PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
ARANG KOMPOS BIO AKTIF DI TPA (TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR) DALAM RANGKA MENUNJANG
GERHAN (GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN)
Oleh :
Gusmailina, Maman
Mansyur Idris
Sri Komarayati,
& Gustan Pari
Ringkasan
GERHAN merupakan gerakan moral yang
melibatkan berbagai instansi pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah, TNI,
POLRI, swasta, dan masyarakat, yang bertujuan untuk merehabilitasi kawasan
hutan dan lahan yang rusak sekaligus membangun kesadaran masyarakat untuk mencintai
lingkungan. Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan GERHAN
adalah: tersedianya bibit yang
berkualitas yang mempunyai sifat adaptasi yang tinggi, sehingga dengan mudah
dan cepat membangun ekosistem mandiri.
Untuk memperoleh bibit yang berkualitas, selain memperhatikan faktor genetis bibit yang
digunakan, treatmen pada persemaian dan pembibitan mutlak perlu
dilakukan. Pembibitan
merupakan salah satu tahapan pekerjaan
yang harus ditangani secara serius. Jika
tidak, maka bibit yang dihasilkan berkualitas rendah sehingga pencapaian target
akan terhambat.
Aplikasi arang kompos pada media
persemaian dan pembibitan merupakan solusi yang tepat untuk dilakukan. Karena arang kompos sebagai salah satu bahan
organik gabungan antara arang dan kompos yang dihasilkan melalui proses
pengomposan, merupakan media yang cocok untuk menunjang kegiatan GERHAN, sebab
selain dapat memacu pertumbuhan bibit, bibit yang dihasilkan lebih baik mutu
dan kualitasnya. Hal ini sudah merupakan hasil penelitian dan uji coba baik di
laboratorium, maupun di lapangan. Hal
ini juga yang mendorong pemerintah Kabupaten Garut menggunakan arang kompos
sebagai sarana penunjang pada program GERHAN 2003-2004. Sifat arang yang alkalis sangat cocok untuk lahan
masam yang merupakan lahan target program GERHAN, selain itu arang kompos
selain menambah ketersediaan unsur hara, juga dapat meningkatkan nilai KTK
tanah, serta memperbaiki sifat fisik dan biologis tanah.
Kegiatan ini bertujuan untuk membuat arang kompos skala
lapangan dengan harapan dapat mendukung kegiatan GERHAN dalam rangka penyediaan
bibit yang berkualitas. Selain itu juga diharapkan
dapat menjadi percontohan yang selanjutnya dapat diteruskan oleh berbagai pihak
yang berminat, baik swasta, kelompok tani, maupun instansi pemerintahan
Kata kunci: arang kompos, TPA, sampah, media semai, bibit, GERHAN, Sumsel, Banten
I. PENDAHULUAN
Kondisi hutan dan lahan Indonesia
saat ini telah menjadi keprihatinan nasional, laju deforestasi hutan setiap
tahunnya mencapai 1,5 - 2 juta ha per tahun,
sehingga lebih dari 50 juta hektar hutan dan lahan, saat ini dalam
keadaan terdegradasi. Kenyataan ini telah mengakibatkan terjadinya peningkatan
bencana alam hidrometeorologi yaitu bencana banjir, tanah longsor, menurunnya
kualitas air, dan kekeringan. Penyebab
terjadinya bencana alam tersebut sebagian besar karena rusaknya lingkungan
terutama di daerah hulu yang berfungsi sebagai daerah resapan yang juga
merupakan daerah tangkapan air (catchment area). Oleh karenanya upaya
penanggulangan yang diperlukan adalah mengembalikan kondisi daerah hulu kepada
fungsinya sebagai daerah yang dapat menahan limpahan air permukaan (run off)
dan memperbaiki lingkungn fisik dengan cara yang ramah lingkungan, yaitu rehabilitasi
hutan dan lahan. Upaya pemulihan dan
peningkatan kualitas lahan dilaksanakan melalui kegiatan konservasi dan
rehabilitasi daerah aliran sungai. Kegiatan tersebut telah dimulai sejak tahun
1970-an, dan pada tahun 2003 lebih ditingkatkan melalui program nasional:
GERHAN (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan)
GERHAN merupakan gerakan moral yang melibatkan berbagai instansi
pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah, TNI, POLRI, swasta, dan
masyarakat, dalam program pemulihan sumber daya hutan serta lahan yang
rusak. Gerakan tersebut diharapkan dapat
merehabilitasi hutan yang rusak sekaligus membangun kesadaran masyarakat untuk
mencintai lingkungan. Melalui gerakan tersebut
diharapkan sebanyak tiga juta hektar lahan yang tersebar di seluruh provinsi di
Indonesia dapat
direhabilitasi dalam kurun waktu lima
tahun. Pada tahun 2003 GERHAN telah
melakukan penanaman seluas 300.000 hektar lahan kritis yang tersebar di 15 provinsi, 144 kabupaten dan
kota, serta 29 daerah aliran sungai yang rusak. Pada tahun 2004 ini
direncanakan seluas 500.000 hektar kawasan hutan rusak dan lahan kritis akan
direhabilitasi yang tersebar di 31 provinsi, 373 kabupaten dan kota pada 141
daerah aliran sungai yang jadi prioritas.
Target selanjutnya akan terus bertambah sampai tahun 2007, sehingga
total luas lahan yang direhabilitasi mencapai tiga juta hektar (Wibowo dalam Kompas Cyber Media,
2004).
Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan GERHAN
adalah: tersedianya bibit yang
berkualitas dan dalam jumlah yang cukup. Untuk tahun 2003 dibutuhkan bibit
sebanyak 242.805.500 batang, meliputi jenis MPTS (Multi Purpuse Tree Species)
sebanyak 104.649.130 batang, jenis kayu-kayuan sebanyak 138.156.370
batang. Yang perlu diperhatikan
terdapat variasi yang lebar pada jenis tanaman yang ditanam pada kegiatan
GERHAN : antara lain kondisi/kesuburan fisik dan kimia tapak yang kritis, iklim
yang berbeda, menuntut perencanaan yang matang pada pelaksanaan penanaman Umumnya sasaran lahan yang dicadangkan bagi
GERHAN adalah lahan-lahan yang tingkat
kesuburannya sangat rendah, sehingga
perlu perlakuan tambahan agar kegagalan dapat dikurangi. Selain pemilihan jenis dan waktu penanaman
yang tepat, pemberian pupuk/bahan organik pada persemaian, pembibitan, dan saat
tanam sangat diperlukan agar diperoleh bibit yang berkualitas. Selanjutnya,
perlu pemeliharaan yang intensif, karena hal ini juga termasuk faktor
penentu keberhasilan program ini.
Sebagai contoh Program GERHAN tahun 2003-2004 yang dilaksanakan di
Kabupaten Cianjur terancam gagal menyusul matinya ribuan pohon yang ditanam
dalam pelaksanaan program tahap I, pertengahan Mei 2004 lalu. Bahkan, pohon jenis sukun yang ditanam Bupati
Cianjur Ir. Wasidi Swastomo, M.Si., saat menutup program GERHAN di Kab. Cianjur
secara seremonial di Desa Sukamulya Kec. Sukaluyu beberapa waktu lalu, saat ini
mati akibat kekeringan. Di duga penyebabnya antara lain: bibit yang kurang
bermutu, dan waktu tanam yang kurang tepat, karena penanaman dilakukan pada
saat menjelang musim kemarau (Pikiran Rakyat Cyber Media 24 Juni 2004).
Keberhasilan GERHAN juga
tergantung pada persentase tumbuh tanaman, dan persentase tumbuh tanaman akan
sangat bergantung pada awal pertumbuhannya.
Untuk mengurangi kegagalan, treatmen pada awal penanaman menjadi
mutlak perlu dilakukan. Pembibitan merupakan salah satu tahapan pekerjaan yang harus
ditangani secara serius. Jika tidak, maka bibit yang dihasilkan
berkualitas rendah sehingga pencapaian target akan terhambat. Aplikasi arang kompos pada media persemaian
dan pembibitan merupakan solusi yang tepat untuk dilakukan. Karena arang kompos sebagai salah satu bahan
organik gabungan antara arang dan kompos yang dihasilkan melalui proses
pengomposan, merupakan media yang cocok untuk menunjang kegiatan GERHAN, sebab
selain dapat memacu pertumbuhan bibit, juga menjadikan bibit lebih baik mutu
dan kualitasnya. Hal ini sudah
merupakan hasil penelitian dan uji coba
baik di laboratorium, maupun di lapangan.
Sifat arang yang alkalis sangat cocok untuk lahan masam yang merupakan
lahan target program GERHAN, selain itu arang kompos selain menambah
ketersediaan unsur hara, juga dapat meningkatkan nilai KTK tanah, serta
memperbaiki sifat fisik dan biologis tanah.
II. TPA SEBAGAI EMITTER GRK, SALAH SATU PEMICU PEMANASAN GLOBAL
Pemanasan global adalah gejala naiknya suhu permukaan Bumi akibat meningkatnya konsentrasi GRK. Enam jenis GRK utama adalah gas karbon dioksida (CO2), Methana (CH4), Nitrat oksida (N2O). Dalam laporan yang disusun oleh International Panel on Climate Change (IPCC) 1988, dilaporkan bahwa rata-rata temperatur global telah meningkat 0,6.% serta dilaporkan bahwa tahun 1990-an adalah dekade terpanas. Meningkatnya suhu bumi diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut. Menyadari besarnya ancaman pemanasan global, disepakati Kyoto Protocol 1997. Negara-negara industri-penyumbang GRK terbesar-berkomitmen menguranginya. Salah satu GRK yang berpengaruh adalah CH4 (methana). Kekuatannya dalam efek pemanasan global 23 kali lebih tinggi dari CO2. Untuk mengejar target pengurangan emisi GRK, produksi gas methana perlu dikendalikan. Berbagai sumber gas methana antara lain adalah rawa, TPA, penambangan gas alam, pembakaran biomassa. Dalam hubungannya dengan persampahan, TPA menjadi sumber gas methana karena adanya proses penguraian sampah oleh jasad renik.
Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 450 TPA sebagai sumber emisi gas
methana. Sebagai contoh, sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah
organik 56 persen akan menghasilkan gas methana 21.000 ton setiap tahunnya atau
setara dengan CO2 486.500 ton.
Masyarakat Eropa sepakat
tahun 2005 tidak membuang sampah organiknya langsung ke TPA. Sampah organik
diolah terlebih dahulu agar gas tidak diproduksi dalam jumlah besar. Pengolahan
dapat berupa insinerasi, pengomposan, dan produksi biogas. Pengomposan adalah proses yang dipilih oleh Global Environment Facility yang
dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia untuk mereduksi produksi GRK
sekaligus untuk membantu perbaikan sistem pengelolaan sampah di Indonesia.
Sistim pengelolaan sampah kota di Indonesia
umumnya menggunakan sistem 3P, yaitu pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan.
Dengan meningkatnya aktivitas dan
jumlah penduduk, maka jumlah sampah juga meningkat. Timbunan sampah kota
diperkirakan meningkat lima kali lipat tahun 2020. Kalau tahun 1995 jumlah
rata-rata produksi sampah perkotaan di indonesia 0,8 kg per kapita per hari,
tahun 2000 menjadi 1,0 kg, maka tahun 2020 diperkirakan 2,1 kg per kapita. Di Jakarta tahun 1996/1997 dengan populasi
sekitar 10 juta orang, jumlah sampahn mencapai 25.404 m3. Akhir penanganan sampah sistem 3P adalah TPA, sampah
ditumpuk yang belum memperhatikan aspek sanitasi. Maka timbullah berbagai
pencemaran lingkungan seperti pencemaran udara, pencemaran air, tanah, serta sumber berkembang biaknya penyakit menular. Tragedi
TPA Leuwigajah, Cimahi merupakan musibah dan contoh dari pengelolaan
sampah di TPA yang buruk. Hanya akibat
guyuran hujan selama dua hari berturut-turut, gunungan sampah tersebut longsor
dan menimbun perumahan penduduk. Musibah ini telah menelan korban lebih dari
150 jiwa, serta berakibat pula terhadap kondisi lingkungan. Situasi Kota
Bandung pasca bencana tersebut terlihat mengkhawatirkan, sampah menumpuk dan
berserakan di mana-mana. Tempat pembuangan sampah yang tersebar di Kota Bandung
sudah terisi penuh melewati batas maksimal. Oleh karena itu, diperlukan
paradigma baru dalam melakukan pengelolaan limbah (waste management)
perkotaan.
Gambar 1.
Berbagai jenis limbah di tempat pembuangan sebagai polutan dan sumber
penghasil GRK
Teknologi komposting merupakan
cara paling aman untuk mengelola sampah di TPA. Produk berupa kompos sangat berguna dan sudah
tidak diragukan lagi manfaatnya, dan jika dikelola secara komersil dapat
dijadikan sebuah peluang usaha yang menggiurkan. Karena trend bermacam produk organik semakin
digemari masyarakat, dan kompos merupakan salah satu faktor pendukung budidaya
organik.
|
|
|
|
Gambar 1.
Aktifitas pembuatanArang Kompos Bio Aktif di beberapa TPA Kota.
(A: Padang; B: Palembang; C:
Pandeglang; dan D: Bantargebang)
III. ARANG SEBAGAI PEMBANGUN KESUBURAN TANAH
Beberapa tahun terakhir karena
sifatnya arang tidak hanya dikenal sebagai sumber energi, namun juga digunakan
untuk pembangun kesuburan tanah (PKT). Karena secara morfologis arang mempunyai
pori yang efektif untuk mengikat dan menyimpan hara tanah dan selanjutnya
dilepaskan secara perlahan sesuai dengan konsumsi dan kebutuhan tanaman (slow
release) sehingga hara tanah tidak mudah tercuci dan lahan akan selalu
berada dalam kondisi siap pakai. Keuntungan pemberian arang pada tanah sebagai soil
conditioning (PKT) karena arang mempunyai kemampuan dalam memperbaiki sirkulasi
air dan udara di dalam tanah, meningkatkan pH tanah sehingga dapat merangsang
dan memudahkan pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman.
Arang selain dapat digunakan langsung
sebagai agent pembangun kesuburan tanah, juga digunakan sebagai campuran
dalam proses pengomposan. Pembuatan
arang kompos merupakan salah satu teknik yang relatif baru dikembangkan oleh
P3THH dengan memanfaatkan arang pada proses pengomposan. Tujuan penambahan arang pada proses
pengomposan adalah selain meningkatkan kualitas dari kompos tersebut, juga
diharapkan dengan adanya arang pada pengomposan akan menambah jumlah dan
aktivitas mikroorganisme yang berperan, sehingga proses dekomposisi dapat
berlangsung lebih cepat.
Aplikasi arang yang menyatu dalam kompos (arang kompos) sangat
bermanfaat untuk memacu perkembangan mikroorganisme (mikoriza) tanah,
meningkatkan pH tanah pada tingkat yang lebih sesuai bagi pertumbuhan tanaman,
sehingga cocok untuk reklamasi lahan yang mempunyai tingkat kesuburan tanah dan
produktivitas yang rendah sehingga dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai
masalah lahan di Indonesia antara lain lahan kritis dengan kadar pH tanah yang
rendah, menurunnya tingkat kesuburan tanah atau produktivitas lahan.
Gambar 2. Peranan arang di dalam
tanah sebagai soil conditioning
b. Pentingnya arang dan arang
kompos sebagai suplai bahan organik tanah
Kenyataan menunjukkan bahwa merosotnya
kualitas dan kuantitas sumber daya akibat pemanfaatan yang melampaui batas mengakibatkan kerusakan sumberdaya yang tidak
dapat dihindari. Kenyataan juga
menunjukkan bahwa program rehabilitasi kerusakan lahan yang masih meninggalkan
lahan kritis seluas 7.269.700 ha yang harus dihijaukan, serta hutan seluas
5.830.200 ha yang masih harus dihutankan kembali. Di sektor pertanian gejala penurunan produksi
padi akibat pemberian pupuk kimia/anorganik secara intensif telah
terbukti. Akibat pemberian pupuk kimia
secara intensif selama 25 musim tanam ternyata diikuti oleh penurunan produksi
padi jenis IR 36 (Martodiresi dan Suryanto, 2001). Keadaan ini ternyata diakibatkan oleh
menurunnya kandungan bahan organik tanah dari musim ke musim yang tak bisa
digantikan perannya oleh pupuk kimia NPK misalnya. Akibatnya kemampuan tanaman membentuk anakan
menurun. Inilah yang menjadi penyebab
utama menurunnya produksi padi. Keadaan
ini menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan stabilitas bahan organik tanah
bagi kelestarian produktivitas pertanian dan kehutanan. Sebab bahan organik tanah bukan hanya berfungsi
sebagai penyuplai hara, tetapi juga berguna untuk menjaga kehidupan biologis di
dalam tanah.
Kenyataan juga membuktikan
bahwa efisiensi pupuk kimia lebih rendah.
Tanaman di lahan kering di daerah tropis kehilangan sampai 40-50 % N
yang diberikan, padi sawah kehilangan N kurang dari 60-70 %. Bila kondisi kurang mendukung, misalnya
tingginya curah hujan, musim kemarau yang panjang, tingginya erosi tanah, serta
rendahnya bahan organik tanah, maka efisiensinya bisa lebih rendah lagi (FAO,
1990 dalam Reijntjes dkk. 1999).
Kenyataan juga menunjukkan
bahwa pupuk kimia ini bisa mengganggu kehidupan dan keseimbangan tanah,
meningkatkan dekomposisi bahan organik, yang kemudian menyebabkan degradasi
struktur tanah, kerentanan yang lebih tinggi terhadap kekeringan, sehingga
produktivitas rendah. Aplikasi yang
tidak seimbang dari pupuk mineral N yang menyebabkan pengasaman dan menurunkan
pH tanah serta ketersediaan hara P bagi tanaman. Penggunaan pupuk kimia NPK yang terus menerus
menyebabkan penipisan unsur-unsur mikro seperti seng, besi, tembaga, mangan,
magnesium, molybdenum, boron, yang bisa mempengaruhi tanaman, hewan, dan
kesehatan manusia. (Sharma, 1985; Tandon, 1990 dalam Reijntjes dkk.
1999).
Kenyataan lingkungan global
menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia di negara maju dan negara berkembang
memberikan andil pada resiko global yang muncul dari pelepasan Nitrogen oksida
(N2O) pada atmosfir dan lapisan di atasnya. Pada lapisan stratosfir, N2O akan
menipiskan lapisan ozon dan dengan menyerap gelombang sinar infra merah
tertentu, meningkatkan suhu global (efek rumah kaca) dan mengganggu kestabilan
iklim. Hal ini bisa mengakibatkan
perubahan pola, tingkat dan resiko produksi pertanian. Meningkatnya permukaan air laut akan membawa
konsekuensi besar bagi daerah delta yang rendah dan muara. Mengingat bahaya ini, larangan penggunaan
pupuk kimia di seluruh dunia tak bisa dikesampingkan lagi untuk masa datang
(Conway dan Pretty, 1988, 1988 dalam Reijntjes dkk. 1999)
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut,
perlu upaya yang lebih besar untuk mempromosikan penggunaan pupuk organik
yang lebih efisien serta ramah
lingkungan. Apalagi akhir-akhir ini meningkatnya kecenderungan masyarakat
terhadap produk-produk yang berasal dari budidaya organik, karena produknya
lebih bersih dan bebas dari bahan-bahan kimia anorganik, sehingga cukup aman
dan sehat untuk dikonsumsi. Penggunaan sumber-sumber pengganti N seperti,
limbah biomassa misalnya : sampah tanaman, pupuk hijau, pupuk kandang,
penanaman leguminosa secara bergantian dan sebagai pohon pelindung, alga
biru-hijau dan bakteri pengikat N pada sawah dan hutan seperti rhizobium dan
mikoriza merupakan alternatif. Di sektor
kehutanan limbah biomassa cukup potensial, misalnya limbah pemanenan, serasah
tanaman (dedaunan segar atau kering), serta limbah industri pengolahan kayu
diantaranya serbuk gergaji.
Arang kompos merupakan salah
satu produk bahan organik yang lebih mengutamakan pada kelestarian lingkungan.
Karena memanfaatkan limbah serbuk gergaji, serasah hutan, ranting, cabang/dahan
yang tertinggal sewaktu pemanenan.
Dengan sedikit input teknologi maka limbah-limbah tersebut dapat dibuat
menjadi bahan organik yang banyak manfaatnya. Dampak yang
akan diperoleh meningkatnya produksi dan produktivitas tanah, menambah
pendapatan keluarga, dan akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga dan
masyarakat.
Gambar 3. Aplikasi Arang Kompos Bio Aktif oleh petani
pada tanaman tumpang sari di baweah tegakan Pinus merkusii di Ciloto.
c. Aplikasi arang dan arang kompos dalam
menunjang program CDM forestry
CDM (Clean Development Mechanism) adalah salah
satu mekanisme di bawah Kyoto Protocol sebagai bagian dari UNFCCC
(United Nations Framework Convention on Climate Change/Konvensi Perubahan
Iklim) yang maksudnya untuk membantu negara berkembang menuju pembangunan
berkelanjutan dan kontribusinya terhadap pencapaian tujuan konvensi perubahan
iklim, serta membantu negara maju/industri memenuhi kewajibannya untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca. Salah
satu butir dari hasil rumusan lokakarya LULUCF November tahun 2000, adalah
aspek saintifik yang berkaitan dengan CDM perlu dikembangkan dan ditindak
lanjuti (Anonimus, 2000).
Pembuatan
dan aplikasi arang kompos menunjang program CDM, karena : (1) dengan
memanfaatkan arang sebagai sumber karbon, artinya dapat mencegah peningkatan
pelepasan jumlah karbon ke atmosfir atau karbon akan tersimpan dalam batas
waktu tertentu dalam arang di dalam tanah;
(2) arang sebagai sumber karbon di dalam tanah dapat merangsang
perkembangan mikroorganisme tanah, sehingga dapat membangun kondisi biologis
tanah, meningkatkan pH tanah, memperbaiki kondisi fisik dan kimia tanah,
sehingga meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Meningkatnya pertumbuhan tanaman hutan
memperbesar jumlah sink atau rosot CO2 dan selanjutnya akan
dicapai net-source penyerapan > dari emisi; (3) mengurangi pelepasan emisi berbagai gas
rumah kaca dari TPA.
Gambar 4: Aplikasi Arang Kompos Bio Aktif pada areal
hutan tanaman Jati oleh JIFPRO (Jepang) di
Sekaroh, Mataram, Lombok, sebagai tindak
lanjut dari Kyoto Protocol
V.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Departemen kehutanan siap laksanakan GN RHL. Siaran Pers
No. 1428/II/PIK-1/2003. www.
dephut.go.id
Anonim. 2004. Gerakan nasional rehabilitasi hutan dan
lahan gagal
ribuan jenis pohon mati akibat kekeringan. Cianjur. Pikiran Rakyat Cyber Media Online 24 Juni 2004.
ribuan jenis pohon mati akibat kekeringan. Cianjur. Pikiran Rakyat Cyber Media Online 24 Juni 2004.
Anonim.
2004. Partisipasi masyarakat
dalam GNRHL 15 %. Kolom lingkungan. Media
Indonesia Online. 7
Juni 2004
Away, Yufnal, 2003. Uji coba penggunaan bioaktivator “orgadec
plus” pada sampah kota
di TPA Bantar Gebang. Balai Penelitian
Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor
Gusmailina; G. Pari, and S. Komarayati.
1999. The utilization technology of charcoal and
activated charcoal as a soil conditioning on plants. Project
Report. Forest
products Research Centre. Bogor.
Gusmailina, G. Pari, dan S.
Komarayati. 2001. Teknik penggunaan arang sebagai soil
conditioning pada tanaman. Laporan
hasil penelitian (tidak diterbitkan)
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati.
2002. Implementation study of compost and charcoal
compost production. Laporan kerjasama Puslitbang Teknologi Hasil Hutan
dengan JIFPRO - Jepang (Tidak diterbitkan)
Gusmailina, G. Pari, dan S.
Komarayati. 2002.
Pedoman pembuatan arang kompos.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Bogor.
Sri Komarayati, Gusmailina dan G. Pari. 2002. Pembuatan kompos dan arang kompos
dari serasah dan kulit kayu tusam. Buletin
Penelitian Hasil Hutan. Vol. 20 No. 3.
Halaman 231 – 242. Bogor
Reintjes, C., Haverkort,
B., Bayer. W., 1999. Pertanian masa depan. Pengantar untuk pertanian berkelanjutan
dengan input luar rendah. Penerbit
Kanisius. Jakarta
Rao dkk., 1998 dalam Saad
A., 2002. Pembangkitan criteria
kesesuaian lahan untuk tanaman duku spesifik lokasi Kumpeh Kabupaten Muaro
Jambi. Unpublished.
Klik dulu baru bisa rasakan ayam bangkok
BalasHapus