BORNEOL
POTENSI ATSIRI MASA DEPAN *)
Oleh : Gusmailina
Pusat Litbang Keteknikan
Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH), Badan Litbang Kehutanan,
Jalan Gunung Batu No. 5. Telp/Fax (0251) 8633378; 8633413. Bogor. Email : gsmlina@gmail.com
ABSTRAK
Borneol adalah salah satu komoditas hasil hutan bukan
kayu yang banyak tersebar di alam sebagai komponen minyak atsiri. Di bidang industri borneol digunakan sebagai bahan
baku penyusun parfum, bahan pengester dan bahan farmakop sebagai antiseptic, antispasmodic,
carminative, cardiac stimulant, respiratory aid, dan anthelmintic. Di China Borneol juga dikenal dengan nama
Bing Pian, banyak digunakan sebagai bahan pencampur pada pembalut wanita karena
berfungsi untuk mengurangi rasa sakit dan tekanan pada saat haid, mengurangi
rasa sakit pada otot dan sendi, membantu membersihkan darah beku, mencegah
pemkembang biakan kuman serta masih banyak kegunaan lainnya.
Borneol dalam bentuk kristal
merupakan komponen yang dihasilkan dari getah pohon yang sangat dibutuhkan oleh
pasar internasional. Di pasaran borneol
kristal umumnya diciptakan secara sintetis dari minyak terpentin atau
kamper. Borneol banyak terdapat pada
tanaman lain selain pada getah Dryobalanops spp, antara lain seperti
Sembung, Kencur, Jahe, Sage, Thyme, dan
masih banyak tumbuhan lainnya, bahkan pada minyak nilam juga terdapat kandungan
borneol, akan tetapi hanya dalam jumlah dan konsentrasi yang relatif
kecil.
Tulisan ini menyajikan
informasi tentang borneol serta prospeknya sebagai komoditi atsiri Indonesia,
karena menurut beberapa exportir, akhir-akhir ini borneol asal Dryobalanops
banyak dicari untuk digunakan sebagai bahan pengobatan alternatif, sebagai
aromaterapi. Karena penggunaan borneol secara
tepat, dapat menghancurkan pembekuan darah pada kasus pembekuan darah pada otak
atau jantung. Namun pengelolaannya harus
memenuhi kaidah dan cara pemungutan hasil yang berkelanjutan dan
sustainability, serta harus ada pengawasan yang ketat dari pihak yang terkait.
Karena untuk mendapat borneol saat ini, tidak harus menebang pohon, melainkan
hanya di sadap minyaknya, kemudian dengan sedikit teknologi selanjutnya
ditransformasi menjadi kristal. Harga
kristal borneol jauh lebih mahal dari pada minyak. Oleh sebab itu harus ada standar dan pengawasan
yang ketat agar penjualan komoditi ini harus dalam bentuk kristal.
Kata kunci : Borneol, atsiri,
potensi, manfaat, prospek,
==============================================================================
*) Disampaikan
sebagai MAKALAH POSTER pada Disampaikan sebagai makalah poster pada
Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversitas Indonesia . Kampus UI
Depok, 20 Desember 2014.
**) Peneliti pada PUSTEKOLAH (Pusat Litbang
Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan), Badan Litbang Kehutanan. Jalan Gunung Batu No 5, Bogor 16610
BORNEOL, THE FUTURE ESSENTIAL POTENTIAL
Oleh : Gusmailina
Pusat Litbang Keteknikan
Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH), Badan Litbang Kehutanan,
Jalan Gunung Batu No. 5. Telp/Fax (0251) 8633378;
8633413. Bogor. Email :
gsmlina@gmail.com
ABSTRACT
Borneol is one of the non-timber forest products are widely distributed in nature as a component of essential oils. In industry borneol is used as a constituent of perfume raw materials, ingredients and materials farmakop as an antiseptic, antispasmodic, carminative, cardiac stimulant, respiratory aid, and anthelmintic. In China borneol also known by the name of Bing Pian, widely used as a blending material in sanitary napkins because it serves to reduce pain and stress during menstruation, reduce pain in muscles and joints, helps cleanse the blood clot, preventing developing bacteria culture and many other uses.
Borneol in crystal form is a
component that is produced from
the sap of a tree that is needed by the international market.
In the market borneol crystals generally created
synthetically from turpentine oil or
camphor. Borneol found
in many other plants besides
the sap Dryobalanops
spp, among others such as Sembung, Powder,
Ginger, Sage, Thyme,
and many other plants,
even the patchouli
oil also contained borneol content, but
only in the
amount and concentration of
the relatively small .
This paper presents information about borneol and future
prospects as an essential
commodity in Indonesia, because according to some
exporters, lately borneol origin Dryobalanops much
sought after for use as an alternative
medicine, as aromatherapy.
Due to the use of borneol appropriately, can
destroy blood clots in the case of blood
clotting in the brain or heart. Borneol future
prospects in Indonesia can develop, because there
is still Indonesia's forests are
overgrown by Dryobalanops aromatica. However, to be followed by government
regulations that to
take borneol there
should be no logging. Borneol
can be obtained by notching the oil from
the stem, then with
technological innovation, then the oil is
transformed into crystals. Furthermore,
there should be a standard arrangement
in accordance with the designation.
Keywords: borneol, volatile, potential, benefits, prospects,
I.
PENDAHULUAN
Borneol adalah terpena alkohol menyerupai powder atau kristal yang
berwarna putih (CHOH), menyerupai kamper, yang diperoleh dari batang pohon yang terdapat di Asia Tenggara, yang
banyak digunakan dalam pembuatan wewangian, sebagai antiseptik dan lain-lain (Huo, 1995). Di China dikenal dengan nama
Bing pian's yang berfungsi sebagai anti-inflammasi dan analgesik.
Borneol alami hampir tidak pernah ditemukan di Eropah atau Amerika. Permintaan besar akan komoditi ini selalu datang
dari China, karena China lebih awal memanfaatkan borneol ini dalam pengobatan
dan kosmetika. Akan tetapi borneol yang
umum digunakan di China adalah borneol yang berasal dari Cinnamommum. China
menyebutnya juga sebagai Kalimantan kamper atau kapur barus Melayu atau
camphol. Di Indonesia borneol berasal dari pohon Dryobalanops, termasuk ke dalam familia Dipterocarpaceae. Jenis ini
banyak tersebar di Kalimantan dan Sumatera serta beberapa pulau di kepulauan
Riau. Namun belakangan ini jenis ini sudah jarang sekali ditemukan di
Kalimantan, terutama species Dryobalanops
aromatica.
Dryobalanops
aromatica adalah salah
satu jenis pohon yang diketahui pasti mengandung borneol. Unsur yang
dimanfaatkan dari pohon kapur ini adalah kristal kapur dan minyak kapur.
Kristal kapur diperoleh pada bagian tengah (dalam) batang pohon. Kedua unsur
tersebut tidak selalu ada pada pohon kapur terutama pada pohon yang berusia
ratusan tahun atau pada pohon yang masih terlalu muda (Vurren,1908 dalam Sutrisna, 2008). Dahulu proses pengambilan kristal kapur
meliputi beberapa tahap, mulai dari
memilih dan menebang, kemudian memotong batangnya dalam bentuk balok-balok.
Tidak selamanya pemilihan pohon berhasil mendapatkan barang yang dicari. Penebanganpun
dilakukan secara sembarangan sebelum menemukan sebatang pohon yang berisikan
cukup kapur barus. Bila kemudian
ditemukan pohon yang memang berisikan cukup kapur barus, barulah dilakukan
proses pengumpulan/ pengambilannya. Ada dua cara yang dilakukan yaitu : potongan balok kayu dibelah. Dari setiap
potongan balok inilah diperoleh kristal kapur. Pengambilan kristal kapur itu
juga dapat dilakukan dengan cara mentakik tiap potongan balok. Dari satu
pohon yang ditebang dapat diperoleh sekitar 1,5–2,5 kilogram kristal kapur
dengan kualitas yang berbeda. Cara lain
pengambilan kristal kapur adalah dengan mengambil langsung dari batang pohon
kapur yang keluar secara alami dari pori-pori kulitnya. Cara ke dua lebih baik dari cara pertama,
karena untuk mendapatkan barus tidak harus menebang pohon, cukup menyadap dari
batang pohon.
Gambar 1. Kristal D. keithii, D. lanceolata, D. oblongifolia, D. Rappa yang
terletak pada sel-selparenkim aksial (Sumber :
Toshihiro Yamada and
Eizi Suzuki, 2004)
Gambar 2. Pohon Dryobalanops dan Kristal yang keluar dan
diambil secara alami (foto dok. Gusmailina)
Borneol (C10H18O) banyak tersebar di alam
sebagai komponen minyak atsiri. Di bidang industri borneol murni bersama juga
isoborneol digunakan sebagai bahan baku penyusun parfum dan bahan pengester.
Borneol murni bersifat racun yang dapat mengakibatkan kekacauan mental. Borneol
di China dikenal juga dengan nama Bing
Pian. Salah satu
penggunaannnya adalah sebagai bahan tambahan pada pembalut wanita (bio panty)
yang bermanfaat untuk mengurangi kesakitan dan tekanan ketika haid,
mengurangi kesakitan otot dan sendi, membantu membersihkan darah beku, dan
mencegah perkembang biakan kuman (Choi, 2003 dan Duke, 2005).
Gambar 3. Struktur Kimia
Borneol
Gambar 4. Salah
satu produk kewanitaan yang mengandung borneol yang bermanfaat untuk :
Mengurangi rasa nyeri saat haid, dan membuat tubuh fresh & nyaman
Mengurangi rasa nyeri saat haid, dan membuat tubuh fresh & nyaman
II. Jenis-jenis Dryobalanops; penghasil
Borneol
Menurut Tong Shaoquan & Tao Gouda (1990), Dryobalanops
memiliki 16 spesies subspecies, varieties, forms, and cultivars dalam genus
antara lain: D. abnormis · D. aromatica (Sumatra Camphor) · D. beccarii · D. camphora · D. fusca · D. kayanensis · D. keithii · D. lanceolata · D. neglectus · D. oblongifolia · D. oblongifolia oblongifolia · D. oiocarpa · D. oocarpa · D. rappa · D. schefferi · D. sumatrensis. Beberapa ahli Taksonomi dan Botani menjelaskan
bahwa Dryobalanops terdiri dari 7 spesies yang kesemuanya terdapat di pulau
Kalimantan dan Sumatera, akan tetapi saat ini keberadaan Dryobalanops sudah sangat jarang ditemukan di tegakan hutan alam
baik di Sumatera maupun Kalimantan. Di
beberapa tegakan hutan tanaman dan penelitian telah ditanam beberapa spesies Dryobalanops seperti D. Lanceolata dan D. Oblongifolia. Hasil
pengamatan awal perlu diketahui ke tujuh jenis Dryobalanops berdasarkan
beberapa pustaka antara lain :
1.
Dryobalanops aromatica, umumnya dikenal sebagai Borneo
Kamper, Kamper Pohon,
Melayu Kamper, atau Sumatera Kamper. Spesies ini salah satu sumber utama dari kapur barus yang mempunyai nilai
lebih dari emas yang digunakan untuk dupa dan parfum, sehingga pada awalnya pedagang
Arab yang datang untuk mencari sebagai komoditi perdagangan. Hal ini ditemukan di Sumatera, Semenanjung Malaysia dan Kalimantan. Pohon besar
mencapai 65 m atau bahkan 75 m, dahulu
banyak ditemukan di hutan Dipterocarpaceae campuran
pada kedalaman tanah berpasir di pada hutan lindung.
2.
Dryobalanops rappa. Nama spesies
ini berasal dari suku Iban (rawa kerapa =
dangkal) dan mengacu pada habitat spesies. Spesies
ini endemik Kalimantan. Hal ini ditemukan pada kawasan yang
dilindungi (Gunung Mulu National
Park). Pohon ini
dapat mencapai tinggi sampai 55 m,
sering ditemukan di hutan rawa gambut
pantai campuran dan
hutan pegunungan rendah kerangas. Ini adalah kayu berat
yang dijual dengan nama dagang Kapur.
3.
Dryobalanops keithii. Spesies ini dinamai HG Keith
pada tahun 1899-1982 suatu Konservator
Hutan di Borneo
Utara. Spesies ini endemik
Kalimantan, di mana ia terancam karena kehilangan habitat. Pohon dengan kanopi utama
mencapai tinggi 40 m.
Ditemukan di hutan Dipterocarpaceae campuran baik di lahan kering, liat dan lembab. Kayunya
berat dijual dengan nama Kapur.
4.
Dryobalanops
lanceolata Nama
spesies ini berasal dari bahasa Latin (lanceolatus = berbentuk seperti kepala
tombak) dan mengacu pada bentuk daun. Spesies ini endemik Kalimantan, ditemukan
di lima kawasan hutan lindung, namun terancam punah karena kehilangan habitat. Pohon
besar mencapai 80 m, ditemukan di hutan campuran Dipterocarpaceae di lapangan pada
tanah liat yang kaya. Kayu berat yang
dijual dengan nama dagang Kapur. Spesies ini telah ditanam pada hutan
penelitian seperti hutan penelitian haurbenthes, Bogor.
5.
Dryobalanops
oblongifolia Nama spesies ini berasal dari bahasa Latin
(oblongus = agak panjang dan folium = daun) dan mengacu pada bentuk daun. Ada
dua subspesies: Dryobalanops oblongifolia
Dyer subsp. oblongifolia Dyer
(sinonim = Baillonodendron malayanum
& Dryobalanops abnormis) adalah
endemik di Kalimantan. Hal ini ditemukan dalam satu kawasan lindung, namun di
tempat lain terancam punah karena hilangnya habitat. Pohon mencapai ketinggian hingga 60 m, ditemukan di
hutan Dipterocarpaceae campuran pada tanah liat berpasir. Yang kedua subspesies
Dryobalanops oblongifolia Dyer subsp.
occidentalis P.S. Ashton (sinonim = Dryobalanops beccariana & Dryobalanops ovalifolia) ditemukan di
Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Keduanya kayu berat dijual dengan nama Kapur.
6.
Dryobalanops keithii Spesies ini dinamai HG Keith pada tahun 1899-1982
suatu Konservator Hutan di Borneo Utara.
Spesies ini endemik Kalimantan, di mana ia terancam
punah karena kehilangan habitat. Ini
adalah pohon yang mempunyai kanopi
utama hingga 40 m, ditemukan di hutan Dipterocarpaceae campuran pada tanah liat lembab. Kayu berat
yang dijual dengan nama dagang Kapur.
7.
Dryobalanops fusca Spesies fusca namanya berasal dari
bahasa Latin (fuscus = berwarna gelap) dan mengacu pada bulu burung berwarna gelap Spesies ini endemik Kalimantan,
di mana ia terancam punah karena kehilangan habitat. Pohon besar mencapai tinggi hingga 60 m, ditemukan di kerangas
di pantai. Kayu berat yang dijual dengan nama dagang Kapur.
Pada gambar
berikut dapat dilihat beberapa jenis Dryobalanops
dari beberapa pustaka yang diperoleh (Ashton, P.S. 2004; Anonim, 2007).
1. Punahnya potensi dryobalanops di Sumatera utara
Di Sumatera Utara pohon kapur (Dryobalanops aromatica C. F. Gaertn )semakin
sulit ditemukan di habitatnya. Pohon ini sudah termasuk salah satu tanaman langka di Indonesia. Bahkan IUCN Redlist memasukkannya dalam status
konservasi Critically
Endangered atau Kritis. Status ini merupakan status keterancaman
dengan tingkatan paling tinggi sebelum status punah. Tumbuhan ini kebanyakan tumbuh di hutan Dipterocarp campuran hingga ketinggian
300 meter dpl. Persebaran tumbuhan langka ini mulai dari Indonesia (pulau Sumatera dan Kalimantan) dan Malaysia (Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Serawak). Menurut Heyne (1987), di Sumatera potensi Dryobalanops tersebar di Sumatera Utara,
Aceh, Riau dan Sumatera Barat. Di
Sumatera selain disebut Kapur atau Barus tanaman ini dinamai Haburuan atau
Kaberun. Sedangkan di Kalimantan disebut
juga sebagai Ampadu, Amplang, Kapur, Kayatan, Keladan, Melampit, Mengkayat,
Mohoi, Muri, dan Sintok. Dalam bahasa
Inggris tumbuhan ini disebut sebagai Borneo
Camphor, Camphor
Tree, Malay
camphor atau Indonesian
Kapur. Sedangkan dalam bahasa latin (ilmiah) nama resminya adalah Dryobalanops aromatica
yang bersinonim dengan Dryobalanops
sumatrensis (JF Gmel.) Kosterm., Laurus
sumatrensis JF Gmel., Arbor
camphorifera Rumph., Dipterocarpus
Dryobalanops Steud., Dipterocarpus
teres Steud, Dryobalanops
camphora Colebr., Dryobalanops
junghuhnii Becc., Dryobalanops
vriesii Becc Correa., Pterigium
teres, dan Shorea camphorifera Roxb (Heyne, 1987).
Di Sumatera Utara
pohon ini dahulu sangat terkenal sebagai penghasil kapur barus, sehingga
ada satu daerah dinamai kota Barus. Kapur barus dari pohon Kapur ini telah
menjadi komoditi perdagangan internasional sejak abad ke-7 Masehi. Namun
sekarang tumbuhan ini sudah tidak ditemukan lagi. Kelangkaan dan terancam
punahnya spesies tanaman ini diakibatkan oleh penebangan yang membabi buta
untuk mendapatkan kristal kapur barus di dalamnya. Padahal kandungan kampur
dalam setiap pohon tidak sama, bahkan terkadang sangat kurang. Ancaman lainnya
diakibatkan oleh kerusakan
hutan dan kebakaran
hutan serta konversi
lahan menjadi kebun kelapa sawit.
Informasi yang diperoleh berdasarkan hasil survey
yang dilakukan pada bulan Agustus 2011,
pada tahun 1980-1990an potensi Dryobalanops masih cukup banyak dan
diusahakan oleh masyarakat di sekitar hutan, tetapi sejak 10 tahun terakhir
sudah tidak ada lagi tanamannya, karena tidak ada peremajaan dan lahannya telah
diganti dengan tanaman kelapa sawit, sehingga tanaman tersebut menjadi punah. Hasil informasi yang diperoleh dari seorang mantan
pengumpul getah Dryobalanops di
kecamatan Barus, daerah Barus, Sorkam
dan juga di Singkil (Aceh Barat) sekitar 3,5 jam dari Barus, merupakan daerah
yang cukup potensial pada jaman Belanda.
Barus merupakan sentra penghasil getah / kapur barus dan
minyak, yang harga getahnya pada jaman dahulu mereka jual bervariasi
antara 50 – 100 ribu per kg getahnya,
sedangkan minyaknya mereka gunakan sebagai obat gosok untuk menghangatkan
badan. Namun sekarang semua itu tinggal
cerita belaka, karena Dryobalanops
sudah tidak ditemukan lagi di Barus.
2.
Potensi Dryobalanops di
KalimantanTimur
Sama hal nya di Sumatera Utara, di Propinsi Kalimantan Timur jenis pohon ini
sudah hampir tidak ditemukan lagi di hutan alam. Hal ini dikemukakan oleh Dr. Ir. Kade Sidyase
seorang peneliti señor bidang Botani di BTP Semboja (komunikasi pribadi , 2011). Disebutkan juga beberepa jenis Dryobalanops yang tersebar di pulau Kalimantan yang kemungkinannya masih tersisa
yaitu : Dryobalanops rappa Becc.; dan Dryobalanops
fusca Slooten Yaitu di Kalimantan Barat sekitar Kapuas hilir dan Ketapang, Dryobalanops
keithii Symington kemungkinan ada di Sandakan, Nunukan, Malinoks. Sedangkan Dryobalanops
yang terdapat di hutan penelitian di Samarinda dan Semboja adalah Dryobalanops lanceolata, dan sebagian besar masih memiliki diameter
batang dibawah 30 cm, sehingga belum bisa ditakik/disadap getahnya. Di
wilayah Arboretum dan KHDTK Semboja hanya ditemukan satu jenis Dryobalanops dengan spesies lanceolata, demikian juga di Arboretum
B2PD, Samarinda ditemukan beberapa pohon Dryobalanops
lanceolata, namun masih berumur dibawah 10 tahun.
Gambar 5.
Dryobalanops lanceolata di hutan penelitian B2PD Samarinda
Gambar 6.
Dryobalanops aromatica di hutan perbatasan Kalimantan-Serawak
Di Kalimantan Timur
hanya ditemukan satu jenis Dryobalanops
lanceolata. Jenis Dryobalanops aromatica
dijumpai di hutan perbatasan Kalimantan dengan Serawak Malaysia. Ciri khas dari jenis pohon ini adalah pucuk
daun termuda berwarna kemerahan. Pohon diperkirakan berumur antara 15- 20 tahun
dengan diameter batang sekitar 40 cm.
Oleh sebab itu untuk wilayah
Kalimantan perlu dieksplorasi lagi untuk wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Selatan, sedangkan untuk wilayah Sumatera, perlu
dieksplorasi lagi untuk wilayah Aceh, Sumatera Barat, dan Jambi. Hal ini berdasarkan informasi dari Perguruan
tinggi yang berada di Jambi, Sumbar dan NAD, bahwa ada ditemukan beberapa jenis
Dryobalanops di masing-masing wilayah tersebut, hanya belum diketahui
spesiesnya.
Dari hasil survey yang
telah dilakukan baik di Sumatera Utara, maupun Kalimantan Timur, menunjukkan
bahwa Dryobalanops sudah sangat
jarang ditemukan. Oleh sebab itu perlu
dilakukan upaya konservasi mengingat potensi manfaatnya bagi kesehatan umat
manusia, sekarang maupun di masa mendatang.
III. POTENSI BORNEOL
Borneol banyak terdapat pada tanaman lain selain pada
getah/damar/minyak Dryobalanops
spp, antara lain seperti Sembung, Kencur, Jahe, Sage, Thyme, dan masih banyak tumbuhan
lainnya, bahkan pada minyak nilam juga terdapat kandungan Borneol, akan tetapi
hanya dalam jumlah dan konsentrasi yang relatif kecil (Chung & Shibamoto,
1993). Akhir-akhir ini Borneol asal Dryobalanops banyak dicari oleh periset,
herbalist maupun pedagang. Karena
penggunaan Borneol dalam jumlah yang relatif sedikit saja sangat efektif untuk
mencairkan darah beku pada kasus pembekuan darah/penyumbatan pembuluh darah
pada jantung maupun otak manusia (Dharmananda, 2003).
Informasi tentang
produktivitas, kuantitas dan kualitas Dryobalanops
spp sebagai penghasil HHBK belum banyak ditemukan, bahkan hampir tidak
ditemukan. Beberapa institusi yang telah
melakukan penelitian tentang borneol, kebanyakan yang berasal dari tumbuhan
sembung dan temu-temuan. Padahal borneol asal Dryobalanops ini mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan
sangat dibutuhkan dalam pengembangan produk kosmetika dan obat. Diperkirakan borneol asal Dryobalanops mempunyai kualitas yang
lebih baik dari borneol asal tumbuhan lainnya.
Namun hal ini perlu pembuktian lebih lanjut.
Gambar 7. kristal Borneol,
merupakan antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme jenis
bakteri seperti S. Aureus dan B. Cereus.
PUSTEKOLAH (Pusat
Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Bogor telah meneliti
borneol asal pohon Dryobalanops,
terutama Dryobalanops aromatica. Penelitian
meliputi teknik pengambilan minyak dan analisis serta transformasi minyak
menjadi Kristal borneol, dengan kadar mencapai 96 persen. Hanya saja terkendala karena 7 spesies Dryobalanops yang ada di Indonesia saat
ini sulit ditemukan karena sudah langka.
Saat ini lokasi tempat tumbuh Dryobalanops
aromatica yang dilindungi ada di Kota Subulussalam (NAD) yaitu di hutan
lindung bukit kapur. Selain itu ada juga
di hutan lindung Gunung Daik, pulau
Lingga (Kepri).
Gambar 8. Kristal borneol dan minyak Dryobalanops aromatica (poto dok.
Gusmailina)
Gambar 9.
Mengambil minyak Dryobalanops
tanpa penebangan
IV. PENUTUP ; POTENSI MASA DEPAN BORNEOL INDONESIA
Masa
depan borneol Indonesia sangat terbuka luas, mengingat potensi Dryobalanops aromatica yang ada saat ini
sangat memungkinkan, dengan catatan harus memenuhi kaidah dan cara pemungutan
hasil yang berkelanjutan dan sustainability, serta harus ada pengawasan yang
ketat dari pihak yang terkait. Karena untuk mendapat borneol saat ini, tidak
harus menebang pohon, melainkan hanya di sadap minyaknya, kemudian dengan sedikit
teknologi selanjutnya ditransformasi menjadi kristal. Harga kristal borneol jauh lebih mahal dari
pada minyak. Oleh sebab itu harus ada
standar dan pengawasan yang ketat agar penjualan komoditi ini harus dalam bentuk
kristal. Hal lain yang perlu mendapat
perhatian adalah perlu adanya standar untuk tujuan pasar sehingga dapat menjaga
kualitas komoditi. Terkait manfaat yang ada
pada borneol ini, bisa jadi temuan yang menggembirakan untuk dunia medis,
terutama sebagai bahan obat-obatan yang selama ini diimpor yang membutuhkan
devisa negara yang tidak sedikit. Pemanfaatan borneol sebagai bahan obat-obatan
ini dapat mengurangi borneol impor yang dibutuhkan. Penggunaan senyawa kimia
borneol untuk obat, bisa menjadi aset bangsa yang berharga, dan apabila dikembangkan
untuk diperdagangkan secara profesional baik di dalam maupun ke luar negeri,
akan menghasilkan pendapatan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
2007. "Dryobalanops fusca". IUCN Red List
of Threatened Species. Version 2007. International Union for Conservation
of Nature. 1998. Retrieved 11 November 2007. Listed as Critically
Endangered
Anonim. 2007. "Dryobalanops
keithii". IUCN Red List
of Threatened Species. Version 2007. International Union for Conservation
of Nature. 1998. Retrieved 11 November 2007. Listed as Critically
Endangered
Ashton, P.S. 2004. Dipterocarpaceae. In Tree
Flora of Sabah and Sarawak, Volume 5, Soepadmo, E., Saw, L.G. and Chung,
R.C.K. eds. Government of Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia.
Astuti,
M.S. 2006. Isolasi Dan Identifikasi
Komponen Minyak Atsiri Umbi Teki (Cyperus
Rotundus L.) Uns-Fmipa Jurusan Kimia. Skripsi. Surakarta
Choi, H.-S. (2003). J. Agric. Food Chem.
51(9): 2687-2692. Jirovetz, L., G. Buchbauer, et al. (2002). Journal of
Chromatography A 976(1-2): 265-275. Korea
Chung, Eiserich and Shibamoto 1993; J. Agric.
Food Chem., 41, 1693-1697. Korea
Eun-Mi Kim,
Hae-Ryong Jung, and Tae-Jin Min. 2001.
Purification, Structure determination and Biological Activities of 20(29)-lupen-3-one from Daedaleopsis
tricolor (Bull. ex Fr.) Bond. et Sing. Bull. Korean Chem.
Soc. 2001, Vol. 22, No. 1. Korea.
Gusmailina. 2013.
Dryobalanops, the Potential Tree Species Endangered To Become Almost
Extinct. Makalah poster pada Seminar
Internasional Forestry (INAFOR) 2013.
Jakarta
Heyne. 1987.
Tumbuhan Berguna Indonesia. Terjemahan Badan Litbang Kehutanan, Departemen
Kehutanan. Jakarta.
Huo GZ. 1995. Bing pian's anti-inflammation and
analgesia effects on laser burn wounds. China Journal of Pharmacy
1995;30(9):532-534.
Simarangkir B.D.A.S, 2000. Analisis Riap Dryobalanops lanceolata Burck pada Lebar
Jalur yang Berbeda di Hutan Koleksi Universitas Mulawarman Lempake. Frontir
Nomor 32. Kalimantan Timur.
Suhardi, 1994. Seedling Growth Of Drybalanops Sp Inoculated With
Mycorrhiza At Wanagama I Buletin Penelitian Nomor 25. Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Sutrisna, D.
2008. Kapur barus : pohon dan
sumber tertulis asing. Balai
Arkeologi. Medan
Tong Shaoquan & Tao Gouda. 1990.
Dipterocarpaceae. In: Li Hsiwen, ed., Fl. Reipubl. Popularis Sin. 50(2):
113-131. China-Korea
Toshihiro Yamada and Eizi Suzuki. 2004. Ecological role of vegetative
sprouting in the regeneration of Dryobalanops
rappa, an emergent species in a Bornean tropical wetland
forest. Journal of Tropical Ecology (2004), 20 :
pp 377-384. Cambridge University Press
Whitten,
A.J. 1984. The Ecology Of Sumatra.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar