik ini, akan mempercepat berkurangnya bahan organik tanah dan berakibat negatif terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang sangat diperlukan bagi kesuburan tanah.  
            Untuk mengaplikasikan bahan organik ke areal yang luas juga membutuhkan persediaan bahan organik yang sangat besar, sebagai contoh untuk meningkatkan hasil jagung sebesar 1.292 kg/ha diperlukan kompos sebanyak 30.4 ton/ha (Anonim, 1987 dalam Away, et al., 1997). Jika dibandingkan dengan menggunakan pupuk kimia peningkatan hasil sebesar itu mungkin hanya menggunakan beberapa ratus kilogram pupuk kimia per hektar saja.  Sejalan dengan pemakaian bahan organik yang sangat besar tersebut, ada kendala lain yang juga dirasakan oleh petani yaitu pada saat bahan organik diaplikasikan ke suatu areal penanaman membutuhkan biaya pengangkutan yang besar pula. Namun apapun alasannya kecukupan bahan organik akan memberikan kondisi baik untuk mempertahankan atau meningkatkan kesuburan tanah. Kesuburan tanah bisa menurun akibat pemupukan kimia yang tidak seimbang dengan tingkat keberadaan bahan organik di tanah. Apalagi tidak diikuti dengan adanya pemberian bahan organik ke dalam tanah, struktur tanah akan menjadi semakin rusak.
            Masalah utama yang dihadapi saat ini adalah bagaimana caranya  menyediakan bahan organik dalam jumlah besar (1-20 ton/ha), sementara tanah yang akan dibudidayakan jumlahnya lebih dari seratus ribu hektar.  Tentunya diperlukan suatu konsep penyediaan bahan organik secara sederhana dan murah agar petani mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.  Jika konsep swasembada bahan organik dapat diterapkan oleh petani secara luas, dengan sendirinya penerapan sistem pertanian dengan biaya rendah dan ramah lingkungan akan dapat segera terwujud secara berkesinambungan.
            Gulma atau tumbuhan liar dalam suatu kawasan budidaya biasanya selalu dibuang atau di bakar, karena mengganggu tanaman yang diusahakan dan akan menimbulkan kompetisi dalam pengambilan unsur hara dalam tanah dengan tanaman pokok.  Akibatnya pertumbuhan tanaman pokok bisa  kalah bersaing dan menjadi kerdil. Oleh sebab itu kepada petani disarankan agar gulma dimanfaatkan menjadi kompos atau arang kompos sebagai penyedia bahan organik bagi lahan budidaya.  Potensi gulma cukup banyak, beragam dan hampir selalu ada di lingkungan baik di perumahan, kebun, sawah, atau perkebun hutan rakyat, sehingga para petani tidak sulit untuk mendatangkan bahan baku.  Jenis tumbuhan gulma bervariasi tergantung lokasi, biasanya dari jenis rumput-rumputan (Graminae), ilalang, sejenis tumbuhan menjalar, Ageratum sp, ki pait,  bahkan dedaunan seperti  pisang juga dapat dijadikan sebagai bahan utama.  Oleh sebab itu gulma atau tumbuhan liar adalah bahan baku yang cukup potensial dan dapat dimanfaatkan petani untuk dibuat kompos maupun arang kompos pengganti pupuk kimia.
Salah satu prinsip pelestarian lingkungan hidup dalam menunjang pertanian dan kehutanan yang berkelanjutan, adalah memanfaatkan sumberdaya yang sebelumnya tidak dimanfaatkan.  Oleh sebab itu perlu dilakukan beberapa aktivitas dengan tujuan untuk mensosialisasikan teknologi penyediaan kompos dan arang kompos dengan menggunakan bahan baku utamanya gulma dengan cara peragaan dan demontrasi.   Diharapkan  tulisan ini dapat memberi inspirasi bagi petani atau masyarakat lainnya yang berminat untuk melakukan kegiatan tersebut.
           
II.    BAHAN DAN METODE                     
A.    Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah gulma, aktivator pengomposan, arang serbuk gergaji, arang sekam, jerami, kotoran hewan, daun pisang tua, dan seresah beberapa jenis tanaman kehutanan.
 Sedangkan alat yang dipakai adalah karung plastik, sekop dan cangkul untuk mencampur atau mengaduk.
B.     Lokasi Kegiatan
Pembuatan kompos dari gulma dilaksanakan di desa Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo (Jawa Tengah), sedangkan pembuatan arang kompos bioaktif dari gulma dilakukan di Desa Karyasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor (Jawa Barat).  Di desa ini gulma diolah menjadi arang kompos bioaktif yang selanjutnya diaplikasikan pada tanaman Murbei. 

C.   Prosedur Pelaksanaan
       1.  Pembuatan kompos dari gulma di Desa Angestitani (lokasi 1).
          Di desa ini gulma hanya diolah menjadi kompos saja dengan menggunakan aktivator orgadec.  Gulma diperoleh dari sekitar kebun petani dan dicacah secara manual dengan golok/parang menjadi berukuran 2.5 - 5.0 cm. Aktivator orgadec digunakan sebagai biang untuk mempercepat proses pengomposan dengan dosis 0.5% (b/b) atau 5 kg OrgaDec per 1 ton gulma.    Cara pencampuran dilakukan dengan menaburkan bioaktivator   pada  tumpukan cacahan bahan kemudian diaduk dengan cangkul/garpu sampai merata. Selanjutnya disiram dengan air guna memperoleh kelembaban yang cukup (35 - 50%).  Bahan kompos secara bertahap ditempatkan dalam wadah plastik sambil dipadatkan sampai wadah terisi penuh dengan bahan kompos (kurang lebih 1 meter) kemudian ditutup. Wadah kompos dibiarkan seminggu dan diusahakan jangan sampai langsung kena air hujan (Gambar 1 dan 2). 
      2.  Pembuatan arang kompos bioaktif dari gulma di Desa Karyasari (lokasi 2).
Di lokasi ini banyak ditemukan limbah serbuk gergaji atau sekam, sehingga disarankan membuat arang kompos bioaktif.   Selain gulma juga  ditambahkan jerami dan kotoran hewan kambing dan ayam.  Pembuatan arang kompos bioaktif gulma juga menggunakan aktivator orgadec sebagai pemacu pengomposan (Goenadi dan Away, 1995).  Proses diawali dengan membuat arang dari serbuk gergaji atau dari sekam, kemudian arangnya digunakan sebagai campuran pada pembuatan kompos dengan dosis 10 % dari total volume bahan.  Teknik pembuatan arang kompos bioaktif  mengacu pada prosedur yang dilakukan di Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor (Gusmailina et al.,  2002).




                             

                            a                                         b                                            c

Gambar 1. Tahapan proses pembuatan kompos dari gulma (tumbuhan pengganggu) di desa Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo - Jawa Tengah
Keterangan gambar : a penyiapan bahan baku gulma, b memasukkan ke dalam wadah pengomposan, dan c. penutupan wadah kompos



      
                         a                                             b                                              c

Gambar 2. Proses pembuatan arang kompos bioaktif dari gulma (tumbuhan pengganggu) di desa Karyasari, kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor
Keterangan gambar a: proses penyediaan arang serbuk/sekam, b gulma sebagai bahan utama, dan c proses pengomposan


       3.  Pengamatan
   Parameter untuk mengetahui proses pengomposan berjalan sempurna sebagai berikut:  
a.  Terjadi penyusutan bahan yang dikomposkan yang ditandai dengan longgar atau turunnya tinggi permukaan pada wadah kompos.
b. Pada akhir pengomposan terlihat perubahan  warna dan hilangnya bau yang menyengat. 
c. Untuk mengetahui kualitas hasil yang diperoleh dan kandungan unsur haranya dilakukan analisis laboratorium.
d.  Jika selama pengomposan tidak terjadi penurunan tinggi pada permukaan wadah perlu dilakukan pengudaraan  atau aerasi dengan cara mengaduk kembali tumpukan kompos secara manual. Jika selama pengomposan berlangsung (+ seminggu) terjadi penurunan tinggi permukaan wadah atau terlihat longgar, pengudaraan atau aerasi tidak perlu dilakukan (biasanya tinggi permukaan tersebut turun berkisar antara 20 dan 30 cm).
4.  Analisis kompos dan arang kompos di lakukan di laboratorium Natural products, Biotrop  
     Bogor

 III.  HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pembuatan kompos dan arang kompos bioaktif selama seminggu, memberikan hasil yang cukup menjanjikan.  Kompos yang terbentuk berwarna cokelat kehitaman dan tidak memberikan aroma bau yang menyengat, walaupun keadaan kompos secara visual masih sama seperti bahan mentahnya. Ini merupakan ciri khas dari aktivator orgadec, karena bioaktivator yang dipakai bukan bersifat penghancur bahan/limbah organik (Goenadi et.al., 1997 dan Goenadi dan Away, 1995;  Away, 2003).  Bioaktivator tersebut bersifat  sebagai pengurai komponen kimia yang kompleks pada bahan menjadi komponen kimia sederhana yang langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Hasil analisis kandungan unsur hara makro kompos (lokasi 1) dan arang kompos bioaktif (lokasi 2) dari gulma dapat dilihat pada Tabel 1.

 Tabel 1. Hasil analisis kandungan unsur hara makro kompos dan arang kompos bioaktif dari gulma/tumbuhan pengganggu

No.
Komponen hara
Metode analisis
Kadar (%)
Lokasi 1
Lokasi 2
1.
N
Kjeldahl
1,80  
1.92
2.
P2O5
Spektrofotometri
0,75  
1,05
3.
K2O
AAS
3,37  
3,51
4.
CaO
AAS
3,09  
3,24
5.
MgO
AAS
1,92  
1,68
6.
C-Organik
Volumetri
32,9    
35,8
7.
Nisbah C/N (karbon/nitrogen)
Perhitungan
18,27  
18,6
     Keterangan: Dianalisis di laboratorium Natural products, Biotrop Bogor
                    Lokasi 1: Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo - Jawa Tengah
                         Lokasi 2 : Karyasari, Kecamatan leuwiliang, Kabupaten Bogor

            Sebagai salah satu tolok ukur tingkat kematangan bahan organik yang dikomposkan adalah nisbah C (karbon) dan N  (nitrogen). Makin matang tingkat dekomposisi bahan organik, makin rendah nilai C/N-nya.  Inbar et al. (1993) mengemukakan bahwa nilai C/N yang dianggap tidak menggangu proses kimia tanah adalah < 20. Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat kematangan kompos  di lokasi 1 dari bahan baku gulma yang diproses selama seminggu memberikan nilai C/N 18.27% sehingga kompos ini tidak mengganggu proses kimia yang ada di tanah.  Demikian juga arang kompos bioaktif di lokasi 2 mempunyai nilai C/N sebesar 18,6 dan 18,27. Kandungan terbesar bahan organik dari kompos mencapai 18% hingga 59%. Selain itu kompos juga mengandung unsur-unsur lain seperti posfor, kalium, calsium, dan magnesium yang relatif sedikit berkisar antara 2-3%. Besarnya persentase dari unsur-unsur tersebut sangat tergantung dari bahan dasar yang digunakan dan teknik pengomposannya.
            Dari Tabel 1 terlihat pula bahwa  pengaruh dekomposisi gulma  terhadap kadar hara dalam kompos memberikan nilai yang nyata antara lokasi 1 dengan lokasi 2 meskipun analisis terhadap gulma yang masih segar tidak dilakukan.  Hal ini menunjukkan bahwa gulma di sekitar kebun petani jika diproses menjadi kompos atau arang kompos dapat memberikan nilai tambah dalam penyediaan bahan organik.  Dengan demikian dapat menjamin  kesuburan, kelestarian tanah dan mengurangi ketergantungan pupuk kimia.
Kegiatan berikutnya kompos yang telah ada akan diuji coba penggunaannya terhadap tanaman kentang dan murbei. Jika dibandingkan dengan kualitas kompos menurut beberapa standar yang berlaku seperti pada Tabel 2, ternyata kedua kompos tersebut cukup baik.  Kompos dan arang kompos gulma lebih baik kualitasnya jika disbanding dengan standar kualitas kompos Perhutani (Perhutani, 1977 dalam  Mindawati et al., 1998), kecuali untuk unsur CaO.  Namun demikian unsur ini jauh kalah penting dibanding unsur hara N (nitrogen), P (fosfor), dan K (Kalium).  Jika dibanding dengan Standar kualitas kompos dari Pusri (Radiansyah, 2004), kompos dan arang kompos gulma sedikit lebih rendah, terutama unsur hara N dan P, sedangkan unsur K lebih tinggi dibanding standar.  Kualitas kompos sangat tergantung dari bahan baku yang digunakan.  Oleh karena itu untuk meningkatkan kandungan unsur hara N pada kompos dapat diatasi dengan penambahan jerami sebagai bahan baku atau dedaunan dari tumbuhan leguminosae (kacang-kacangan).
 Tabel 2.  Perbandingan kandungan unsur hara makro kompos gulma di lokasi 1
                dan  arang  kompos bioaktif gulma di lokasi 2 dengan  beberapa standar    
               No.
Komponen hara
Kadar (%)
Standar Perhutani, (%) *)
Standar Pusri, (%) **)
Lokasi 1
Lokasi 2
1.
N, %
1,80  
1.92 
1,1 
  2, 12 
2.
P2O5, %
0,75  
1,05 
0,9 
  1, 30
3.
K2O, %
3,37  
3,51 
0,6 
  2,00
4.
CaO, %
3,09  
3,24 
4,9 
  0,97 
5.
MgO, %
1,92  
1,68 
0,7 
  3,19 
6.
C-Organik, %
32,9   
35,8 
19,6 
-
7.
Nisbah C/N
18,27  
18,6 
10 – 20 
-
     Keterangan : Lokasi 1: Angestitani, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo - Jawa Tengah
                          Lokasi 2: Karyasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor
                           *) Sumber : Perhutani, 1977 dalam  Mindawati et al., 1998
                         **) Sumber : Radiansyah, 2004 

KESIMPULAN
            Dari hasil peragaan dan demontrasi teknologi pengomposan dan pembuatan arang kompos bioaktif dengan bahan baku gulma dapat disimpulkan  antara lain :
1.      Tanaman pengganggu yang berasal dari kebun petani dapat dijadikan kompos atau arang kompos dengan bioaktivator sebagai pemacu pengomposan secara sederhana, murah, dan cepat.
2.      Untuk mendapatkan kompos dan arang kompos bioaktif dari gulma dengan kandungan hara yang relatif cukup baik, dibutuhkan waktu pengomposan satu minggu
3.      Masyarakat tani di desa, baik secara berkelompok maupun perorangan  mampu membuat kompos dan arang kompos sendiri. 


DAFTAR PUSTAKA


Away, Y., D.H. Goenadi, dan P. Faturarchim. 1997. Pemanfaatan sampah pangkasan tanaman  teh sebagai bahan baku kompos bioaktif.  Warta Puslit. Biotek. Perkeb.III(1):33-40. Pusat Penelitian Biotek Perkebunan, Bogor

Away, Y, 2003.  Uji coba penggunaan bioaktivator “orgadec plus” pada sampah kota di TPA Bantar Gebang.  Laporan. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia.  Bogor

Goenadi, D.H. & Y. Away. 1995.  Cytophaga sp., and Trichoderma sp. as activators for composting.  Proc. Int. Cong. On Soils of Trop. Forest Ecosystem. 3rd Conf. On Forest Soils (ISSS-AISS-IBG).  Poster Session, 8:184-192. Kyoto University. Kyoto Japan.

Gusmailina, G. Pari dan S. Komarayati. 2002.  Pedoman Pembuatan Arang Kompos.
             Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Badan  Penelitian dan              
             Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Inbar, Y.Y., Chen and H.A.J. Hoitink. 1993. Properties for Establishing Standards for Utulization of Composts in Container Media.  In: Science and Engineering of Composting: Design, Environmental, Microbiological and Utilization Aspects.  H.A.J. Hoitink & H.M.Keener (Eds.). p.: 668-694. Renaissance Pub. Columbus, OH-USA.

Mindawati, N., N.H.L. Tata, Y. Sumarna dan A.S. Kosasih. 1998. Pengaruh beberapa macam limbah organik terhadap mutu dan proses pengomposan dengan bantuan efektif mikroorganisme 4 (EM4). Buletin Penelitian Hutan Bogor. No. 614 : 29-40. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Radiansyah, A.D. 2004.  Pemanfaatan sampah organik menjadi Kompos.  Makalah pada stadium Generale Fakultas Kehutanan IPB, 4 juli 2004. Bogor. Kementrian Lingkungan Hidup.  Jakarta.

1 komentar: