ISOLASI DAN SELEKSI MIKROBA POTENSIAL SEBAGAI AKTIVATOR
PENGOMPOSAN UNTUK MENDEKOMPOSISI LIMBAH KULIT Acacia mangium
(Isolation and Selection of Microbes
Potential as Composting Activator in Decomposing af Acacia mangium Bark)
Oleh : Gusmailina
ABSTRAK
Kulit kayu merupakan limbah organik yang dapat dimanfaatkan kembali secara
efektif dengan memberi perlakuan yang tepat.
Beberapa jenis kulit kayu dapat menyebabkan racun bagi pertumbuhan akar
tanaman, sehingga harus diberi perlakuan
terlebih dahulu sebelum digunakan. Salah
cara adalah melalui pengomposan. Dalam
proses tersebut diperlukan mikroorganisme sebagai aktivator yang berperan
mendegradasi kulit kayu dalam waktu singkat. Kulit kayu yang telah terdekomposisi
dan menjadi kompos selanjutnya dapat digunakan sebagai media tumbuh tanaman
baik di persemaian mapun di lapangan.
Penelitian bertujuan mencermati mikroba potensial efektif digunakan
sebagai aktivator pada pengomposan limbah kulit Acacia mangium, meliputi tahapan
eksplorasi, isolasi, dan seleksi mikroba yang terdapat pada limbah kulit tersebut.
Isolasi mikroba dilakukan pada berbagai tempat habitat alami yaitu pada areal
tumpukan kulit mangium di PT. TEL (Tanjung Enim Lestari) Pulp & Paper (Sumatera
Selatan) dan PT. IKPP (Indah Kiat Pulp & Paper), Perawang (Riau).
Hasil menunjukkan bahwa dari dua lokasi eksplorasi yang telah dilakukan,
diperoleh 46 isolat mikroba yang terdiri dari 23 isolat fungi dan 23 isolat
bakteri. Sebanyak 30 isolat (15 isolat fungi & 15 isolat bakteri) asal PT.
TEL Palembang, dan 16 isolat (8 isolat
fungi & 8 isolat bakteri) asal PT. IKPP, Perawang, Pekanbaru. Hampir semua isolat fungi positif mempunyai
kemampuan menguraikan lignin dan selulosa dengan kecepatan sedang hingga cepat,
sedangkan isolat bakteri yang diperoleh ternyata hanya bersifat pembusuk. Diantara semua isolat yang diperoleh, terpilih
7 isolat fungi yang diperkirakan potensial efektif mewakili ke dua lokasi.
Kata kunci : limbah
kulit kayu, Acacia mangium, pelapukan, pengomposan, mikroba, isolat.
ABSTRACT
Wood bark of particular plants reveals potential wastes reusable
effectively through proper treatment.
Several species of wood bark can inflict toxicity on the growth of plant
roots, thereby necessitating preliminary treatment prior to its uses. One of the manners can proceed through the
composting process, whereby it necessitates microorganisms as activator to
degrade wood bark in relatively short duration.
In this way, the wood bark decomposed into compost can further be used
as the growth media for plants in the nursery as well as in the field.
This research aimed to look microbes
potentially effective that would be used as activator in the composting of Acacia mangium bark wastes through tha
stages of consecutively exploration, isolation, and selection of microbes
already existed in those barks. Microbe
selection and isolation was performed on various natural habitats, involving
mangium bark piles situated at PT TEL Pulp and Paper (South
Sumatera) and PT IKPP, Perawang (Riau).
Results signified that from those
two exploration locations (PT TEL Pulp and Paper and PT IKPP) were acquired 46
microbe isolates comprising 23 fungi isolates and 23 bacteria isolates. As many as 30 isolats (i.e. 15 fungi and 15
bacteria isolates) were originated from PT TEL Pulp and Paper, and 16 isolats
(8 fungi isolates and 8 bacteria isolates) from PT IKPP. Almost all the fungi isolates afforded to
degrade lignin and cellulose at medium to fast rate. Meanwhile, bacteria isolates as acquired
served only as decaying agent. Among all
the acquire isolates were selected 7 fungi isolates presumed potentially
effective to represent those locations.
Keywords: wood bark wastes, Acacia mangium, decomposing, composting,
microbe, isolats
LEMBAR ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mencari mikroba potensial efektif yang akan
digunakan sebagai aktivator pada pengomposan limbah kulit Acacia mangium, meliputi tahapan
eksplorasi, isolasi, dan seleksi mikroba yang terdapat pada limbah kulit
mangium. Isolasi mikroba dilakukan pada berbagai tempat habitat alami yaitu
pada areal tumpukan kulit mangium di PT. TEL (Tanjung Enim Lestari) Pulp &
Paper (Sumatera Selatan) dan PT. IKPP (Indah Kiat Pulp & Paper), Perawang
(Riau). Hasil dari ke dua lokasi adalah
46 isolat mikroba terdiri dari 23 isolat fungi dan 23 isolat bakteri. Sebanyak
30 isolat (15 isolat fungi & 15 isolat bakteri) asal PT. TEL Palembang, dan
16 isolat (8 isolat fungi dan 8 isolat
bakteri) asal PT. IKPP, Perawang (Riau).
Hampir semua isolat fungi positif mempunyai kemampuan menguraikan lignin
dan selulosa. Dari ke dua lokasi terpilih 7 isolat fungi yang diperkirakan
potensial efektif
Kata kunci : limbah
kulit kayu, Acacia mangium, pelapukan, pengomposan, mikroba, isolat.
ABSTRACT SHEET
This research aimed to look into microbes
potentially effective that would be used as activator in the composting of Acacia
mangium bark wastes through the stages of consecutively exploration,
isolation, and selection of microbes already existed in those barks. Microbe selection and isolation was performed
on various natural habitats, involving mangium bark piles situated at PT TEL
Pulp and Paper (South Sumatera) and PT IKPP,
Perawang (Riau) locations. Results
signified that from those two exploration locations were acquired 46 microbe
isolates comprising 23 fungi isolates and 23 bacteria isolates. As many as 30 isolats (i.e. 15 fungi and 15
bacteris isolates) were originated from PT. TEL Pulp & Paper, and 16
isolats (8 fungi isolates and 8 bacteria isolates) from PT. IKPP. Amost all the fungi isolates afforded
positively to degrade lignin and cellulose.
From those two location were selected 7 fungi isolates presumed
potentially effective.
Keywords: wood bark wastes, Acacia mangium, decomposing, composting,
microbe, isolats
I.
PENDAHULUAN
Kulit kayu merupakan limbah organik potensial, dengan sedikit perlakuan
dapat dimanfaatkan kembali sebagai media pada persemaian atau kembali ke lahan
sebagai upaya untuk mengembalikan sebagian bahan terangkut pada saat panen. Kelemahan
dari kulit kayu ini mempunyai nisbah karbon-nitrogen (C/N) sangat tinggi yang
menyebabkan defisiensi unsur hara pada bibit tanaman hutan apabila tidak diberi
perlakuan secara tepat. (Brundrett et al.,
1996).
Sekitar 80 % (15,18 ton/ha) dari kulit Acacia mangium yang terangkut ke industri pulp kertas, hanya 20 %
yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar boiler. Sisanya menjadi polutan yang potensial
mencemari lingkungan, terutama perairan sekitarnya (Gusmailina, et al., 2002). Untuk mencegah timbulnya masalah bagi
industri pulp, membakar adalah salah
satu jalan yang ditempuh selama ini untuk menyelesaikan masalah limbah kulit. Padahal
membakar menyalahi kaidah dan konsep ekologis yang lestari, karena material organik
yang terangkut dari lahan pada saat panen
dikembalikan lagi ke lahan tersebut dalam bentuk bahan siap pakai untuk
menjaga stabilitas bahan organik tanah.
Hal ini perlu diperhatikan agar produktivitas lahan dan tanaman tetap
terjaga, sehingga industripun terjaga kesinambungan produksinya.
Beberapa jenis kulit kayu mengandung bahan ekstraktif tertentu yang dapat
menyebabkan racun bagi pertumbuhan akar tanaman, sehingga harus diberi perlakuan terlebih
dahulu sebelum digunakan. Cara terbaik untuk mengatasi kelemahan tersebut
adalah melakukan proses pengomposan melalui pencampuran dengan beberapa bahan
organik lainnya, sehingga kekurangan unsur hara essensial dapat terpenuhi. Dalam proses pengomposan diperlukan
mikroorganisme sebagai aktivator yang berperan untuk mendegradasi kulit kayu
dalam waktu singkat. Kulit kayu yang telah terdekomposisi dan menjadi kompos,
selanjutnya dapat digunakan sebagai media tumbuh tanaman baik di persemaian
mapun di lapangan.
Terkait dengan uraian tersebut, telah dilakukan penelitian dengan tujuan
mencari mikroba potensial efektif berasal dari limbah kulit kayu mangium. Ini merupakan
penelitian awal yang nantinya akan digunakan sebagai aktivator pada pengomposan
limbah kulit Acacia mangium. Kegiatan penelitian tersebut meliputi eksplorasi,
isolasi, dan seleksi mikroba yang terdapat pada tumpukan limbah kulit mangium.
Isolasi mikroba dilakukan pada berbagai tempat habitat alami yaitu, pada areal
tumpukan kulit mangium di PT. TEL (Tanjung Enim Lestari) Pulp & Paper (Sumatera
selatan) dan PT. IKPP (Indah Kiat Pulp & Paper), Perawang (Riau) . Kegiatan yang hampir sama juga dilakukan oleh
Djarwanto, Suprapti dan Martono (2008), tetapi aktivitas yang dilakukan lebih
difokuskan pada teknik koleksi fungi pelapuk pada areal HTI pulp.
II. BAHAN
DAN METODE
A. Bahan
dan Alat
1. Bahan utama
yang digunakan antara lain: serbuk kulit
kayu mangum dengan ukuran 40-150 mesh. Bahan diambil dari habitat alami pada
tumpukan serbuk dan kulit kayu mangium di area PT. TEL Pulp & Paper, Muara
Enim Palembang (Sumatera Selatan) dan PT. IKPP (Indah Kiat Pulp & Paper)
Perawang (Riau). Di PT. TEL contoh diambil pada berbagai kondisi tumpukan
limbah mulai yang berumur 3 bulan hingga tumpukan umur 3 tahun. Di PT. IKPP, bahan
diambil di areal komposting secara alami mulai umur 0,5 bulan hingga umur 6
bulan.
2. Berbagai
bahan kimia dan mikrobiologis lainnya seperti RBB (reamazol brilliant blue),
selopan, medium agar, medium MMN (modified melin norkrans), medium Pachelewski,
H2O2 5%, sodium hipoklorit 5%, asam laktat, triphan blue, kertas lakmus (pH
indikator), kertas saring, cotton blue,
bacto agar, guaiacol, alcohol, potato
dextrose agar (PDA), ethanol, glycerol, basanud 3G, triphan blue, dektrose, potasium hydroksida pellets, serta bahan penunjang lainnya seperti air
suling, kantong plastik dan lain-lain.
3. Alat
yang dipakai antara lain autoclave, laminar, pisau, pinset, ose, cawan petri, bak
plastik, kaliper, meteran, preparat dan cover
glass, timbangan analitik, oven, pH
meter, planimetri, lampu spiritus, dan peralatan gelas seperti: tabung reaksi, gelas
piala, erlenmeyer, dan lain-lain.
B. Metode
1. Tahap 1
(Eksplorasi, isolasi dan seleksi)
Kegiatan
eksplorasi dilakukan pada habitat alami pada tumpukan serbuk dan kulit kayu
mangium di area PT. TEL Pulp & Paper, Muara Enim Palembang (Sumsel) dan PT.
IKPP (Indah Kiat Pulp & Paper) Perawang, Pekanbaru (Riau). Eksplorasi di
beberapa tempat yang diperkirakan mengandung mikroba dekomposer yang ditandai
dengan pembusukan atau pelapukan dari limbah kulit tersebut. Eksplorasi ada yang di bagian permukaan,
tengah dan bagian bawah tumpukan kulit pada beberapa tingkat umur tumpukan
dengan indikasi melalui warna spora yang terbentuk. Ada kelompok fungi yang menunjukkan spora
dengan warna kemerahan, kebiruan, kekuningan dan keputihan. Tetapi warna tersebut tidak menyolok, kecuali
jika dilihat dan diperhatikan secara teliti. Kondisi inipun jarang dijumpai
karena eksplorasi dilakukan pada musim kemarau.
Hasil eksplorasi
dibawa ke laboratrium, dicuci, dipisahkan lalu diencerkan secara bertingkat
untuk ditumbuhkan pada media yang sudah disediakan (metode Nishida et al., 1988). Kemudian dilakukan
isolasi dan screening dalam beberapa
tingkat untuk mendapatkan isolat murni.
Masing-masing sampel juga dianalisis kandungan C organik, dan N untuk
mengetahui tingkat pembusukan/pelapukan yang terjadi melalui nilai C/N yang
diperoleh. Pada tahap akhir pengujian, media dicampur
dengan serbuk kulit Acacia mangium,
sehingga diperoleh isolat mikroba yang diperkirakan berpotensi sebagai
dekomposer kulit A. mangium. Pengujian dilakukan beberapa tahap dengan 4
kali ulangan untuk mendapatkan hasil yang tepat.
2. Tahap 2 (uji sellulolitik dan
lignolitik)
a. Kemampuan
selulolitik diuji secara kualitatif dengan mengikuti prosedur Poincelot dan Day (1972) dan Moore et al. (1979) dengan melihat pelepasan
pewarna RBB dari selopan. Selopan yang
telah diberi RBB digunakan untuk mengetahui kemampuan isolat dalam mengurai
selulosa, yang diletakkan di atas medium agar.
Isolat yang telah diinokulasi diinkubasi pada suhu kamar dan suhu 37o
C. Kemampuan selulolitik diamati
setiap hari selama seminggu dengan kriteria adanya pelepasan pewarna RBB dari
selopan ke dalam media dan/atau hilangnya pewarna RBB dari selopan.
b. Kemampuan
isolat dalam mengurai lignin diuji mengikuti metode Nishida et al. (1988) yang telah dimodifikasi
yaitu isolat ditumbuhkan pada medium yang ditambah dengan serbuk kulit kayu
mangium dengan ukuran 150 mesh dan 0.025 ml guaiakol. Kemudian diinkubasi pada suhu kamar 37o C selama 7 hari. Pada hari ke 7 diamati intensitas warna
cokelat dari daerah cincin (terang, normal, gelap) yang terbentuk disekitar
koloni pada medium, lalu diukur luasnya dengan menggunakan planimetri. Warna cokelat gelap dengan luas lebih dari 5 cm2
yang terbentuk digunakan untuk menduga besarnya kemampuan lignolitik dari
isolat tersebut. Kriteria ini didasarkan
atas asumsi bahwa makin besar kemampuan lignolitik dari suatu isolat, maka
makin banyak lignin yang didegradasi atau semakin banyak fenol yang terbentuk
sehingga makin gelap atau luas daerah cincin cokelat yang terbentuk (Rayner dan
Body, 1988).
3. Parameter
yang diukur
a. Lapangan
Parameter
yang diukur selain visualisasi mikroba yang berkembang pada tumpukan limbah
kulit mangium di lapangan, juga kondisi
keasaman (pH), kelembaban, dimana dilakukan eksplorasi mikroba.
b. Laboratorium
Analisis
karbon-nitrogen (C/N) rasio bahan. Pengukuran
intensitas warna cokelat dari daerah cincin (terang, gelap, normal) yang
terbentuk di sekitar koloni pertumbuhan mikroba (menurut Rayner dan Body,
1988).
C. Analisis Data
1. Isolasi
dan seleksi diuji secara kualitatif untuk mengetahui mikroba yang diperoleh
termasuk fungi atau bakteri serta dengan mengikuti prosedur Poincelot dan Day (1972) dan Moore et al., (1979) dengan melihat pelepasan
pewarna RBB dari selopan
2. Analisis
sifat dan karakterisitik bahan serbuk dan kulit kayu meliputi nisbah C/N limbah kulit mangium
3. Data
yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk mengetahui isolat mikroba yang diperkirakan
berpotensi sebagai dekomposer. Penetapan
isolat terpilih berdasarkan pengamatan parameter pertumbuhan koloni mikroba
pada saat uji lignolitik, melalui luas area cincin yang berwarna cokelat yang
diukur dengan menggunakan planimetri (menurut Rayner dan Body, 1988).
4. Tulisan ini merupakan hasil penelitian tahun
pertama dari 5 tahun rencana penelitian.
Identifikasi mikroba akan dilakukan pada akhir penelitian jika sudah
diketahui mikroba yang potensial efektif sebagai dekomposer.
III. HASIL
DAN PEMBAHASAN
A. Eksplorasi
Mikroba
Eksplorasi yang dilakukan di
beberapa tempat yang mengandung mikroba dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2 meliputi
kondisi keasaman/pH dan nisbah C/N dari masing-masing sampel yang berasal dari
lokasi eksplorasi yaitu PT. TEL dan PT. IKPP. Pada Tabel 3 dan 4 dapat
diketahui hasil isolasi dan seleksi mikroba asal PT. TEL dan PT. IKPP berdasarkan
lokasi eksplorasi. Sementara pada Gambar
1 dapat dilihat sebagian contoh isolat yang berasal dari PT. TEL mencakup golongan
bakteri (A) dan golongan fungi (B).
A B
Gambar 1. Contoh sebagian isolat golongan bakteri (A)
dan fungi (B).
Figure 1. Samples revealing
part of isolats with regard to bacteria group (A) and fungi group (B)
Tabel 1.
Hasil analisis sifat dan karakteristik bahan penelitian berdasarkan
lokasi eksplorasi mikroba di PT. TEL,
Sumatera Selatan
Table 2.
Results of analysis on properties and characteristics of research
materials that correspond to the site of microbe exploration at PT. TEL (South Sumatera)
No
|
Kode Contoh
(Sample
code)
|
Pengenceran
(Dilution)
|
Media
|
pH
|
C Organik
(Organic)
|
N-Kjeldahl
|
C/N
ratio
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1
|
LFK
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,1
|
42,96
|
0,92
|
46,48
|
2
|
LFB
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
6,0
|
27,69
|
1,22
|
22,61
|
3
|
TP2
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,2
|
33,58
|
0,93
|
35,98
|
4
|
TP3
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,2
|
40,61
|
0,83
|
33,36
|
5
|
TP4
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,1
|
42,81
|
1,01
|
42,30
|
6
|
TP5
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
6,7
|
14,70
|
1,34
|
10,99
|
7
|
TPDA
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
6,3
|
37
|
1,30
|
28,46
|
8
|
TP6LD
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,0
|
32,48
|
1,06
|
30,63
|
9
|
TP6LL
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,0
|
37
|
0,88
|
42,02
|
10
|
TP6A
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,1
|
40,02
|
1,25
|
32,13
|
11
|
SB1
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,1
|
45,58
|
1,18
|
38,69
|
12
|
SBKT
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
6,0
|
40,26
|
1,89
|
21,29
|
13
|
SBKTB
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,1
|
38,38
|
0,97
|
39,57
|
14
|
SBKAT
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,9
|
41,01
|
0,62
|
26,41
|
15
|
SBM
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
4,6
|
44,93
|
0,77
|
58,15
|
Keterangan : (Remarks)
LFK :
|
Land fill
kering (wet landfill)
|
LFB :
|
Landfill agak
basah (rather wet landfill)
|
TP2 :
|
Tempat pembuangan limbah
serbuk dan kulit di pabrik umur 2 bulan (Discarding
location for waste of sawdust and wood bark in the factory, at 2 month
duration)
|
TP3 :
|
Tempat pembuangan limbah
serbuk dan kulit di pabrik umur 3 bulan (Discarding
location for waste of sawdust and wood bark in the factory, at 3 month
duration)
|
TP4 :
|
Tempat pembuangan limbah
serbuk dan kulit di pabrik umur 4 bulan (Discarding
location for waste of sawdust and wood bark in the factory, at 4 month
duration)
|
TP5 :
|
Tempat pembuangan limbah
serbuk dan kulit di pabrik umur 5 bulan (Discarding
location for waste of sawdust and wood bark in the factory, at 5 month
duration)
|
TP6LD:
|
Tempat pembuangan limbah
serbuk dan kulit di pabrik umur 6 bulan, lapisan dalam (Discarding
location for waste of sawdust and wood bark in the factory, at 6 month
duration, inner layer)
|
TP6LL:
|
Tempat pembuangan limbah
serbuk dan kulit di pabrik umur 6 bulan, lapisan luar (Discarding location for waste of sawdust and wood bark in the
factory, at 6 month duration, outer layer)
|
TP6A :
|
Tempat pembuangan limbah
serbuk dan kulit di pabrik umur 6 bulan, bagian atas (Discarding location for waste of sawdust and wood bark in the
factory, at 6 month duration, upper portion
|
TPDA :
|
Tempat pembuangan limbah
serbuk dan kulit dekat air (Discarding
location for waste of sawdust and wood bark in the factory, near the water)
|
SB1 :
|
Suban jeriji 1 /kondisi
basah (wet condition)
|
SBKT :
|
Suban jeriji 2 -----------,,
---------------------
|
SBKTB:
|
Suban jeriji 3 -----------,, ---------------------
|
SBKAT:
|
Suban jeriji 4 -----------,, ---------------------
|
SBM :
|
Suban jeriji 5 -----------,, ---------------------
|
NA :
|
Natrium Agar (Sodium agar)
|
MEA :
|
Malt Extract Agar
|
Tabel 2.
Hasil analisis sifat dan karakteristik bahan penelitian berdasarkan
lokasi eksplorasi mikroba di PT. IKPP,
Pekanbaru (Riau)
Table2.
Results of analysis on properties and characteristics of research
materials that correspond to the site of microbe exploration at PT. IKPP,
Pekanbaru (Riau)
No
|
Kode Contoh
(Sample
code)
|
Lokasi eksplorasi
(Exploration
location)
|
Pengenceran
(Dillution)
|
Media
|
pH
|
C Organik
(C Organic)
|
N-Kjeldahl
|
C/N
ratio
|
1
|
A
|
Tumpukan awal composting ( early composted pile)
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
4,8
|
56,58
|
0,82
|
69
|
2
|
B
|
Tumpukan komposting 0,5
bulan (Composted pile with 0,5 month
duration)
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,6
|
68,13
|
1,74
|
39
|
3
|
C
|
Tumpukan komposting 1 bulan
(Composted pile with 1 month duration)
|
10 6 10 8
10 4 10 6
|
NA
MEA
|
5,4
|
56,88
|
1,74
|
33
|
4
|
D
|
Tumpukan komposting 2 bulan
(Composted pile with 2 month duration)
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,0
|
54,32
|
1,06
|
51
|
5
|
E
|
Tumpukan komposting 3 bulan
(Composted pile with 3 month duration)
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
4,6
|
59,25
|
0,92
|
64
|
6
|
F
|
Tumpukan komposting 4 bulan (Composted pile with 4 month duration)
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,5
|
45,26
|
1,52
|
30
|
7
|
G
|
Tumpukan komposting 5 bulan
(Composted pile with 5 month duration)
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,8
|
54,82
|
2,06
|
27
|
8
|
H
|
Tumpukan komposting 6 bulan
(Composted pile with 6 month duration)
|
10 6 10 8
10 4 10
6
|
NA
MEA
|
5,7
|
42,40
|
1,46
|
29
|
Keterangan (Remarks) : Proses
pengomposan terjadi karena aktifitas mikroba alami
(The composting process took place due to
the activity of natural microbes)
Berdasarkan Tabel 1 dan 2 dapat diketahui bahwa dari dua lokasi
pengambilan sampel yang telah dilakukan, diperoleh 23 isolat mikroba,
masing-masing 15 isolat dari TEL, 8 isolat dari PT. IKPP. Kondisi pH sewaktu pengambilan sampel di
lokasi TEL berkisar antara 4,6 sampai 6,7, dengan rata-rata 5,4. Kondisi ini termasuk rendah yang menunjukkan
bahwa sampel yang diambil masih dalam proses penghancuran/pembusukan secara
alami. Dari sekian sampel yang diperoleh
hanya satu sampel yang mempunyai kondisi pH mendekati normal yaitu 6,7. Kondisi ini menunjukkan bahwa sampel yang
diambil telah mengalami proses penghancuran secara alami yaitu pada tumpukan
limbah yang telah berumur 5 bulan.
Berbeda dengan tumpukan limbah yang telah berumur 6 bulan, tetapi
memiliki pH yang lebih rendah dibanding dengan kondisi tumpukan limbah umur 5
bulan. Oleh sebab itu dalam penelitian
ini kondisi pH yang tercatat belum menunjukkan standar untuk menentukan kondisi
tingkat penghancuran limbah secara alami,
karena tingkat
pembusukan/penghancuran/ penguraian limbah secara alami yang terjadi
dalam satu tumpukan tidak sama. Namun
demikian walaupun nilai pH yang dicatat hanya merupakan faktor penunjang, dan
akan memberikan gambaran bahwa di tempat tersebut telah terjadi proses
penghancuran secara alami, berarti pada tempat tersebut terdapat mikroba
pengurai. Hal yang sama juga diketahui
bahwa pH yang tercatat dari sampel di PT. IKPP berkisar antara 4,6 – 5,8. Kondisi ini menunjukkan bahwa substrat dimana
eksplorasi mikroba dilakukan telah mengalami penguraian. Sampel yang diambil
pada tumpukan proses pengomposan umur 5 dan 6 bulan mempunyai nilai pH terbesar
yaitu 5,7 dan 5,8 yang artinya mendekati pH normal dan kemungkinan proses
penguraian hampir selesai.
Indikasi lain secara visual dalam pengambilan sampel adalah warna yang
ditunjukkan oleh spora dari mikroba (fungi).
Walaupun warna yang ditunjukkan tidak begitu jelas, namun jika
diperhatikan secara seksama warna tersebut akan terlihat pada beberapa tempat. Pelaksanaan eksplorasi agak kurang tepat,
karena dilakukan pada saat musim kemarau, sehingga menghambat pertumbuhan
mikroba, terutama golongan fungi akibat kelembaban yang sangat rendah. Selama eksplorasi tidak pernah dijumpai fungi
tingkat tinggi. Fungi ini sangat mudah
dikenal melalui keberadaan tubuh buahnya.
Eksplorasi mikroba di PT. IKPP, lebih terfokus. Pengambilan
sampel dilakukan pada area komposting yang berjarak sekitar 3 km dari
pabrik. Sejak 2 tahun terakhir, PT. IKPP telah mencoba mengolah berbagai
jenis limbah padat pabrik menjadi kompos yaitu
berupa campuran limbah kulit, serbuk kayu, sludge padat dan sludge
lumpur, abu sisa pembakaran boiler, dan gambut.
Teknik pengomposan dilakukan secara aerobik konvensional, ditumpuk
memanjang, terbuka dan tanpa menggunakan aktivator atau mikroba tertentu,
tetapi hanya mengandalkan mikroba yang ada di alam secara alamiah, sehingga
membutuhkan waktu yang lama yaitu 6 bulan.
Setiap hari dibolak-balik dengan menggunakan excavator. Sampel diambil di setiap tumpukan komposting
mulai dari tumpukan yang berumur 1 bulan, seterusnya hingga umur 6 bulan. Namun
dari analisis sementara menunjukkan bahwa kompos yang dihasilkan kurang
sempurna, karena proses yang terjadi bukan proses pengomposan, tetapi lebih
cenderung kepada proses pembusukan dengan mengandalkan iklim dan cuaca
setempat. Kemungkinan hal ini yang menjadi penyebab mengapa dari hasil isolasi
mikroba yang diperoleh (Tabel 4), jumlah bakteri lebih banyak dari pada fungi.
Gambar 2 bertujuan untuk
mengetahui jumlah perolehan mikroba berdasarkan analisis C/N dari substrat
tempat pengambilan sampel. Lazimnya semakin
rendah C/N substrat dimana eksplorasi dilakukan, mikroba yang diperoleh makin
besar. Karena diperkirakan proses penguraian telah terjadi. Sehubungan dengan
hal tersebut, Kriangsek (1986) mengemukakan bahwa C/N rasio merupakan salah
satu indikasi yang menunjukkan dimana telah terjadi proses penguraian suatu
bahan organik. Akan tetapi dari hasil
yang diperoleh ternyata tidak ada indikasi kecenderungan yang menunjukkan
jumlah mikroba berdasarkan C/N dari substrat baik golongan fungi maupun bakteri.
Pada lokasi PT. TEL nilai C/N substrat/tumpukan tertinggi terjadi
pada lokasi dengan kode SBM dengan nilai C/N 58, diikuti berturut-turut oleh lokasi
dengan kode LFK dan TP4 masing-masing mempunyai nilai C/N 46 dan 42. Hal yang sama juga dijumpai pada lokasi ke
dua yaitu di PT. IKPP. Keduanya sama menunjukkan bahwa pada kondisi C/N
berapapun bakteri yang diperoleh lebih banyak dari fungi. Hal ini mungkin disebabkan karena eksplorasi
dilakukan pada waktu musim kemarau, sehingga fungi sedikit dijumpai. Kalaupun
ada, tetapi fungin tersebut tidak terdeteksi karena keberadaannya mungkin dalam
bentuk spora.
(Bacteri Fungi) (Bacteri
Fungi)
A B
Gambar 2. Grafik hasil isolasi mikroba di lokasi
pengambilan contoh (A) : PT. TEL dan (B)
: PT. IKPP
Figure 2.
Graph illustrating the resulting isolation of microbe at two sampling
locations: PT TEL (A) and PT.IKPP (B)
B. Isolasi
dan Seleksi
Berdasarkan pertumbuhan
mikroba dari masing-masing isolat yang berasal dari PT. TEL menunjukkan bahwa
jumlah fungi yang terhitung berkisar antara (4–9) x 10 4 dan (2–5) x
10 6. hal yang sama juga
terlihat pada pertumbuhan mikroba asal IKPP yaitu berkisar antara (5-9) x 104
sampai (3-6) x 106.
Pertumbuhan bakteri lebih banyak
dijumpai pada intensitas pengenceran 108, sedangkan pertumbuhan
fungi banyak dijumpai pada intensitas pengenceran 104. Isolasi dilakukan berdasarkan intensitas pengenceran,
bertujuan agar sel-sel mikroba lebih terpisah satu dengan yang lainnya,
sehingga lebih mudah untuk melakukan isolasi (Ruel and Barnoud, 1985; Away dan
Goenadi, 1995). Selain itu hasil yang diperoleh melalui cara pengenceran lebih
meyakinkan, terutama dalam hal kemurniannya.
Pada Tabel 3 dan 4 dapat dilihat hasil isolasi dan seleksi mikroba dari
2 lokasi yaitu PT. TEL dan PT. IKPP dan masing-masing mencakup beberapa lokasi
pengambilan contoh.
Tabel 3. Hasil isolasi dan seleksi mikroba asal PT.
TEL Palembang berdasarkan
lokasi eksplorasi
Table 3. Results of isolation
and selection of microbe from PT TEL (South Sumatera)
that correspond to exploration location
No
|
Kode Contoh
(Sample
code)
|
Jumlah bakteri/
pada pengenceran
(Number of
bacteria at dilution intensity)
|
Jumlah fungi/
pada pengenceran
(Number of
fungi at dilution intensity)
|
||
10 6
|
10 8
|
10 4
|
10 6
|
||
1
|
LFK
|
45
|
13
|
6
|
2
|
2
|
LFB
|
54
|
5
|
5
|
2
|
3
|
TP2
|
60
|
5
|
5
|
3
|
4
|
TP3
|
54
|
5
|
9
|
4
|
5
|
TP4
|
TBUD
|
28
|
5
|
2
|
6
|
TP5
|
54
|
5
|
6
|
3
|
7
|
TP6A
|
40
|
43
|
4
|
3
|
8
|
TP6LL
|
TBUD
|
92
|
8
|
5
|
9
|
TP6LD
|
TBUD
|
12
|
5
|
2
|
10
|
TPDA
|
TBUD
|
5
|
7
|
3
|
11
|
SB1
|
72
|
TBUD
|
6
|
4
|
12
|
SBKT
|
TBUD
|
5
|
7
|
3
|
13
|
SBKTB
|
TBUD
|
26
|
5
|
3
|
14
|
SBKAT
|
TBUD
|
145
|
8
|
5
|
15
|
SBM
|
TBUD
|
36
|
6
|
4
|
Keterangan (Remarks): TBUD = Tidak bisa untuk dihitung (uncountable)
Tabel 4. Hasil Isolasi dan
seleksi mikroba asal PT. IKPP
Perawang (Riau) berdasarkan lokasi eksplorasi
Table 4. Results of isolation and selection of microbe
from PT IKPP Perawang (Riau) that corresponded to exploration location
No
|
Kode Contoh
(sample
code)
|
Jumlah bakteri
(Number of
bacteria)
|
Jumlah fungi
(Number of
fungi)
|
||
10 6
|
10 8
|
10 4
|
10 6
|
||
1
|
A
|
63
|
18
|
8
|
4
|
2
|
B
|
TBUD
|
23
|
6
|
4
|
3
|
C
|
TBUD
|
15
|
9
|
6
|
4
|
D
|
57
|
26
|
9
|
5
|
5
|
E
|
52
|
17
|
7
|
4
|
6
|
F
|
TBUD
|
21
|
5
|
2
|
7
|
G
|
49
|
15
|
8
|
5
|
8
|
H
|
59
|
19
|
6
|
3
|
Keterangan (Remarks) : TBUD = Tidak bisa untuk dihitung (uncountable)
Beberapa
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba terutama adalah komponen dari
medium biakan seperti: pH, aktivitas air, dan tekanan osmose, serta beberapa
faktor yang berasal dari luar seperti suhu, oksigen dan tekanan (Handrech and
Black, 1984). Kesemua ini akan
mempengaruhi laju pertumbuhan mikroba. Sedangkan
di alam umumnya siklus kehidupan mikroba baik fungi maupun bakteri tergantung
dari objek yang ada untuk dirombak
Adakalanya degradasi atau perombakan diawali oleh mikroba golongan fungi,
setelah terjadi proses degradasi dalam
kurun waktu tertentu, fungi akan mati tetapi tersimpan dalam bentuk spora untuk
selanjutnya degradasi tersebut dilanjutkan oleh bakteri, atau bisa sebaliknya
yaitu degradasi diawali oleh bakteri untuk selanjutnya diteruskan oleh fungi. Kondisi seperti inilah yang mungkin
terjadi pada pada penelitian ini. Dikarenakan oleh musim kemarau, sehingga
jumlah fungi yang diperoleh sedikit. Dalam hal ini bakteri hanya berfungsi
sebagai pembusuk, sementara fungi berfungsi sebagai pengurai/dekomposer. Oleh sebab itu fokus pencarian mikroba pada
penelitian ini adalah mikroba yang berfungsi sebagai pengurai (Higuchi, 1985).
Telah diketahui bahwa mikroba yang
efektif sebagai pengurai pada bahan berkayu (yang mengandung lignin) adalah
fungi yang termasuk ke dalam kelas Basidiomycetes, atau lebih terkenal dengan white rot fungi atau fungi pelapuk putih/FPP
(Blanchette, et al. 1988). Fungi ini
termasuk fungi tingkat tinggi dan mudah dikenal apabila ditemukan tubuh
buahnya. Pada bagian bawah tubuh buah
biasanya terdapat spora sebagai alat untuk perbanyak diri. Namun beberapa peneliti mengemukakan bahwa
hampir tidak pernah menemukan tubuh buah dari fungi ini. Bahkan beberapa peneliti berulang kali
mencoba berusaha menumbuhkan tubuh buah dari fungi ini, tetapi hingga sekarang
belum berhasil. Oleh sebab itu fungi
yang termasuk FPP ini bukan mikroba yang menjadi target penelitian, karena
tidak dapat digunakan sebagai bahan utama untuk
dikemas sebagai aktivator. Hal
ini disebabkan karena sulit menemukan sporanya.
Sehingga yang menjadi target pencarian adalah fungi tingkat rendah. Di alam fungi ini mudah dijumpai melalui
warna dari spora. Berbagai warna dapat
dijumpai mulai warna kemerahan, kekuningan, hijau atau putih.
Berdasarkan hasil pengamatan
serta dari beberapa ciri, acuan serta informasi yang diperoleh, sebagaian besar
fungi yang didapatkan termasuk FPP dan untuk sementara diperkirakan genus Tricoderma. Diketahui bahwa jenis fungi ini adalah salah satu fungi
tingkat rendah yang telah banyak digunakan untuk berbagai keperluan (Kirk and
Shimada.1984; Away dan Goenadi, 1995), namun belum dapat diketahui spesiesnya.
Karena untuk menentukan spesies suatu mikroba, membutuhkan waktu yang relatif
lama dengan biaya yang tinggi. Sehingga
untuk sementara pencarian spesies dari genus Tricoderma tersebut ditunda, namun lebih difokuskan pada
efektivitas dari mikroba tersebut, melalui tahapan pengujian baik secara invitro, laboratorium, maupun skala
lapangan. Jika hasil yang diperoleh
sudah dapat diyakini maka, selanjutnya baru dilakukan pencarian spesies. Pengujian selanjutnya hanya dilakukan
terhadap isolat fungi, karena isolat inilah yang menunjukkan aktivitas pengurai.
Isolat bakteri yang diperoleh hanya bersifat pembusuk, sehingga untuk sementara
tidak dilakukan pengujian lanjutan, tetapi akan disimpan dalam kultur pada
kondisi yang sesuai, sehingga bila dibutuhkan bahan tersedia untuk dipelajari.
C. Uji
Selulolitik
Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa, hampir semua isolat fungi positif mempunyai
kemampuan menguraikan selulosa dengan kecepatan sedang hingga cepat. Hal ini ditandai dengan penampakan luas
cincin yang lebih besar dari 5 cm pada suhu 28 oC dan 37 oC. Isolat fungi tersebut umumnya melepaskan RBB,
menghilangkan RBB, dan sekaligus menghilangkan dan melepaskan RBB.
Menurut Basuki (1994),
penggunaan senyawa RBB dilakukan karena molekul pewarna tersebut akan membentuk
ikatan kovalen dengan unit molekul glukosa dari beberapa jenis polisakharida
termasuk diantaranya selulosa. Fungi
yang mempunyai kemampuan selulolitik apabila dikulturkan pada selulosa yang
diberi pewarna RBB akan menghidrolisis selulosa dan melepas glukosa. Warna biru pada media disebabkan oleh pewarna
RBB yang berwarna biru berikatan dengan molekul-molekul glukosa. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa fenomena
yang mungkin terjadi dalam pengujian ini antara lain: (a) isolat mendegradasi
selulosa dari selopan sehingga pada media terjadi pelepasan warna biru, dan
media akan berwarna biru, atau (b) isolat merombak pewarna RBB pada selopan
sehingga warna biru dari selopan hilang dan selopan menjadi berwarna putih,
atau (c) isolat mendegradasi selulosa dari selopan dan juga merombak pewarna
RBB (Gambar 2).
a b c
Gambar 3. Uji selulolitik dari salah satu isolat, (a)
pelepasan RBB, (b) penghilangan RBB, dan (c) pelepasan dan penghilangan RBB
Figure 3. Cellulolitic test on one of the isolats (a)
the release of RBB; (b) the disappearance of RBB; and (c) the release and
disappearance of RBB
Pada penelitian ini uji selulolitik hanya digunakan sebagai uji
penunjang, karena fokus penelitian adalah uji lignolitik. Hal ini didasari oleh tujuan dan sasaran
secara keseluruhan dari penelitian, bahwa semua teknik dan metode yang
dikerjakan adalah untuk memperoleh mikroba potensial dan efektif yang
selanjutnya akan dikemas menjadi suatu produk aktivator pengomposan pada limbah
kulit kayu. Oleh sebab itu uji
selulolitik digunakan sebagai uji dasar untuk menunjang uji selanjutnya. Selain itu uji selulolitik seringkali
digunakan pada kegiatan yang bertujuan pencarian mikroba pengurai bahan
lignoselulosa, yang mempunyai potensi memisahkan lignin dengan selulosa atau
hemiselulosa tanpa merusak selulosa maupun hemiselulosa. Meskipun banyak hasil penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa beberapa mikroba tertentu dapat memisahkan lignin, tetapi masih tetap
merusak selulosa walaupun dalam jumlah sedikit.
Ciri ini umumnya dijumpai pada FPP, sehingga berpotensi digunakan dalam
industri, terutama industri pulp kertas yang diolah secara biokimia-mekanis,
yang selama ini dilakukan secara kimia (Blanchette et al. 1988; Kirk dan
Erikson, 1989; Away dan Goenadi, 1995).
Sementara mikroba target untuk aktivator tidak membutuhkan sifat
selektif dalam penguraian seperti FPP tersebut.
Sifat yang dibutuhkan dapat menguraikan lignin yang efektif tanpa
memperdulikan keadaan selulosa, ini disebabkan karena dalam proses lignolitik,
selulosa dengan sendirinya akan ikut terurai bersamaan dengan penguraian
lignin.
4. Uji lignolitik
Untuk mengetahui isolat dalam menguraikan lignin, dilakukan pengujian
mengikuti metode Nishida et al.
(1988) yang dimodifikasi. Bubuk kulit
kayu mangium sebagai sumber lignin dihaluskan hingga 150 mesh. Area cincin cokelat yang terbentuk di
sekitar koloni menunjukkan adanya kemampuan penguraian lignin. Gambar uji lignolitik dari salah satu isolat dapat
dilihat pada Gambar 3. Parameter yang diamati pada hari ke tujuh adalah
intensitas warna cokelat dari daerah cincin antara terang, sedang, atau gelap,
kemudian diukur luasnya. Selanjutnya untuk
menentukan isolat terpilih, yaitu yang dapat membentuk area cincin cokelat
dengan intensitas warna gelap dengan luas yang melebihi 5,0 cm2. Berdasarkan pengamatan dari luas area cincin
cokelat yang lebih dari 5 cm2, terpilih 7 isolat fungi yang
diperkirakan potensial efektif mewakili kedua lokasi (PT. TEL Pulp dan Paper
dan PT. IKPP)
Gambar 4.
Uji lignolitik dari salah satu isolat
(tanda panah menunjukkan lingkaran area cincin cokelat sebagai indikasi
perkiraan isolat potensial yang efektif)
Figure 4.
Lignolitic tests on one at the isolats (arrow designates area circle
that reveals brown colored ring as indication of isolats presumed potentially
effective)
Beberapa sumber menyebutkan bahwa kandungan lignin yang terdapat pada
kulit kayu mangium digunakan oleh isolat sebagai sumber karbon untuk memperoleh
energi melalui proses enzimatik.
Aktivitas enzim pengurai lignin dari isolat menyebabkan polimer ini
mengalami depolimerisasi menjadi beberapa komponen penyusun lignin yang
berwarna cokelat dengan intensitas warna dan luas yang berbeda pada media (Kirk,
1985; Away dan Goenadi, 1995).
IV. KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
- Dari dua lokasi eksplorasi yang telah dilakukan, diperoleh 46 isolat mikroba yang terdiri dari 23 isolat fungi dan 23 isolat bakteri. Sebanyak 30 isolat (15 isolat fungi dan 15 isolat bakteri) asal PT. TEL (Sumatera selatan), dan 16 isolat (8 isolat fungi & 8 isolat bakteri) asal PT. IKPP, Perawang (Riau).
- Hampir semua isolat fungi positif mempunyai kemampuan menguraikan lignin dan selulosa dengan kecepatan sedang hingga cepat, sedangkan isolat bakteri yang diperoleh ternyata hanya bersifat pembusuk.
- Diantara semua isolat yang diperoleh, terpilih 7 isolat fungi yang diperkirakan potensial efektif mewakili ke dua lokasi.
B. Saran
Perlu diuji efektivitas 7 isolat
potensial yang diperkirakan efektif sebagai dekomposer baik secara in vitro maupun skala laboratorium
DAFTAR PUSTAKA
Away, Yufnal dan Goenadi, D. H.,
1995. Isolasi dan seleksi fungi pelapuk
putih dari tandan kosong kelapa sawit.
Menara Perkebunan. Jurnal
Penelitian Bioteknologi Perkebunan. Tahun ke 63 No.3. Pusat Penelitian
Bioteknologi Perkebunan. Bogor
--------------------------------------,
1995. Pemanfaatan fungi pelapuk putih
sebagai activator delignifikasi tandan kosong kelapa sawit dalam proses
pembuatan pulp secara biokemis. Laporan
Tahunan 1995 Pusat Penelitian Bioteknologi
Perkebunan. Asosiasi Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan Indonesia.
Bogor.
Basuki, T.
1994. Biopulping, biobleaching
dan biodegradasi limbah industri pulp kertas oleh jamur Basidiomycetes
Phanerochaete chrysosporium. Laporan
Penelitian PAU. Bioteknologi. Institut
Teknologi Bandung, Bandung.
Blanchette, R.A. dan T.A. Burnes, G.F.
Leatham dan M.J. Effland (1988). Selection
of white rot fungi for biopulping.
Biomass, 15, 93-101
Brundrett M,
N. Bougher, B. Dell, T. Grove, and Malajczuk. 1996. Working with mycorrhizas in
forestry and agriculture. ACIAR Monograph 32. 374 + x p.
Flechter,
A. 1986.
Biodegradation of lignocellulosic materials. Microbial utilization of renewable
resources. Vol. 5. Joint
Seminar on Biotechnology, Osaka – Japan,
p. 283-290
Gusmailina, S. Komarayati, G. Pari, dan D.
Hendra. 2002. Kajian teknologi pengolahan arang dan limbah
pengolahan pulp dan kertas di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Teknologi Hasil Hutan. Bogor
Hadiutomo, R. S. 1988.
Metode metode untuk bakteriologi.
PAU-IPB bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB. Bogor.
Handrech KA.
and N.D. Black. 1984. Growing Media for Ornamental Plants and Turf. New
South Wales University
Press, Sydney.
Higuchi,
T. 1985.
Biosynthesis and Biodegradation of Wood Components. Academic Press, Inc. New
York.
Judoamidjojo,
R.M., E.G. Said dan L. Hartarto (1989). Biokonversi.
PAU Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kirk, T.
K. 1985.
Lignin Biodegradation: the Microorganism Involved and Physiology and Biochemistry
of Degradation by White-Rot Fungi. In Higuchi, T (ed). Biosynthesis and
Biodegradation of wood Component. Academic
Press, Inc., Orlando.
Kirk, T.K. dan
K.E. Erikson (1989). Roles for
biotechnology in manufacture. In Robert Frank (Ed). Worl pulp and paper technology 1990 - The
international review for the pulp and paper industry. P. 23-29. London, Sterling
publishing group PLC.
Kirk, T.K.
and M. Shimada. 1984.
Lignin Biodegradation: the Micro organisme Involved and the Physiology
and Biochemistry of Degradation by White Rot Fungi. Academic Press, Inc. New
York.
Kuntoro,
S. (1985) Mikroba dan Hari Depan Manusia. Lembaga
Penerbitan Yayasan Padamu Negeri. Jakarta.
Kriangsek, M.U. , 1986. The Use of Chemical and Organic
Fertilizer Rice-Fish
Culture System.
Unpublished MS Thesis. CLSU. Munos.
Nueva Ecija. Philippines.
Moore, R.L., B.B. Basset dan
M.J. Swit. 1979. Developments in the remazol brilliant blue dyeassay for
studying the ecology of cellulose decomposition. Soil Biology and Biochemistry, 11:311-312.
Nishida, T.,
Y. Kashino, A. Mimura dan Y. Takahara. 1988.
Lignin biodegradation by wood-rooting fungi. I. Screening oflignin
degrading fungi. Mokuzai Gakkaishi,
34:530-536. Japan.
Panshin, A.
J. Dan C. De Zeeuw. 1978. Textbook of Wood
Technology 3rd ed. McGraw-Hill Book Company.
New York.
Poincelot,
R.P. dan P.R. Day. 1972. Simple dye release assay for determining
cellulolitic activity of fungi. Appl.
Microbiol. 23:875-879.
Rao, N.S Subha,
1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi Kedua. Penerbit
Universitas Indonesia.
Rayner,
A.D.M. dan L.I.Body. 1988. Fungal Decomposition
of Wood.Its Biology and Ecology. John Wiley dan Sons. Nath Avon.557p
Ruel, K dan
F. Barnoud. 1985. Degradaton of Wood by Microorganisms. In T.
Higuchi (ed). Byosynthetic and Biodefradation Wood Component. Academic Press, New York.
Soltes, J.
1983. Cellulose: Elusive Component of
the Plant Cell Wall. In W.A. Cote (Ed). Biomass Utilization, p. 283-290. New
York, Plenum Press.
mau yang asik ? adu ayam
BalasHapus